Makalah Janji Dalam Perspektif Bisnis

I.   LATAR BELAKANG
Al Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur aktivitas bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melaksanakan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Salah satu fatwa Al Alquran yang paling penting dalam duduk masalah pemenuhan janji dan kontrak yaitu kewajiban menghormati semua kontrak dan janji (akad), serta memenuhi semua kewajiban. Al Alquran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti positif bahwa Al Alquran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melaksanakan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Oleh lantaran pentingnya kewajiban menghormati serta memenuhi semua kesepakatan (kontrak) dalam kehidupan berbisnis. Maka dari itu saya sebagai penulis mencoba memaparkan bagaimana aplikasi kesepakatan dalam bisnis. Yang penjelasannya akan dismapaikan dalam isi esai berikut ini.


II.  POKOK MASALAH
Berikut yaitu pokok-pokok duduk masalah yang akan dibahas dalam esai ini :
a.       Apa definisi dari akad?
b.      Bagaimana pandangan Islam terhadap akad?
c.       Bagaimana aplikasi dari kesepakatan syariah dalam kehidupan ekonomi ?




III.  ANALISIS
A. Pengertian
Secara etimilogi, kesepakatan antara  lain berarti:[1] “ikatan antara dua perkara, baik secara positif maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Secara umum, pengertian kesepakatan dalam arti luas hamper sama dengan pengertian kesepakatan dari segi bahasa berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu:[2] segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, menyerupai wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan harapan dua orang menyerupai jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian kesepakatan secara khususyang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
Menurut Ibn Abidin, Akad yaitu perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.[3]
Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad yaitu pengaitan salah seorang yang kesepakatan dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]

B.  Dasar Hukum Akad[5]

#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%߉|¹ \’s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿ‹ÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai derma dengan penuh kerelaan. Kemudian kalau mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan bahagia hati, Maka makanlah (ambillah) derma itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa  : 4)[6]

#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya : “Apabila kau mentalak isteri-isterimu, kemudian habis masa iddahnya, Maka janganlah kau (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kau kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kau tidak Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 232)[7]

C.  Rukun Akad
Menurut pendapat ulama rukun kesepakatan ada 3 yaitu [8]
1.      Orang-orang yang kesepakatan (”aqid), pola : Penjual dan Pembeli.
2.      Sesuatu yang diakadkan 9Maqud ”Alaih), pola : Harga atau yang dihargakan.
3.      Shighat, yaitu Ijab dan qabul

D.  Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis
Al Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur aktivitas bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melaksanakan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Alquran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam duduk masalah bisnis antar individu maupun kelompok.Al Alquran mengakui hak individu dan kelompok untuk mempunyai dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Alquran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Alquran menawarkan kemerdekaan penuh untuk melaksanakan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh lantaran itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.[9]
Pengakuan Al Alquran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang bekerjasama dengan harta miliknya, apakah ia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Alquran menawarkan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, lantaran hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada aturan natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan seruan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan sanggup menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua budpekerti bisnis yang ditata oleh Al Alquran pada ketika melaksanakan semua transaksi, yakni:[10]
1.      Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melaksanakan transaksi;
2.      Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3.      Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4.      Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak ketika kalau mendapat kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melaksanakan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat  luas. Ajaran Al Alquran yang menyangkut keadilan dalam bisnis sanggup dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu fatwa Al Alquran yang paling penting dalam duduk masalah pemenuhan janji dan kontrak yaitu kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Alquran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti positif bahwa Al Alquran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melaksanakan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melaksanakan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen.  Al Alquran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melaksanakan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang diharapkan yaitu modal. Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi mencakup materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Berbagai macam bentuk kesepakatan muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang dipaparkan secara singkat berikut ini.[11]

1.  Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah yaitu kesepakatan kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu perjuangan tertentu dan masing-masing pihak menawarkan bantuan dana dengan laba dan resiko akan ditanggung bersama sesuai  dengan kesepakatan.
Al Musyarakah dalam aplikasi forum keuangan Syariah sanggup berbentuk:
1.      Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku perjuangan dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang dipakai beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
2.      Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh forum keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu forum keuangan tersebut melaksanakan divestasi atau menjual kepingan sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
2.  Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah yaitu kesepakatan kerjasama perjuangan antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan laba perjuangan dibagi berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah yaitu berbentuk:
  1. Pembiayaan Modal Kerja, menyerupai modal kerja perdagangan dan jasa;
  2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, yaitu pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang dipakai untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).
3.  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah yaitu jual-beli barang pada harga asal dengan aksesori laba yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan memilih suatu tingkat laba (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3.      Kontrak harus bebas dari riba;
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli kalau terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5.      Penjual harus memberikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah yaitu untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah yaitu kontrak untuk sekali kesepakatan (one short deal), sehingga kurang tepat kalau dipakai untuk pembiayaan modal kerja.
4.  Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, alasannya pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara terang dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan sanggup menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, contohnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.

5.  Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna  merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran sanggup dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli sanggup mengizinkan pembuat barang memakai sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang sanggup menciptakan kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak menyerupai ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

6.  Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah yaitu kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah sanggup pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya kesepakatan sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada final periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah sanggup dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya memakai Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik ketika leasing ataupun sesudahnya.

7.  Qard Al  Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard yaitu kesepakatan yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan sanggup ditagih kembali serta merupakan kesepakatan saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah yaitu ikut serta dalam aktivitas sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.
Qard al Hasan yaitu produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan sanggup dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa aksesori atas dana yang dipinjam.
Dengan demikian, sanggup kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, lantaran semata-mata hanya memakai kesepakatan pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.



IV.  KESIMPULAN

Setelah memaparkan isi dari esai di atas maka saya sebagai penulis sanggup menyimpulkan :
1.      Akad yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, menyerupai wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan harapan dua orang menyerupai jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2.      Islam memandang kesepakatan sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa kesepakatan yang benar dan shahih sebuah transaksi bisnis tidak menjadi sah dan halal dalam mata agama, lantaran pentingnya maka kesepakatan dijelaskan di dalam Al Qur’an menyerupai tertuang di dalam surat Al Baqarah 232, An Nisa, dll. Yangf menjadi dasar aturan dari kesepakatan itu sendiri di dalam agama Islam.
3.      Aplikasi dari kesepakatan syariah dalam bisnis yaitu kesepakatan dalam bentuk Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi),  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka), Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan), Al  Ijarah (Sewa/ Leasing), Qard Al Hasan (Pinjaman Kebajikan).





DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A. 2001.  Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
2.      Abdul Majid. 1986. Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam. Bandung : IAIN SGD.
3.      Hendi Suhendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
4.      M. Hasbi Ash Shiddiqie. 1997.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
5.      Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
6.      Sayyid Sabiq. 1973. Fiqhus Sunnah. Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabiah.
7.      Sulaiman Rasjid. 1994. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
8.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. 1993. Studi Islam Jilid III Muamlah. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
9.      Departemen Agama RI. 2003.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro.
10.  Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
11.  http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
12.  http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad

[1] “ikatan antara dua perkara, baik secara positif maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Secara umum, pengertian kesepakatan dalam arti luas hamper sama dengan pengertian kesepakatan dari segi bahasa berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu:[2] segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, menyerupai wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan harapan dua orang menyerupai jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian kesepakatan secara khususyang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
Menurut Ibn Abidin, Akad yaitu perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.[3]
Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad yaitu pengaitan salah seorang yang kesepakatan dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]

B.  Dasar Hukum Akad[5]

#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%߉|¹ \’s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿ‹ÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai derma dengan penuh kerelaan. Kemudian kalau mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan bahagia hati, Maka makanlah (ambillah) derma itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa  : 4)[6]

#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r& #sŒÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$Î/ 3 y7Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sム«!$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ ÷LäêRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya : “Apabila kau mentalak isteri-isterimu, kemudian habis masa iddahnya, Maka janganlah kau (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kau kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kau tidak Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah : 232)[7]

C.  Rukun Akad
Menurut pendapat ulama rukun kesepakatan ada 3 yaitu [8]
1.      Orang-orang yang kesepakatan (”aqid), pola : Penjual dan Pembeli.
2.      Sesuatu yang diakadkan 9Maqud ”Alaih), pola : Harga atau yang dihargakan.
3.      Shighat, yaitu Ijab dan qabul

D.  Aplikasi Akad Syariah Dalam Bisnis
Al Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur aktivitas bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melaksanakan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Alquran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam duduk masalah bisnis antar individu maupun kelompok.Al Alquran mengakui hak individu dan kelompok untuk mempunyai dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Alquran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Alquran menawarkan kemerdekaan penuh untuk melaksanakan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh lantaran itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.[9]
Pengakuan Al Alquran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang bekerjasama dengan harta miliknya, apakah ia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Alquran menawarkan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, lantaran hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada aturan natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan seruan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan sanggup menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua budpekerti bisnis yang ditata oleh Al Alquran pada ketika melaksanakan semua transaksi, yakni:[10]
1.      Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melaksanakan transaksi;
2.      Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3.      Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4.      Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak ketika kalau mendapat kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6.      Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melaksanakan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat  luas. Ajaran Al Alquran yang menyangkut keadilan dalam bisnis sanggup dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu fatwa Al Alquran yang paling penting dalam duduk masalah pemenuhan janji dan kontrak yaitu kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Alquran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah  Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti positif bahwa Al Alquran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melaksanakan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melaksanakan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen.  Al Alquran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melaksanakan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang diharapkan yaitu modal. Modal dalam pengertian ekonomi Syariah bukan hanya uang, tetapi mencakup materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Berbagai macam bentuk kesepakatan muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain sebagaimana yang dipaparkan secara singkat berikut ini.[11]

1.  Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah yaitu kesepakatan kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu perjuangan tertentu dan masing-masing pihak menawarkan bantuan dana dengan laba dan resiko akan ditanggung bersama sesuai  dengan kesepakatan.
Al Musyarakah dalam aplikasi forum keuangan Syariah sanggup berbentuk:
1.      Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku perjuangan dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang dipakai beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
2.      Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh forum keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu forum keuangan tersebut melaksanakan divestasi atau menjual kepingan sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
2.  Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah yaitu kesepakatan kerjasama perjuangan antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan laba perjuangan dibagi berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah yaitu berbentuk:
  1. Pembiayaan Modal Kerja, menyerupai modal kerja perdagangan dan jasa;
  2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, yaitu pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang dipakai untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).
3.  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah yaitu jual-beli barang pada harga asal dengan aksesori laba yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan memilih suatu tingkat laba (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3.      Kontrak harus bebas dari riba;
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli kalau terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5.      Penjual harus memberikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah yaitu untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah yaitu kontrak untuk sekali kesepakatan (one short deal), sehingga kurang tepat kalau dipakai untuk pembiayaan modal kerja.
4.  Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, alasannya pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara terang dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan sanggup menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, contohnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.

5.  Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna  merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran sanggup dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli sanggup mengizinkan pembuat barang memakai sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang sanggup menciptakan kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak menyerupai ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

6.  Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah yaitu kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah sanggup pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya kesepakatan sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada final periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah sanggup dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya memakai Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik ketika leasing ataupun sesudahnya.

7.  Qard Al  Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard yaitu kesepakatan yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan sanggup ditagih kembali serta merupakan kesepakatan saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah yaitu ikut serta dalam aktivitas sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.
Qard al Hasan yaitu produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan sanggup dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa aksesori atas dana yang dipinjam.
Dengan demikian, sanggup kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, lantaran semata-mata hanya memakai kesepakatan pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.



IV.  KESIMPULAN

Setelah memaparkan isi dari esai di atas maka saya sebagai penulis sanggup menyimpulkan :
1.      Akad yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, menyerupai wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan harapan dua orang menyerupai jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2.      Islam memandang kesepakatan sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa kesepakatan yang benar dan shahih sebuah transaksi bisnis tidak menjadi sah dan halal dalam mata agama, lantaran pentingnya maka kesepakatan dijelaskan di dalam Al Qur’an menyerupai tertuang di dalam surat Al Baqarah 232, An Nisa, dll. Yangf menjadi dasar aturan dari kesepakatan itu sendiri di dalam agama Islam.
3.      Aplikasi dari kesepakatan syariah dalam bisnis yaitu kesepakatan dalam bentuk Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi),  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka), Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan), Al  Ijarah (Sewa/ Leasing), Qard Al Hasan (Pinjaman Kebajikan).





DAFTAR PUSTAKA

1.      Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A. 2001.  Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia.
2.      Abdul Majid. 1986. Pokok-Pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam. Bandung : IAIN SGD.
3.      Hendi Suhendi. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
4.      M. Hasbi Ash Shiddiqie. 1997.  Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
5.      Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
6.      Sayyid Sabiq. 1973. Fiqhus Sunnah. Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabiah.
7.      Sulaiman Rasjid. 1994. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
8.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. 1993. Studi Islam Jilid III Muamlah. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
9.      Departemen Agama RI. 2003.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro.
10.  Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
11.  http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
12.  http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-akad

[11] http://kasei-unri.org/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel