Makalah Hadis Mutawatir



PENDAHULUAN

1.      Hadis Mutawatir
a.      Pengertian Mutawatir
Mutawatir berdasarkan bahasa berarti mutatabi yakni sesuatu yang tiba berikut dengan kita atau yang beriringan-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]
Adapun pengertian hadis mutawatir berdasarkan istilah, terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut :
Artinya :
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang berdasarkan adapt tidak mungkin mereka bersepakat terlebih dahhulu untuk berdusta
      Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak yang berdasarkan budbahasa kebiasaan tidak mungkin untuk berbuat dusta
b.      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Suatu hadis sanggup ditetapkan sebagai hadis mutawatir kalau memenuhi syarat-syarat berikut ini :
  1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai kasus ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang memutuskan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, berdasarkan adapt, sanggup menunjukkan keyakinan terhadap apa yang diberikan dan tidak mungkin mereka setuju untuk berdusta. Sedangkan berdasarkan ulama yang memutuskan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.
Al-Qadi AL-Baqillani memutuskan bahwa jumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Astikhary memutuskan bahwa yang paling baik minimal 10 orang.
Sebagian ulama memutuskan sekurang-kurangnya 20 orang sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Al-Anfal ayat 65.
Ada juga yang menyampaikan bahwa jumlah perawi yang diharapkan dalam hadis mutawatir miniml 40 orang.
Selain pendapat tersebut, ada juga yang memutuskan jumlah perawi dalam hadis mutawatir sebanyak 70.
Penentuan jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya bukan merupakan hal prinsip alasannya yaitu dilema pokok yang dijadikan ukuran bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya (Ilmu Daruri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak adalkan telah menunjukkan keyakinan bahwa gosip yang mereka hingga itu benar, maka sanggup dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
  1. Adanya keseimbangan antarperawi pada Thabaqat (lapisan pertama dengan Thabaqat berikutnya
Jumlah perawi hadis mutawatir, antara thabawat dengan tahabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, kalau suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, lalu diterima oleh sepuluh tabi’in, tidak sanggup digolongan sebagai hadis mutawatir, alasannya yaitu jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
  1. Berdasarkan jawaban pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan jawaban pancaindra. Artinya bahwa gosip yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil telinga atau penglihatan sendiri. Dengan demikian, kalau gosip itu merupakan hasil renungan, anutan atau rangkuman dari suatu insiden lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak sanggup dikatakan hadis mutawatir.
c.       Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tig, yakni hadis mutawatir lafzhi maknawi, dan amali.
Yang dimaksud dengan mutawatir lafzhi yaitu : Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan satu redaksi yang sama atau hadis yang mutawatir lafal dan maknanya.[2]
Contoh hadis mutawatir lafzhi yaitu sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (yang menyampaikan sesuatu yang tiada saya katakana atau saya kerjakan), hendaklah ia menempati neraka”.
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi yaitu : hadis yang maknanya mutawatir , tetapi lafalnya tidak.
Abu bakar as-Sututi mendefinisikan sebagai berikut :
أَنْ يَنْقِلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً تَشْتَرِكُ فىِ أَمْرٍ
Artinya :
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang berdasarkan budbahasa tidak mungkin mereka setuju berdusta atas insiden yang berbeda, tetapi bertemu pada titk persamaa”.
Misalnya, seseorang meriwayatkan bahwa Hatim menunjukkan seekor unta kepada seorang laki-laki. Sementara yang lain meriwayatkan bahwa Hatim menunjukkan seekor kuda kepada seorang laki-laki, dan yang lainnya lagi menyampaikan bahwa Hatim menunjukkan beberapa dinar kepada seorang laki-laki, demikian seterusnya.
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir amali yaitu : Sesuatu yang diketahui dengan gampang bahwa beliau termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW, mengerakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan tar if ijma.
d.      Faedah Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir menunjukkan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menreima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qaht’i (pasti).
2.      Hadis Ahad
a.      Pengertian Hadis Ahad
Kata minggu atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, mak khabar minggu atau khabar wahid suatu gosip yang disampaikan oleh satu orang.
Jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang menunjukkan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.        
b.      Pembagian Hadis Ahad
Para ualam membagi hadis minggu menjadi dua, yaitu masyhur dan ghair masyhur dengankan, ghair masyhur terbagi lagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
  1. Hadis Masyhur
Masyhur berdasarkan bahasa ialah la-intisyar wa az-suyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan popular). Adapun berdasarkan istilah terdapat beberap definisi, antara lain :
Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilang mutawatir, lalu gres mutawatir sesudah sabahat dan demikian pula sesudah mereka.
Hadis ini dinamakan masyhur alasannya yaitu sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan seluruh hadis yang telah popular dalam masyarakat, sekalipun tidak memiliki sanad sama sekali, baik bersatatus sahih atau dhaif ke dalam hadis mansyur.
Hadis masyhur ini ada yang status sahih, hasan, dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur sahih yaitu hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik pada sanad maupun mata-nya.
Adapun yang dimaksud dengan hadis mashyur hasan yaitu hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis, hasan, baik mengenai sanad maupun matan-nya.
Adapun yang dimaksud dengan hadis masyhur dhaif yaitu hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matan-nya.
Macam-macam Masyhur
Hadis masyhur sanggup digolongkan dalam beberapa bab di bawah ini :
1.      Masyhur di kalangan andal hadis.
2.      Masyhur di kalangan ulama andal hadis
3.      Masyhur di kalangan ulama andal fiqih
4.      Masyhur di kalangan ulama andal ushul fiqih
5.      Masyhur di kalangan andal sufi
6.      Masyhur di kalagan ulama-ualam Arab
2.      Hadis Ghair Masyhur
Para ulama andal hadis menggolongkan hadis ghair masyhur menjadi aziz dan gharib.
  1. Hadis Aziz
Kata iziz berasal dari azza – ya’izzu yang berarti ia yakadu yujadu atau qalla wanadar (sedikit atau jarang adanya) atau berasal dari azza-nya’azzu berarti qawiya (kuat).
Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad. Ada juga yang menyampaikan bahwa hadis aziz yaitu hadis diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.
Dari definisi tersebut sanggup disimpulkan bahwa suatu hadis dikatakan hadis aziz bukan saja lantaran diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni semenjak dari thabaqat pertama hingga thabaqat terakhir, tetapi juga kalau dalam salah satu thabaqat didapati dua ornag perawi.

Contoh hadis aziz yaitu :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya :
“Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga saya lebih dicintai dari pada dirinya, orang tunya, anaknya, dan semua manusia”.
Hadis aziz ada yang sahihi sahih, hasan, dan dhaif bergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan, dan dhaif.
  1. Hadis Gharib
Gharib berdasarkan bahsa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya).
Ulama andal hadis mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut :
“Hadis yang diriwayatkan oleh seornag perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainya.”
Ada juga yang menyampaikan bahwa hdis gharib adlah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkan.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi menyerupai yang dimaksud di atas, maka hadis sanggup digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di kawasan ashlu sanaa, tabi’in, bukan sahabat, alasannya yaitu yang menjadi tujuan memperbincangan penyendirian perawi dalam hadis gharib di sini ialah untuk memutuskan apakah periwayatannya sanggup diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sobat tidak perlu diperbincangkan, alasannya yaitu secara umum dna telah diakui oleh jumhur ulama andal hadis bahwa keadilan sahabat-sahabat tidak perlu diragukan lagi.
Adapun hadis gharib yang tegolong pada gharib nisbi yaitu apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang rwi menyerupai ini, biasa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan (kesiqahan) perwi atau mengenai kawasan tinggal atau kota tertentu.





[1] Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, AL-Nusbah Al-Munir fi Garib Asy-Syarh Al-Kabir li Ar-Rafi’I, Juz II, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Neirut, 1398 H/1978 M, Hlm. 321. 
[2] Hasbi As-Siddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirasah Hadis, Jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 61.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel