Makalah Kedudukan Sumpah Dalam Islam
Hadis ini sebagai salah satu bukti bahwa wanita bisa mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, dan ingatan itupun berafiliasi dengan kecerdasan akal. Dengan demikian, wanita bisa menjadi saksi yang baik. bisa bertindak dan diajak bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau wanita itu kurang nalar dan agama.
Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati aturan syariat Islam, lantaran tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang digunakan dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, pria dan wanita sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, lantaran bergotong-royong Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.
Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, biar tepat imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,: 5287). Makara meliputi kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan masalah munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Makara artinya sesama mukmin baik pria maupun wanita harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.
Demikian juga pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf dan nahi munkar artinya “Menciptakan kebaikan dan menolak kejelekan dibutuhkan pemerintahan atau kekuasaan dan dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh pria dan perempuan”.(Sayid Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan ayat itu memperlihatkan bahwa, Laki-laki dan wanita memiliki hak politik, hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar, meliputi segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Hak wanita di bidang politik, merupakan hak syar`î, bila dalam beberapa masa kemudian wanita tidak menggunakan hak ini, bukan berarti wanita dihentikan dan tidak mampu, tetapi lantaran tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau pria dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik wanita tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di dikala kini ini. Apalagi, dalam konteks pemberdayaan tugas politik wanita di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat terang pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 wacana Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik penerima pemilu sanggup mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap tempat pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30 %”
Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut wanita menjadi pemimpin atau memegang jabatan adalah:
عن ابى بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم آيام الجمل بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم آن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن يفلح قوم ولو امرهم امرأة رواه البخارى
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah menawarkan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW sesudah saya hampir saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika hingga pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)
Hadis tersebut dalam tingkatan minggu tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurûdnya berkenaan dengan lantaran khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan.
Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, lantaran berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul.Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat yakni dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi pria maupun perempuan.
Hadis tersebut menggunakan kata امرأة yakni bentuk nakirah jadi wanita yang bersifat umum, sehingga perlu ada taqyid atau batasan, artinya wanita yang memiliki kemampuan memimpin tidak menjadi kasus kalau beliau menjadi pimpinan atau memegang jabatan.
Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut sesudah kalahnya `Aisyah di perang Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti:62).
Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya beliau yakin bahwa Nabi melarang wanita menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari barisan `Aisyah, sesudah ia teringat hadis di atas. Hal ini memperlihatkan bahwa, kepemimpinan wanita dalam hal ini yakni `Aisyah diterima oleh para sahabat terkemuka.
Bukti bahwa wanita memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memikul kasus besar yakni terdapat dalam al-Qur`an wacana Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, wacana ibu Nabi Musa AS., dan wacana Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut memperlihatkan bahwa wanita sanggup mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, menyerupai problem dalam suatu negara
HALAMAN SELANJUTNYA HAL..1, HAL...2, HAL..3