Istihsan & Maslahah Mursalah

A.    Pendahuluan.
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melaksanakan prosedur ijtihad dan istinbath aturan dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jikalau dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga supaya proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak sanggup dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian hebat Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu yaitu apa yang dikenal dengan Istihsan dan Maslahah Mursalah.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan duduk kasus Istihsan dan Maslahah Mursalah,  pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya.
B.     ISTIHSAN.
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Sedangkan Istihsan berarti “menganggap sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Sedangkan berdasarkan istilah, para ulama berbeda memperlihatkan pengertian. Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih berpengaruh atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada dispensasi agama), lantaran adanya suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian.
v  Macam-Macam Istihsan.
Istihsan berdasarkan para ulama ushul fiqh terbagi atas dua macam, yaitu:
1.      Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, lantaran ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
  1. Pindah dari aturan kulli kepada aturan juz-i, lantaran ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, lantaran penyimpangan itu dilakukan lantaran suatu kepentingan atau lantaran darurat.
Namun secara spesifikasi berdasarkan sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
  1. Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
  2. Istihsan dengan sandaran nash;
  3. Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
  4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
v  Beberapa Contoh Kasus Istihsan.
1.      Istihsan wacana sahnya kesepakatan istihshna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya kesepakatan itu batal lantaran barang yang diakadkan belum ada. Akan tetapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau ‘urf am (tradisi) yang sanggup mengalahkan dalil qiyas.
2.      Sisa minuman burung buas, menyerupai sisa burung elang burung gagak dan sebagainya yaitu suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman hewan buas, menyerupai anjing dan burung-burung buas yaitu haram diminum lantaran sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur hewan itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu eksklusif minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke daerah minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan verbal hewan huas. Mulut hewan buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang verbal burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan. Dalam hal ini keadaan tertentu yang ada pada burung buas membuatnya berbeda dengan hewan buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
v  Pendapat Ulama’ wacana Istihsan.
Ø  Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, berdasarkan mereka istihsan sebetulnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah aturan yang telah ditetapkan pada suatu kejadian atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus lantaran ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jikalau dibolehkan memutuskan aturan berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melaksanakan istihsan lantaran kedua hal itu pada hakekatnya yaitu sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang memakai istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Ø  Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan berdasarkan mereka yaitu memutuskan aturan syara' berdasarkan impian hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah memutuskan sendiri aturan syara' berdasarkan impian hawa nafsunya, sedang yang berhak memutuskan aturan syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melaksanakan istihsan yaitu menyerupai orang yang melaksanakan shalat yang menghadap ke suatu arah yang berdasarkan istihsan bahwa arah itu yaitu arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
C.    MASLAHAH MURSALAH.
Maslahah mursalah berdasarkan bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah (kebaikan) dan mursalah (terlepas atau bebas).Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang terlepas dari keterangan yang memperlihatkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.
Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan Masalahah Mursalah sebagai berikut:
“Apa-apa (Masalahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya”
v  Macam-Macam Masalahah.
1.      Masalahah Dharuriyah adalah kemasalahatan yang keberadaannya sangat diharapkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan insan tidak punya arti apa-apa jikalau satu saja dari prinsip yang lima –yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta- tidak ada. Segala perjuangan yang secara eksklusif menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut yaitu baik atau maslahah dalam tingkat dharuriy. Maka dari itu Allah memerintahkan insan untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan melarang yang sanggup merusaknya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut yaitu baik atau maslahah dalam tingkat dharuriy. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum khamar untuk memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
2.      Maslahah Hajiyah yaitu kemasalahatan yang tingkat kebutuhan hidup insan kepadanya tidak berada pada tingkat dharuriy. Jika masalahah hajiyah tidak terpenuhi dalam kehidupan insan tidak akan secara eksklusif mengakibatkan rusaknya lima unsure pokok tersebut, tetapi secara tidak eksklusif memang bias menimbulkan perusakan. Seperti, menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk sempurnanya akal, dan melaksanakan jual beli untuk mendapat harta.
3.      Masalahah Tahsiniyah adalah masalahah yang tingkat kebutuhannya tidak hingga tingkat dharuriy, juga tidak hingga tingkat hajiy. Namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka member kesempurnaan dan keindahan bagihidup manusia. Seperti menutup aurat dalam berpakaian, menentukan masakan yang baik, dll.
v  Kehujjahan Maslahah Mursalah.
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
A.     Maslahah mursalah tidak sanggup menjadi hujjah/dalil berdasarkan ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah menyerupai ibnu Hajib dan hebat zahir .
B.      Maslahah mursalah sanggup menjadi hujjah/dalil berdasarkan sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan wacana maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat aturan ashl yang sanggup diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam relasi hokum itu terdapat daerah untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, lantaran luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengukuhan Syari` terhadap illat sebagai daerah bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak mempunyai dalil yang mengakui kebenarannya.
C.     Imam Al-Qarafi berkata wacana maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, lantaran mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya lantaran adanya ketentuan-ketentuan aturan yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melaksanakan atau memakai maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahatan insan maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara` atau agama mengingat aturan Allah diadakan untuk kepentingan umat insan baik dunia maupun akhirat.
D.    Jumhur ulama beropini bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang digunakan sebagai landasan penetapan hukum. Karenaa kejadian tersebut tidak ada hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai aturan yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal ini antara lain :
1.      kemaslahatan umat insan itu selalu gres dan tidak ada habisnya, maka jikalau aturan tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan insan yang gres dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan insan diberbagai zaman dan daerah menjadi tidak ada. Kaprikornus tujuan penetapan aturan ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat insan sesuai dengan zamannya.
2.      Orang yang mau meneliti dan memutuskan aturan yang dilakukan para sobat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum yang mereka menetapkan demi kemaslahatan umum, bukan lantaran adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu goresan pena al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, kemudian mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar memutuskan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, memutuskan kewajiban pajak, menyusun administrasi, menciptakan penjara dan menghentikan eksekusi potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
D.    DAFTAR PUSTAKA.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup: Jakarta, 2009
Dimyati, Muhammad, Syarhul Waraqat, Darul Kutub Al-Islamiyah: Mesir, 2009

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel