Aspek-Aspek Yang Menghipnotis Bentuk Akhlak


 Pendahulaun
     Sebagai umat insan kita harus senantiasa taat menjalankan perintahnya agama, yaitu dengan menjalankan segala perintah Allah, serta meninggalkan apa-apa yang dihentikan olehnya[1]; di kala 21 ini, mungkin banyak diantara kita yang masih berkurang memperhatikan dan mempelajari akhlak. Yang perlu diingat, bahwa Tauhid sebagai inti fatwa Islam yang memang seharusnya kita utamakan,disamping mempelajari akhlak. Karena tauhid merupakan realisasi adab seorang hamba terhadap Allah, seseorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia yakni sebaik-baiknya manusia.

     Namun, pada pernyataannya dilapangan. Usaha-usaha training adab melalui banyak sekali forum pendidikan dan melalui banyak sekali macam metode terus dikembangkan. Ini memperlihatkan bahwa adab perlu dibina. Dri training tersebut akan terbentuk pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan rasul-Nya hormat kepada ibu bapak dan sayang kepada sesama mahluk ciptaan Allah.
     Dengan demikian pembentukan adab sanggup diartikan sebagai usaha-usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk adab anak, dengan memakai sarana pendidikan dan training yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten[2]

A. Definisi
     Ada dua pendekatan yang sanggup dipakai untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), pendekatan terminologik (peristilahan).
     Dari sudut pembahasan, adab berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun خُلُقٌ yang berdasarkan bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laris atau tabiat[3]. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalaqun خَلْقٌ yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan خَالِقٌ yang berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun مَخْلُوْقٌ yang berani yang diciptakan.
Ibnu Athir menjelaskan bahwa:
     Hakikat makna khuluq itu, yakni citra batin insan yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqi merupakan citra bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnyaaa badan dan lain sebagainya).
Imam al-Ghazali mengemukakan definisi adab sebagai berikut:
     Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu).
Dr. M. Abdulah Dirroz[4], mengemukakan definisi adab sebagai berikut:
Akhlak yakni sesuatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi mambawa kecendrungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal adab yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal adab yang jahat).
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapatlah dimengerti bahwa adab yakni watak atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah menempel sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan impulsif tanpa dipikirkan dan diangan-angankan lagi.

B. Pembentukan Akhlak
     Pembentukan adab ini dilakukan berdasarkan perkiraan bahwa adab yakni hasil perjuangan pendidikan, latihan, perjuangan keras dan training (muktasabah), bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri insan termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani, dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.
     Akan tetapi, berdasarkan sebagian andal bahwa adab tidak perlu dibuat lantaran adab yakni insting (garizah)[5] yang dibawa insan semenjak lahir. Bagi golongan ini cendrung kepada perbaikan atau fitrah yang ada dalam diri insan dan sanggup juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cendrung pada kebenaran. Dengan pandangan ibarat ini maka adab akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa bentuk atau diusahakan (ghair muktasabah). Kelompok ini lebih lanjut menerka bahwa adab yakni citra batin ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin.

C. Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
A.            Insting dan Naluri
                        Aneka corak refleksi sikap, tindakan dan perbuatan insan dimotivasi oleh potensi kehendak yang dimotori oleh insting seseorang (dalam bahasa arab disebut gharizah).[1][4] Insting merupakan seperangkat tabi”at yang dibawa insan semenjak lahir. Menurut james insting yakni suatau alat yang sanggup menjadikan perbuatan yang memberikan pada tujuan dengan berfikir lebih dahulu kearah tujuan itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu. Para psikolog menjelaskan bahwa insting (naluri) berfungsi  sebagai motivator pengerak yang mendorong lahirnya tingkah laku, antara lain:
1)    Naluri makan
Begitu insan lahir telah mempunyai hasrat makan tanpa didorong oleh orang lain. Buktinya , begitu bayi lahir ia sanggup mencari tetek ibunya dan mehisap air susu ibunya tanpa diajari lagi.
2)      Naluri berjodoh
Laki – laki menginginkan wanita, dan perempuan menginginkan laki – laki.dalam Al- Qur’an diterangkan:

iƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#otsÜZs)ßJø9$#
Dijadikan indah pada (pandangan) insan kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
(QS. Ali Imran : 14 )

3)      Naluri keibubapakan
Ta’biat kecintaan orang renta terhadap anaknya, dan sebaliknya.
4)     Naluri berjuang
Ta’biat insan yang selalu mempertahankan dirinya, dari gangguan dan tantangan, kalau seseorang diserang oleh musuh, maka ia akan membela dirinya.
5)     Naluri ber-Tuhan
Ta’biat insan yang merindukan Penciptanya yang memperlihatkan rahmat kepadanya. Naluri ini disalurkan dalam naluri beragama.[2][5]

            Selain kelima insting tersebut, masih banyak lagi insting yang sering dikemukakan oleh para andal psikologi, contohnya insting ingin tahu dan memberitahu, insting suka bergaul, insting suka meniru, insting takut, dan lain- lain. Insting merasa takut berpakar para manusia, mengikutinya mulai masa kanak-kanak hingga masuk liang kubur. Antar insting ini dengan insting lainnya saling berdesak-desakan. Seperti marah, suka mencipta, suka mengetahui, dan bercumbu-cunbuan,. Sehingga menghambat untuk lahirnya insting takut atau menjadikan alasannya yakni akan keragu-raguan.
Dengan potensi naluri itulah insan sanggup memproduk aneka corak  sikap sesuai pula dengan corak instingnya. Prilaku seseorang akan mencerminkan akhlaknya, kalau prilaku baik maka akhlaknya juga baik.

B.            Pola Dasar Bawaan
Secara individu kepribadian Muslim mencerminkan cirri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut diperolah berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian secara potensi (pembawaan) akan dijumpai adanya perbedaan kepribadian antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Namun perbedaan itu terbatas pada seluruh potensi yang mereka miliki, berdasarkan factor pembawaan masing-masing mencakup aspek jasmani dan rohani. Pada aspek jasmani ibarat perbedaan bentuk fisik, warna kulit, dan cirri-ciri fisik lainnya. Sedangkan pada aspek rohaniah ibarat sikap mental, bakat, tingkat kecerdasan, maupun sikap emosi.

Sebaliknya dari aspek roh, ciri-ciri itu menyatu dalam kesatuan fitrah untuk mengabdi kepada penciptannya. Latar belakang penciptaan insan memperlihatkan bahwa secara fitrah insan mempunyai roh sebagai materi baku yang sama. Menurut Hasan Langgulung, pernyataan tersebut mengandung makna antara lain, bahwa Tuhan memperlihatkan insan beberapa potensi yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Kepibadian secara utuh hanya mungkin dibuat melalui imbas lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun target yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini yakni kepribadian yang dimiliki adab yang mulia. Tingkat kemuliaan adab erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan “ Orang mukmin yang paling tepat imannya, yakni orang mukmin yang paling baik akhlaknya.

Disini terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu keyakinan dan akhlak. Bila keyakinan dianggap sebagai konsep batin, maka batin yakni implikasi dari konsep itu yang tampilanya tercermin dalam sikap sikap sehari-hari. Keimanan merupakan sisi abnormal dari kepatuhan kepada hukum-hukum Tuhan yang ditampilkan dalam lakon adab mulia.

Menurut Abdullah al-Darraz, pendidikan adab dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman. Dengan adanya cermin dari nilai yang dimaksud dalam sikap dan sikap seseorang maka tampillah kepribadiannya sebagai muslim. Muhammad Darraz menilai materi adab merupakan kepingan dari nilai-nilai yang harus dipelajari dan dilaksanakan, hingga terbentuk kecendrungan sikap yang menjadi ciri kepribadian Muslim.

Usaha yang dimaksud berdasarkan Al-Darraz sanggup dilakukan melalui cara memberi materi pendidikan adab berupa :
·                      Pensucian jiwa
·                      Kejujuran dan benar
·                      Menguasai hawa nafsu
·                      Sifat lemah lembut dan rendah hati
·                      Berhati-hati dalam mengambil keputusan
·                      Menjauhi jelek sangka
·                      Mantap dan sabar
·                      Menjadi teladan yang baik
·                      Beramal saleh dan berlomba-lomba berbuat baik
·                      Menjaga diri (iffah)
·                      Ikhlas
·                      Hidup sederhana
·                      Pintar mendengar dan kemudian mengikutinya (yang baik)
Pembentukan kepribadian muslim intinya merupakan upaya untuk mengubah sikap kearah kecendrungan pada nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan. Semua berlajan dalam sautu proses yang panjang dan berkesinambungan. Diantara proses tersebut digambarkan oleh danya hubungan dengan obyek, wawasan, kejadian atau ide(attitude have referent), dan perubahan sikap harus dipelajari (attitude are learned), berdasarkan Al-Ashqar. Ada hubungan timbale balik antara individu dengan lingkungannya.

Selanjutnya kata Al-Ashqar, kalau secara konsekwen tuntutan adab ibarat yang dipedomankan pada Al-Qur’an sanggup direalisasikan dalam kehidupan sehar-hari, maka akan terlihat ciri-cirinya. Ia memperlihatkan rincian ciri-ciri yang dimaksud sebagai berikut:
·         Selalu menepuh jalan hidup yang didasarkan didikan ketuhanan dengan melaksanakan ibadah dalam arti luas.
·         Senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah untuk memperolah bashirah (pemahaman batin) dan furqan (kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk).
·         Mereka memperoleh kekuatan untuk menyerukan dan berbuat benar, dan selalu memberikan kebenaran kepada orang lain.
·         Memiliki keteguhan hati untuk berpegang kepada agamanya.
·         Memiliki kemampuan yang berpengaruh dan tegas dalam menghadapi kebatilan.
·         Tetap tabah dalam kebenaran dalam segala kondisi.
·         Memiliki kelapangan dan ketentraman hati serta kepuasan batin hingga tabah mendapatkan cobaan.
·         Mengetahui tujuan hidup dan menjadikan alam abadi sebagai tujuan final yang lebih baik.
·         Kembali kepada kebenaran dengan melaksanakan tobat dari segala kesalahan yang pernah dibuat sebelumnya.
Dalam hal ini Islam juga mengajarkan bahwa factor genetika (keturunan) ikut berfungsi dalam pembentukan kepribadian Muslim. Oleh lantaran itu, filsafat pendidikan Islam memperlihatkan pedoman dalam pendidikan Prenatal (sebelum lahir), Pembuahan suami atau istri sebaiknya memperhatikan latarbelakang keturunan masing-masing pilihan (tempat yang sesuai) lantaran keturunan akan membekas (akhlak bapak akan menurun pada anak).

Kemudian dalam proses berikutnya, secara sedikit demi sedikit sejalan dengan tahapperkembangan usianya, pedoman mengenai pendidikan anak juga telah digariskan oleh filsafat pendidikan Islam. Kalimat tauhid mulai diperdengarkan azan ketelingan anak yang gres lahir. Kenyataan memperlihatkan dari hasil penelitian ilmu jiwa bahwa bayi sudah sanggup mendapatkan rangsangan suara semasa masih dalam kandungan. Atas dasar kepentingan itu, maka menggemakan azan ketelingan bayi, pada hakikatnya bertujuan memperdengarkan kalimat tauhid diawak kehidupannya didalam dunia.

Pada usia selanjutnya, yaitu usia tujuh tahun bawah umur dibiasakan mengerjakan shalat, dan perintah itu mulai diintensifkan menjelang usia sepuluh tahun. Pendidikan adab dalam pembentukan penyesuaian kepada hal-hal yang baik dan terpuji dimulai semenjak dini. Pendidikan usia dini akan cepat tertanam pada diri anak. Tuntunan yang telah diberikan berdasarkan nilai-nilai keislaman ditujukkan untuk membina kepribadian akan menjadi muslim. Dengan adanya latihan dan penyesuaian semenjak masa bayi, diperlukan semoga anak sanggup menyesuaikan sikap hidup dengan kondisi yang bakal mereka hadapi kelak. Kemampuan untuk menyesuikan diri dengan lingkungan tanpa harus mengorbankan diri yang mempunyai ciri khas sebagai Muslim, setidaknya merupakan hal yang berat.

Dengan demikian pembentukan kepribadian muslim intinya merupakan suatu pembentukan kebiasaan yang baik dan harmonis dengan nilai-nilai adab al-karimah. Untuk itu setiap Muslim diajurkan untuk berguru seumur hidup, semenjak lahir (dibesarkan dengan yang baik) hingga diakhir hayat. Pembentukan kepribadian Muslim secara menyeluruh yakni pembentukan yang mencakup banyak sekali aspek, yaitu:
·         Aspek idiil (dasar), dari landasan pemikiran yang bersumber dari fatwa wahyu.
·         Aspek materiil (bahan), berupa pedoman dan materi fatwa yang terangkum dalam materi bagi pembentukan adab al-karimah.
·         Aspek sosial, menitik beratkan pada hubungan yang baik antara sesama makhluk, khususnya sesama manusia.
·         Aspek teologi, pembentukan kepribadian muslim ditujukan pada pembentukan nilai-nilai tauhid sebagai upaya untuk menjadikan kemampuan diri sebagai pengabdi Allah yang setia.
·         Aspek teologis (tujuan), pembentukan kepribadian Muslim mempunyai tujuan yang jelas.
·         Aspek duratife (waktu), pembentukan kepribadian Muslim dilakukan semenjak lahir hingga meninggal dunia.
·         Aspek dimensional, pembentukan kepribadian Muslim yang didasarkan atas penghargaan terhadap factor-faktor bawaan yang berbeda (perbedaan individu).
·         Aspek fitrah manusia, yaitu pembentukan kepribadian Muslim mencakup bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan kemampuan jasmani, rohani dan ruh.
Pembentukan kepribadian muslim merupakan pembentukan kepribadian yang utuh, menyeluruh, terarah dan berimbang. Konsep ini cenderung dijadikan alasan untuk memberi peluang bagi tuduhan bahwa filsafat pendidikan Islam bersifat apologis (memihak dan membenarkan diri). Penyebabnya antara lain yakni ruang lingkupnya terlalu luas, tujuan yang akan dicapai terlampau jauh, hingga dinilai sulit untuk diterapakn dalam suatu sistem pendidikan.

C.            Lingkungan
Lingkungan ialah suatu yang melingkupi badan yang hidup. Lingkungan insan merupakan apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa. Lingkungan ada dua macam yaitu[3][7]:
a.            Lingkungan alam
Lingkungan alam telah menjadi perhatian para ahli-ahli  semenjak zaman Plato sehingga kini ini.dengan memberi penjelasan- klarifikasi dan hingga hasilnya membawa pengaruh. Ibnu Chaldun telah menulis dalam kitab pendahuluannya. Maka badan yang hidup tumbuhnya bahkan hidupnya tergantung pada keadaan  lingkungan yang ia hidup didalamnya.
Kalau lingkungan tidak cocok kepada tubuh, maka badan tersebut akan mati. Udara , cahaya, dan apa yang ada di sungai, serta di lautan sangat mempengaruhi dalam kesehatan penduduk dan keadaan mereka yang mengenai nalar dan akhlak.
 Demikian juga akal, yakni saling mempengaruhi antara nalar dengan lingkungan, dan antara apa yang melingkunginya. Akal tidak tetap atau meningkat ke atas kecuali dengan mempergunakan pikirannya dalam keadaan di kanan – kirinya dan mengambil paedah dari lingkungan yang berada disekitarnya.
b.            Lingkungan pergaulan
Lingkungan pergaulan mencakup manusia, ibarat rumah, sekolah, pekerjaan, pemerintah, syiar agama, ideal, keyakinan, pikiran – pikiran, budbahasa istiadat, pendapat umum, bahasa, kesusastraan, kesenian, pengetahuan dan akhlak. Pendeknya apa yang dihasilkan oleh kemajuan manusia.
Manusia pada umumya lebih banyak terpengaruh pada “lingkungan alam”. Apabila ia telah menerima sedikit kemajuan, “lingkungan pergaulan”lah yang menguasainya, sehingga ia sanggup mengubah lingkungan atau mengikuti keadaan kepadanya. Contohnya saat udara panas ia mengunakan pakaian tipis dan putih, semoga sanggup menolak hawa panas, dan membangun rumahnya berdasarkan aturan tertentu dan sanggup menyejukkan.[4][8]
Walaupun insan terpengaruh oleh lingkungan alam atau lingkungan pergaulan namun dengan nalar ia sanggup membatasi dan memilih lingkungan yang cocok untuknya.

D.            Kebiasaan
                        Adat / kebiasaan yakni setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan.[5][1] Perbuatan yang telah menjadi budbahasa kebiasaan, tidak cukup hanya di ulang-ulang saja, tetapi harus disertai kesukaan dan kecendrungan hati terhadapnya.
                        Segala perbuatan, baik atau buruk, akan menjadi budbahasa kebiasaan karna dua faktor: “ kesukaan hati kepada sesuatu pekerjaan dan mendapatkan kesukaan itu dengan melahirkan sesuatu perbuatan, dan dengan di ulang- ulang secukupnya”. Adapun berulangnya sesuatu perbuatan saja, (yakni mengerakkan anggota badan dengan perbuatan), tidak ada gunanya dalam pembentukan budbahasa kebiasaan. Seperti seseorang yang sakit yang berulang-ulang menelan obat yang sangat pahit yang tidak di sukainya, mengharap lekas sembuh supaya tidak menelannya lagi, baginya penelanan obat itu tidak menjadi budbahasa kebiasaan. Seperti  seorang murid yang malas pergi ke sekolah, beliau pergi kesekolah hanya karna tekanan orang tua, sehingga apabila tidak ada tekanan orang renta tersebut ia tidak mau pergi ke sekolah. Akan tetapi kita melihat peminum minuman keras yang di ulang- ulangi meminum minuman keras tersebut.[6][2]
                        Alasan dalam pola ini adalah, bahwa orang yang sakit itu hatinya tidak suka minum obat, padahal ia ingin sehat kembali. Maka karna kesukaan hati dalam suatu perbuatan dan mengulanginya tidak konkret ada, sehingga tidak menjadi budbahasa kebiasaan. Demikian juga seorang murid yang hatinya tidak suka pergi kesekolah, dimana ia hanya pergi karna tekanan orang tua, hal itu tidak dikatakan kebiasaan. Ada pun peminum minuman keras yang suka meminum minuman keras dan kesukaan ini diualng - ulanginya, maka hal inilah yang menjadi budbahasa kebiasaan.
                        Mengulangi sesuatu hal, dengan kesukaan hati saja tidak cukup dikatakan suatu kebiasaan. Barang siapa yang ingin berulang kali ingin meminum minuman keras, akan tetapi tidak mengulangi maka hal itu tidak menjadi kebiasaan. Dengan demikian suatu hal yang akan menjadi suatu budbahasa kebisaan karna cita-cita hati dan dilakukannya, serta di ulang - ulanginya.[7][3]
Fungsi kebiasaan  adalah:
a.    Memudahkan perbuatan
                        Seperti percakapan yang kita lakukan, yang menghabiskan beberapa tahun untuk mempelajarinya, dan mempergunakan kerongkongan, lidah, langit - langit, dan bibir. Dan terkadang untuk mengucapkan sepatah kata mempergunakan semua anggota tersebut. Anak kecil berangsur - angsur dari mengucapkan beberapa abjad yang gampang kepada yang sukar, sehingga terbentuk budbahasa kebiasaan, dan sanggup berbicara dengan tidak terasa sukar sedikitpun.
b.      Menghemat waktu dan perhatian
Perbuatan yang diulang - ulang dan menjadi kebiasaan, maka seseorang sanggup melaksanakan dalam waktu yang lebih singkat dan tidak menghajatkan kepada perhatian yang banyak. Contohnya kita menulis,  yang membutuhkan beberapa  waktu dan perhatian yang tepat dan mempersiapkan segala pikiran yang ada, akan tetapi sehabis menjadi kebiasaan dapatlah seseorang menulis beberapa halaman dalam waktu yang sama saat ia menulis satu baris, dan sanggup pula sambil menulis pikirannya melayang ke lain jurusan. Maka kehidupan kita bertambah - tambah ratusan kali karna kebiasaan.
                        Contoh lain yaitu, perbandingan antara asisten dan tangan kiri merupakan kebiasaan yang menjadikan asisten lebih tangkis, lebih cepat mempelajarinya, dan apabila tangan kanannya hilang, orang sanggup mengerjakan dengan tangan kirinya, apa yang dikerjakan tangan kanannya, bahkan banyak orang yang hilang kedua tangannya, kemudian bisa mengerjakan dengan kedua kakinya apa yang dahulu dikerjakan dengan kedua tangannya.
Ada beberapa cara untuk sanggup merubah kebiasaan yang buruk, yaitu:
a)         Berniat sungguh - sungguh.
                        Niat tersebut tidak ada perasaan ragu - ragu. Kita harus mau meletakkan diri ketempat yang cocok dengan kebiasaan yang baik. Kemudian mengikat lawan budbahasa kebiasaan yang buruk. Janganlah mengulangi perbuatan yang jelek lagi.kerjakan niat tersebut dengan kekuatan yang besar.
b)        Menghindari kebiasaan  yang buruk, sekaligus meninggalkannya
c)    Carilah waktu yang baik untuk memperbaiki niatmu, kemudian ikutilah segala gerak jiwa yang menolong perbaiki niat tersebut.
d)   Jagalah pada dirimu  kekuatan penolak dan peliharalah semoga selalu hidup dalam jiwamu, dengan mendarmakan perbuatan yang kecil-kecil tiap hari, untuk mengekang hawa nafsumu, karna yang demikian itu sanggup menolong engkau untuk menghadapi segala penderitaan kalau tiba waktunya.

E.            Pendidikan
                        Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, dan adab seseorang. Bebagai ilmu diperkenalkan semoga siswa memahaminya dan sanggup melaksanakan suatu perubahan pada dirinya. Begitu pula apabila, siswa diberi pelajaran “AKHLAK”, maka memberi tahu bagaimana seharusnya insan itu bertingkah laku, bersikap terhadap sesamanya, dan pernciptanya(Tuhan).
Dengan demikian , strategis sekali dikalangan pendidiakn dijadikan sentra sikap yang kurang baik untuk diarahkan menuju keperilaku yang baik. Maka dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan, untuk bisa dijadikan agent perubahan sikap dan sikap manusia.
Dari tenaga pendidik (pengajar) perlu memiki kemampuan profesionallitas dalam bidangnya. Dia harus bisa memperlihatkan wawasan, materi, mengarahkan dan membimbing anak didiknya, ke hal yang baik. Dengan penuh perhatian, sabar, ulet, tekun, dan berusaha terus menerus, pengajar hendaknya melaksanakan pendekatan psikologis.
Unsur lain yang perlu diperhatikan yakni materi pengajaran. Apabila materi pengajaran yang disampaikan oleh pendidik menyimpang dan mengarah ke perubahan sikap yang menyimpang, inilah suatu keburukan dalam pendidikan. Tetapi sebaliknya, apabila materinya baik dan benar setidaknya siswa akan terkesan dalam sanubari pribadinya. Bekasan materi itu akan memotivasi bagaimana harus bertindak yang baik dan benar. Penguasaan metodologis pengajaran yang dilakukan pendidik juga akan berperan aktif dalam mempengaruhi adab siswa.
Lingkungan sekolah dalam dunia pendidikan merupakan daerah bertemunya semua watak. Perilaku dari masing – masing anak yang berlainan. Ada anak yang nakal, berprilaku baik dan sopan dalam bahasanya, beringas sifatnya, lancar pembicarannya, bakir pemikirannya dan sebagainya. Kondisi kepribadian anak yang sedemikian rupa, dalam interaksi antara anak satu, dengan anak lainnya akan saling mempengaruhi juga pada kerpribadian anak. [8][6]
Dengan demikian lingkungan pendidikan sangat memengaruhi jiwa anak didik. Dan akan diarahkan kemana anak didik dan perkembangan kepribadiannya. Jika lingkungan pendidikan anak itu baik maka akhlaknya juga baik.

 



DAFTAR PUSTAKA

[1][4] Zahrudin,  Pengantar Studi Akhlak, ( Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada ,  2004 ) h. 93
[1][1] Deswita, Akhlak Tasawuf,   (Batusangkar : STAIN Batusangkar Press, 2010) h. 93
[1][2] Ahmad Amin,  Etika Ilmu Akhlak, ( Jakarta: Bulan Bintang,  1952) h. 21
       Ahmad, Imam S, Tuntunan Akhlaqul Karimah (Jakarta: LEKDIS, 2005)
Moh. Amin, Drs. Pengantar Ilmu Akhlaq (Surabaya: EXPRESS, 1987)
Mustofa. A. Drs. H. Akhlak Tasawuf (Bandung CV. Pustaka Setia, 1999)
Nata. MA, Abuddin, Prof. Dr. H, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Jalaludin, Teologi Pendidikan.Raja Gafindo Persada .Jakarta: 2002

-----------, Teologi Pendidikan Islam. (Edisi Revisi) Raja Grafindo Persada. Jakarta : 2003



                [1][4] Zahrudin,  Pengantar Studi Akhlak, ( Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada ,  2004 ) h. 93
                [2][5] Deswita . op. cit. h. 92
[3][7] Ahmad Amin,  Op. cit  h. 41
[4][8] Mustofa, Op. cit  h. 92
                [5][1] Deswita, Akhlak Tasawuf,   (Batusangkar : STAIN Batusangkar Press, 2010) h. 93
                [6][2] Ahmad Amin,  Etika Ilmu Akhlak, ( Jakarta: Bulan Bintang,  1952) h. 21
                [7][3] Ibid. h. 22
                [8][6] Mustofa,  Akhlak tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 1999) h. 110

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel