Makalah Tasawuf

Disusun Oleh :
YUSUF

TASAWUF (ESENSI, ASAL-USUL KATA ATSAWUF, DAN BERBAGAI PENDAPAT TENTANG MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TASAWUF)

A.  Pendahuluan
            Salah satu ilmu yang sanggup membantu terwujudnya insan yang berkualitas yaitu ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak sanggup terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi :
العلم علمان فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان قذالك حجة الله علي ابن ادم (ش) والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم الباطن يخرج من القلب وعلم الظاهر يخرج من اللسان
‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh pengecap yaitu ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.[1]
            Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu yaitu tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari pengecap yaitu ilmu yang diucapkan oleh pengecap dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.
            Ilmu tersebut tidak sanggup terpisah keduanya lantaran ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ilmu tersebut tidak sanggup dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
            Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir diam-diam melalui qalbu-nya, contohnya dzikir Allah ( الله ) contohnya pada ketika itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada ketika nafasnya masuk/naik, amalan ibarat ini yaitu amalan-amalan Sufi.
            Selama insan itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut sanggup diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu sanggup diamalkan.[2]
            Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, lantaran tidak akan sanggup berkumpul gotong royong pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti yaitu ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk hingga dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.
            Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, yaitu upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[3]
            Dari klarifikasi di atas, sanggup dipahami bahwa Tasawuf yaitu salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh lantaran itu, pada makalah ini akan diuraikan :
  1. Sejauh mana pengertian tasawuf itu ?
  2. Asal-usul kata tasawuf ?
  3. Esensi tasawuf ?
  4. Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf  ?
  5. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
 BAB I
I.  PEMBAHASAN
A. Pengetian Tasawuf
            Arti tasawuf dan asal katanya berdasarkan logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
  1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, lantaran di serambi itu para sobat selalu duduk gotong royong Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa dia untuk disampaikan kepada orang lain yang belum mendapatkan fatwa itu.
  2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, alasannya orang yang memasuki tasawuf itu menggunakan baju dari bulu hewan dan tidak senang menggunakan pakaian yang indah-indah sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan orang.
  3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
  4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci higienis lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang sanggup menimbulkan kemurkaan Allah.[14]
            Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak mendapatkan arti tasawuf dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.
            Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya yaitu sesuatu yang menakjubkan jikalau diperhatikan bahwa jumlah dari aksara sufi sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang arif dengan Allah, lantaran pada hakekatnya bahwa Allah tidak sanggup dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya)[15]
            Dengan pendapat para jago tasawuf ihwal arti tasawuf berdasarkan bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah berdasarkan bahasa yaitu arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa bekerjasama dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi insan yang berkualitas lagi kamil.
            Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para jago ihwal tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap lantaran masing-masing jago mendefenisikan tasawuf hanya sanggup menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University[16] sebagai teladan apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
المراعون انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف
‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi dia ditanya ihwal tasawuf, maka ia menjawa :
الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دني
‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut Abd al-Husain al-Nur menyampaikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu etika yang membentuk tasawuf :
التصوف الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء
Tasawuf yaitu kemerdekaan, kemurahan  tidak membebani diri serta dermawan.[17]
            Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas memperlihatkan bahwa hubungan Allah dengan insan yang tak terpisah, hingga merasuk dalam qalbu sehingga insan yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim, karena insan dalam pengertian qalbu dan ruh, sanggup dihubungkan dengan Allah ibarat firman Allah dalam hadis Qudsi :
قوله تعالي في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سماءي ووسعني قلب عبد المؤمن
‘Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak bisa memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin sanggup memuat Aku.[18]
            Bahwa hadis Qudsi tersebut menggambarkan ihwal bumi dan langit tidak sanggup secara langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin, pasti akan sanngup dan bisa memuatnya lantaran insan itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula insan mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian gampang berhubungan, nur dengan nur.     

B.  Asal Usul Tasawuf
            Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang terkenal bagi tokoh agama sebelumnya yaitu zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf gres dikenal secara luas di daerah Islam semenjak penghujung era kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini sanggup disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,[4] yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan darul abadi sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya hingga pada dua Hijriah dan memasuki era tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini sanggup disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah hingga pada perkara apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan ihwal perkara teoritis lainnya.
            Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah banyak sekali teori ihwal jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan ihwal al-ma’rifat serta perangkat metodenya hingga pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, ibarat al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu gres dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan mudah atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, ibarat konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[6]
            Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian menyampaikan citra ihwal tipe gerakan yang muncul.
Pertama: yaitu lantaran corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar yaitu sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh terkenal yang sanggup mewakili aliran ini sanggup ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai imbas berpengaruh dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui iktikad al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan pemikiran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.[7] Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, langsung dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam kontradiksi politik. Sikap yang demikian itu melahirkan pemikiran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[8] Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini sanggup dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
            Dalam pandangan ini, kecenderungan menentukan kehidupan rohaniah mistis, tampaknya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan usaha duniawi. Ketika di dunia yang penuh muslihat ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangkit dunia baru, realitas gres yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya yaitu lantaran corak kodifikasi aturan Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menimbulkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menimbulkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi aturan dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, lantaran dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[9]
            Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini yaitu timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad[10] di pihak lain.
            Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar selesai era ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menyampaikan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini yaitu untuk menjembatani atau bila sanggup untuk mengintegrasikan antara kesadaran gaib dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai yaitu lahirnya iktikad al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, iktikad sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran gaib dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu menerima sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, ibarat al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[11]
            Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai adonan dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sehabis masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan iktikad al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada era lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua pemikiran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, menerima tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menuntaskan pertikaian itu, yaitu dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.[12]
            Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak menyampaikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya yaitu dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain mustahil bersatu. Di pihak lain menyampaikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini memperlihatkan tasawuf sebagai ilmu telah hingga ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[13]           

C. Esensi Tasawuf
            Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa cukup umur ini peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang menimbulkan kehancuran dan kerugian insan itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf bisa berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
 Sebab pertama , tasawufsecara psikologis, merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis sanggup mengakibatkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti pemikiran tasawufmendorong insan untuk memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
            Sebab,menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki olehAllah SWT.Permasalahan moralitas dalam tasawuf sanggup dijadikan sebagaisalah satu alternatif bahan dalam proses dakwah, lantaran mempunyai tigatujuan: pertama, turut serta membuatkan tugas dalam penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akhir hilangnya nilai-nilaispiritual. Kedua , memperkenalkan literatur atau pemahaman ihwal aspekesoteris Islam terhadap insan modern. Ketiga, untuk memberikanpenegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalahjantung pemikiran Islam. Dengan mengaplikasikan pemikiran tasawuf, umat insan dapatmencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini sanggup tercapaidengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi sanggup dicapai secara selaras danseimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan pemikiran tasawufdalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
            Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan obrolan langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf bahwasanya telah ada semenjak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman yaitu hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya ibarat fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sobat nabi.
            Munculnya istilah tasawuf gres dimulai pada pertengahan era III Hijriyyah oleh bubuk Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada selesai era I dan permulaan era II Hijriyyah.
            Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya menyampaikan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun insan yang bisa lepas dari penyakit hati ibarat riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim. Pertama, selalu melaksanakan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, senang memberi dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, terperinci sekali bahwa tasawuf kepingan dari Islam.

D. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
            Kenapa gerakan tasawuf gres muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, ketika itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah sikap yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
            Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar era 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan ihwal hakikat hidup. Konon, berdasarkan pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi yaitu Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)

E. Tujuan Tasawuf
            Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah semoga berada sedekat mungkin dengan Allah.[19] Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga target “antara” dari tasawuf, yaitu :
  1. Tasawuf yang bertujuan untuk training aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga insan konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
  2. 2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
  3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan insan dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan mencicipi kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi obrolan antara insan dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga yaitu penyatuan insan dengan Tuhan sehingga yang terjadi yaitu menolong antara insan yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[20]
            Dari uraian singkat ihwal tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun sanggup dirumuskan bahwa, tujuan selesai dari sufisme yaitu etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, lantaran Dialah penggerak utama dari sermua insiden di alam ini; (2) penanggalan secara total semua impian pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat buruk yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.

II.  PENUTUP/KESIMPULAN
  1. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar selesai abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada semenjak datangnya agama Islam. Hal ini sanggup diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup dia yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. yaitu berdasarkan atas pengalaman-pengalaman  gaib yang terperinci dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:
  2. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara sempurna melalui bahasa lisan.
  3. Sementara tujuan selesai tasawuf itu sendiri yaitu etika murni atau psikologi murni yang meliputi :
    1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
    2. Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
    3. Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
  
DAFTAR  PUSTAKA
Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn. Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il. Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H.
al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.
Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, berdasarkan Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
-o 0 o-


[1]Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), h. 390.
[2]Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, berdasarkan Ulama Sufi (Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 6.
[3]Ibid., h. 7.
[4]Lihat H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
[5]Liohat Al-Muhāzib,  al-Ri’āyah li al-Huqūq al-Insān; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid, Dawa’ al-Aywah.
[6]Lihat Ibid., h. 37.
[7]Lihat Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama lengkapnya yaitu Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang jago dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.
[8]Lihat Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[9]Lihat H. A. Rivay Siregar, op. cit., h.  39.
[10]Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op. cit., h. 186.
[11]LIihat Ibid., h. 187.
[12]Lihat ibid., h. 187.
[13]Lihat H.A. Rivay Siregar, op. cit., h. 43.
[14]Lihat Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
[15]Lihat Sahabuddin, op. cit., h. 12.
[16]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31.
[17]Sahabuddin, op. cit., h. 13.
[18]Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il , jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H), h. 25.
[19]Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.
[20]H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 5
            Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu yaitu tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari pengecap yaitu ilmu yang diucapkan oleh pengecap dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah.
            Ilmu tersebut tidak sanggup terpisah keduanya lantaran ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ilmu tersebut tidak sanggup dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
            Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir diam-diam melalui qalbu-nya, contohnya dzikir Allah ( الله ) contohnya pada ketika itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( هو ) pada ketika nafasnya masuk/naik, amalan ibarat ini yaitu amalan-amalan Sufi.
            Selama insan itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut sanggup diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu sanggup diamalkan.[2]
            Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, lantaran tidak akan sanggup berkumpul gotong royong pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti yaitu ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk hingga dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.
            Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, yaitu upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[3]
            Dari klarifikasi di atas, sanggup dipahami bahwa Tasawuf yaitu salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh lantaran itu, pada makalah ini akan diuraikan :
  1. Sejauh mana pengertian tasawuf itu ?
  2. Asal-usul kata tasawuf ?
  3. Esensi tasawuf ?
  4. Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf  ?
  5. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
 BAB I
I.  PEMBAHASAN
A. Pengetian Tasawuf
            Arti tasawuf dan asal katanya berdasarkan logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
  1. Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, lantaran di serambi itu para sobat selalu duduk gotong royong Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa dia untuk disampaikan kepada orang lain yang belum mendapatkan fatwa itu.
  2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, alasannya orang yang memasuki tasawuf itu menggunakan baju dari bulu hewan dan tidak senang menggunakan pakaian yang indah-indah sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan orang.
  3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
  4. Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci higienis lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang sanggup menimbulkan kemurkaan Allah.[14]
            Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak mendapatkan arti tasawuf dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena semua itu bisa diterima.
            Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya yaitu sesuatu yang menakjubkan jikalau diperhatikan bahwa jumlah dari aksara sufi sama dengan jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang arif dengan Allah, lantaran pada hakekatnya bahwa Allah tidak sanggup dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya)[15]
            Dengan pendapat para jago tasawuf ihwal arti tasawuf berdasarkan bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah berdasarkan bahasa yaitu arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa bekerjasama dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi insan yang berkualitas lagi kamil.
            Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para jago ihwal tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap lantaran masing-masing jago mendefenisikan tasawuf hanya sanggup menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University[16] sebagai teladan apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
المراعون انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف
‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi dia ditanya ihwal tasawuf, maka ia menjawa :
الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دني
‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut Abd al-Husain al-Nur menyampaikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu etika yang membentuk tasawuf :
التصوف الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء
Tasawuf yaitu kemerdekaan, kemurahan  tidak membebani diri serta dermawan.[17]
            Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas memperlihatkan bahwa hubungan Allah dengan insan yang tak terpisah, hingga merasuk dalam qalbu sehingga insan yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim, karena insan dalam pengertian qalbu dan ruh, sanggup dihubungkan dengan Allah ibarat firman Allah dalam hadis Qudsi :
قوله تعالي في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سماءي ووسعني قلب عبد المؤمن
‘Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak bisa memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin sanggup memuat Aku.[18]
            Bahwa hadis Qudsi tersebut menggambarkan ihwal bumi dan langit tidak sanggup secara langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin, pasti akan sanngup dan bisa memuatnya lantaran insan itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula insan mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian gampang berhubungan, nur dengan nur.     

B.  Asal Usul Tasawuf
            Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang terkenal bagi tokoh agama sebelumnya yaitu zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf gres dikenal secara luas di daerah Islam semenjak penghujung era kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini sanggup disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,[4] yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan darul abadi sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya hingga pada dua Hijriah dan memasuki era tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini sanggup disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah hingga pada perkara apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan ihwal perkara teoritis lainnya.
            Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah banyak sekali teori ihwal jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan ihwal al-ma’rifat serta perangkat metodenya hingga pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, ibarat al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu gres dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan mudah atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, ibarat konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[6]
            Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian menyampaikan citra ihwal tipe gerakan yang muncul.
Pertama: yaitu lantaran corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar yaitu sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh terkenal yang sanggup mewakili aliran ini sanggup ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai imbas berpengaruh dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui iktikad al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan pemikiran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.[7] Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, langsung dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam kontradiksi politik. Sikap yang demikian itu melahirkan pemikiran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[8] Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini sanggup dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
            Dalam pandangan ini, kecenderungan menentukan kehidupan rohaniah mistis, tampaknya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan usaha duniawi. Ketika di dunia yang penuh muslihat ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangkit dunia baru, realitas gres yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya yaitu lantaran corak kodifikasi aturan Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menimbulkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menimbulkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi aturan dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, lantaran dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[9]
            Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini yaitu timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad[10] di pihak lain.
            Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar selesai era ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menyampaikan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini yaitu untuk menjembatani atau bila sanggup untuk mengintegrasikan antara kesadaran gaib dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai yaitu lahirnya iktikad al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, iktikad sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran gaib dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu menerima sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, ibarat al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[11]
            Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai adonan dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sehabis masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan iktikad al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada era lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua pemikiran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, menerima tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menuntaskan pertikaian itu, yaitu dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.[12]
            Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak menyampaikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya yaitu dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain mustahil bersatu. Di pihak lain menyampaikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini memperlihatkan tasawuf sebagai ilmu telah hingga ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[13]           

C. Esensi Tasawuf
            Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa cukup umur ini peradaban dunia tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang menimbulkan kehancuran dan kerugian insan itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf bisa berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
 Sebab pertama , tasawufsecara psikologis, merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis sanggup mengakibatkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti pemikiran tasawufmendorong insan untuk memelihara dirinya dari menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
            Sebab,menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki olehAllah SWT.Permasalahan moralitas dalam tasawuf sanggup dijadikan sebagaisalah satu alternatif bahan dalam proses dakwah, lantaran mempunyai tigatujuan: pertama, turut serta membuatkan tugas dalam penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akhir hilangnya nilai-nilaispiritual. Kedua , memperkenalkan literatur atau pemahaman ihwal aspekesoteris Islam terhadap insan modern. Ketiga, untuk memberikanpenegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalahjantung pemikiran Islam. Dengan mengaplikasikan pemikiran tasawuf, umat insan dapatmencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini sanggup tercapaidengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi sanggup dicapai secara selaras danseimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan pemikiran tasawufdalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
            Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan obrolan langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf bahwasanya telah ada semenjak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman yaitu hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya ibarat fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sobat nabi.
            Munculnya istilah tasawuf gres dimulai pada pertengahan era III Hijriyyah oleh bubuk Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada selesai era I dan permulaan era II Hijriyyah.
            Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya menyampaikan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun insan yang bisa lepas dari penyakit hati ibarat riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim. Pertama, selalu melaksanakan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, senang memberi dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, terperinci sekali bahwa tasawuf kepingan dari Islam.

D. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
            Kenapa gerakan tasawuf gres muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, ketika itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah sikap yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
            Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar era 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan ihwal hakikat hidup. Konon, berdasarkan pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi yaitu Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)

E. Tujuan Tasawuf
            Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah semoga berada sedekat mungkin dengan Allah.[19] Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga target “antara” dari tasawuf, yaitu :
  1. Tasawuf yang bertujuan untuk training aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga insan konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
  2. 2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
  3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan insan dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan mencicipi kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi obrolan antara insan dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga yaitu penyatuan insan dengan Tuhan sehingga yang terjadi yaitu menolong antara insan yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[20]
            Dari uraian singkat ihwal tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun sanggup dirumuskan bahwa, tujuan selesai dari sufisme yaitu etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, lantaran Dialah penggerak utama dari sermua insiden di alam ini; (2) penanggalan secara total semua impian pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat buruk yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.

II.  PENUTUP/KESIMPULAN
  1. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar selesai abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada semenjak datangnya agama Islam. Hal ini sanggup diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup dia yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. yaitu berdasarkan atas pengalaman-pengalaman  gaib yang terperinci dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:
  2. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara sempurna melalui bahasa lisan.
  3. Sementara tujuan selesai tasawuf itu sendiri yaitu etika murni atau psikologi murni yang meliputi :
    1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
    2. Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
    3. Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
  
DAFTAR  PUSTAKA
Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn. Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il. Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H.
al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.
Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, berdasarkan Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
-o 0 o-


[1]Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), h. 390.
[2]Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, berdasarkan Ulama Sufi (Cet. II; Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 6.
[3]Ibid., h. 7.
[4]Lihat H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
[5]Liohat Al-Muhāzib,  al-Ri’āyah li al-Huqūq al-Insān; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid, Dawa’ al-Aywah.
[6]Lihat Ibid., h. 37.
[7]Lihat Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama lengkapnya yaitu Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang jago dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.
[8]Lihat Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[9]Lihat H. A. Rivay Siregar, op. cit., h.  39.
[10]Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op. cit., h. 186.
[11]LIihat Ibid., h. 187.
[12]Lihat ibid., h. 187.
[13]Lihat H.A. Rivay Siregar, op. cit., h. 43.
[14]Lihat Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
[15]Lihat Sahabuddin, op. cit., h. 12.
[16]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31.
[17]Sahabuddin, op. cit., h. 13.
[18]Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il , jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H), h. 25.
[19]Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.
[20]H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 5
Ibrahim Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir,1119), h. 9
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf (Dirasah Islamiyah IV)(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 153

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel