Makalah Hak Pilih ( Khiyar ) Dalam Perjuangan Ekonomi Islam
I. LATAR BELAKANG
Disadari ataupun tidak, kita sebagai umet muslim sering melaksanakan khiyar dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dalam proses jual-beli. Misalnya saja, ketika kita membeli baju untuk anak kita tetapi ketika baju itu dibawah kerumah baju itu tidak muat untuk anak kita / terdapat cacat di bajunya sehingga kita mengembalikan dan menukarnya kepada pedagang karena ketika membeli kita sudah ada perjanjian dengannya pabila tidak muat boleh dikembalikan. Nah itu yakni salah satu pola daripada khiyar. Tapi mungkin karena faktor ketidaktahuan dan malasnya kita mencar ilmu akan fiqh muamalah kitamenjadi tidak tahu apa itu khiyar?
Iya, Khiyar yakni pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli. Dalam pertimbangan bisnis dan ekonomi khiyar ini menjadi penting karena dengan adanya khiyar orang yang melaksanakan transaksi bisnis yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.
Dalam hal ini penulis mencoba menganalisa bagaimana khiyar (hak pilih0 dalam perjanjian perjuangan berdasarkan ekonomi Islam yang akan penulis jelasakan dalam klarifikasi dibawah ini.
II. POKOK-POKOK MASALAH
Pokok-pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam esai ini adalah
1. Apa definisi dari khiyar?
2. Macam-macam khiyar dalam perjanjian perjuangan berdasarkan ekonomi Islam?
3. Bagaimana pandangan Islam mengenai khiyar?
4. Bagaimana pandangan ekonomi Islam mengenai khiyar?
III. ANALISIS
A. Definisi Khiyar (Hak Pilih)
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya yakni menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melaksanakan perjanjian perjuangan untuk menentukan antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.[1]
Khiyar artinya “boleh menentukan antara dua, meneruskan janji jual beli atau mengurugkan (menarik kembali, tidak jadi dijula beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ biar kedua orang tadi yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.[2]
Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau membatalkan.[3]
Khiyar yaitu pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli.[4]
Khiyar yakni menentukan akan meneruskan jual beli atau akan membatalakannya.[5]
Khiyar ialah suatu perjanjian (perakadan) antara pembeli dan penjual untuk menentukan kemungkinan jadi atau tidak hasilnya jual beli dalam tempo tertentu (yang ditentukan kedua belah pihak).[6]
B. Macam-Macam Khiyar (Hak Pilih)
Menurut ulama Hanafiyah jumlah khiyarada 17.[7]Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua cuilan yaitu khiyar al-taamul (melihat, meneliti) yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang) yakni apabila terdapat kekurangan atau malu pada barang yang dijual.[8] Ulama syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua yakni khiyar al-tasyahi adalah khiyar yang mengakibatkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adlah khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbeadaan dalam lafazh atau adanya kessalahan dalam pembuatan atau pergantian.[9]
Macam-macam khiyar dalam perjanjian Usaha berdasarkan Islam :[10]
[1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)
Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya yakni sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli mempunyai kebebasan menentukan selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?
Arti beranjak di sini yakni luas, dikembalikan kepada kebiasaan.
[2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini yakni hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu’; bab: Penipuan yang dihentikan dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu barang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]
Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian berdasarkan lebih banyak didominasi ulama demi merealisasikan nasihat yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat lebih banyak didominasi ulama dalam problem ini lebih tepat.
Hak pilih persyaratan masuk dalam aneka macam perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak mendapatkan hak pilih yang satu ini, karena semua janji tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
[3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)
Maksudnya yakni hak orang yang terikat perjanjian perjuangan yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, mirip rumah, kendaraan beroda empat dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat ketika akad.
Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
[4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)
Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh karena itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini yakni cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melaksanakan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah sanggup dimaklumi secara aksio-matik.
Hak pilih terhadap cacat ini memperlihatkan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Tetapi jika orang tersebut sudah rela dengan adanya malu itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.
[5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha
Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk menentukan dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian perjuangan yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut berhak memilihnya.
Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga menyerupai menjual kucing dalam karung yang itu terang meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak mengakibatkan terjadinya pertikaian.
Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:
1. Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, terang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
2. Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan klarifikasi harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara klarifikasi harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menjadikan perselisihan.
3. Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan biar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sobat dia lebih menentukan semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.
Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara menentukan objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya mempunyai kesempatan menentukan atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan lebih banyak didominasi dalam madzhab ini mereka menentukan pendapat terakhir ini.
C. Cacat Dalam Perjanjian Usaha[11]
Ketika melaksanakan sebuah perjanjian perjuangan terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak mempunyai sandaran ilmu yang benar. Maka pada ketika itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu sanggup dipaparkan sebagai berikut:
1. Intimidasi
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melaksanakan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1) Pihak yang mengintimidasi hendaknya bisa melaksanakan ancamannya.
2) Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa bahaya itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3) Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak kuat sama sekali.
Para andal fiqih telah bersepakat bahwa aneka macam acara finansial yang didasari oleh suka sama suka, mirip jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua acara itu dibolehkan sehabis hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan sehabis sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifahmembolehkannya.
2. Kekeliruan.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian perjuangan tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu citra tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli pelengkap berlian, ternyata dibentuk dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibentuk dari katun.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada akomodasi yang menjadi objek, mirip perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara binatang sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan akomodasi yang menyolok, mirip orang yang membeli binatang jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
3. Ghubn (Penyamaran Harga Barang)
Ghubn secara bahasa artinya yakni pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya yakni pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau tukar barang antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melaksanakan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, mempunyai barang dengan harga lebih mahal dari harga bekerjsama barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri berdasarkan kalangan andal fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
1. Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak hingga mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.
2. Penyamaran Berat Yakni yang hingga mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya yakni sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam bundar kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanjian perjuangan lain, masih diperselisihkan efek penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian perjuangan yang dilakukan dan menjaganya biar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari perilaku teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akhir perbuatannya itu.
2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan perilaku semena-mena terhadap dirinya.
3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya yakni penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada efek apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat yakni kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam problem ini.
D. Fungsi Khiyar
Fungsi khiyar yakni supaya kedua orang yang berjual beli sanggup memikirkan lebih lanjut mengenai dampak positif atau negatifnya bagi mereka masing-masing. Dengan demikian diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi penyesalan di belakang hari karena adanya penipuan, kesalahan, dan paksaan.[12]
III. KESIMPULAN
3. Islam memandang khiyar yakni sesuatu yang sangat pentin dalam hal jual beli karena biar kedua orang tadi yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.
4. Dalam ekonomi Islam, khiyar menjadi otoriter diharapkan ketika seorang pengusaha atau pelaku ekonomi ingin melaksanakan transaksi bisnis atau ekonomi karena dengan adanya khiyar berarti menjamin kemaslahatan kedua pihak sehingga sanggup saling menguntungkan, serta tidak saling mendzalimi dan merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Penerbit Darul Haq, 2002.
2. Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
3. Kahar Mansyur. Ilmu Urkhul Fiqh. Muassasah al Risalah. Beirut. 1994.
4. M. Hasbi Ash Shiddiqie. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
5. Mohammad Anwar. Mu’amalat, Munakahat Faraid, dan Janayat.. Dar al
kutub Al Arabiy. Kairo. 1990
6. Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
7. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. PT. Al Ma’arif. Bandung. 1988.
8. Sudarsono. Pokok – Pokok Hukum Islam.. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2001
9. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam.. Sinar Baru Algesindo. Bandung. 2002
10. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.. Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001
11. http//jacksite.wordpress.com/2007/07/03/khiyar/#comment
Disadari ataupun tidak, kita sebagai umet muslim sering melaksanakan khiyar dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dalam proses jual-beli. Misalnya saja, ketika kita membeli baju untuk anak kita tetapi ketika baju itu dibawah kerumah baju itu tidak muat untuk anak kita / terdapat cacat di bajunya sehingga kita mengembalikan dan menukarnya kepada pedagang karena ketika membeli kita sudah ada perjanjian dengannya pabila tidak muat boleh dikembalikan. Nah itu yakni salah satu pola daripada khiyar. Tapi mungkin karena faktor ketidaktahuan dan malasnya kita mencar ilmu akan fiqh muamalah kitamenjadi tidak tahu apa itu khiyar?
Iya, Khiyar yakni pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli. Dalam pertimbangan bisnis dan ekonomi khiyar ini menjadi penting karena dengan adanya khiyar orang yang melaksanakan transaksi bisnis yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.
Dalam hal ini penulis mencoba menganalisa bagaimana khiyar (hak pilih0 dalam perjanjian perjuangan berdasarkan ekonomi Islam yang akan penulis jelasakan dalam klarifikasi dibawah ini.
II. POKOK-POKOK MASALAH
Pokok-pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam esai ini adalah
1. Apa definisi dari khiyar?
2. Macam-macam khiyar dalam perjanjian perjuangan berdasarkan ekonomi Islam?
3. Bagaimana pandangan Islam mengenai khiyar?
4. Bagaimana pandangan ekonomi Islam mengenai khiyar?
III. ANALISIS
A. Definisi Khiyar (Hak Pilih)
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya yakni menentukan yang ter-baik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya: Hak yang dimiliki orang yang melaksanakan perjanjian perjuangan untuk menentukan antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.[1]
Khiyar artinya “boleh menentukan antara dua, meneruskan janji jual beli atau mengurugkan (menarik kembali, tidak jadi dijula beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ biar kedua orang tadi yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan tejadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.[2]
Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau membatalkan.[3]
Khiyar yaitu pemilihan di dalam melaksanakan janji jual beli apakah mau meneruskan janji jual beli atau mengurungkan/ menarik kembali kehendak untuk melaksanakan jual beli.[4]
Khiyar yakni menentukan akan meneruskan jual beli atau akan membatalakannya.[5]
Khiyar ialah suatu perjanjian (perakadan) antara pembeli dan penjual untuk menentukan kemungkinan jadi atau tidak hasilnya jual beli dalam tempo tertentu (yang ditentukan kedua belah pihak).[6]
B. Macam-Macam Khiyar (Hak Pilih)
Menurut ulama Hanafiyah jumlah khiyarada 17.[7]Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua cuilan yaitu khiyar al-taamul (melihat, meneliti) yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang) yakni apabila terdapat kekurangan atau malu pada barang yang dijual.[8] Ulama syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua yakni khiyar al-tasyahi adalah khiyar yang mengakibatkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adlah khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbeadaan dalam lafazh atau adanya kessalahan dalam pembuatan atau pergantian.[9]
Macam-macam khiyar dalam perjanjian Usaha berdasarkan Islam :[10]
[1]. Hak Pilih Di Lokasi Perjanjian (Khiyarul Majlis)
Yakni semacam hak pilih bagi pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Dasarnya yakni sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Penjual dan pembeli mempunyai kebebasan menentukan selama mereka belum beranjak dari lokasi transaksi.?
Arti beranjak di sini yakni luas, dikembalikan kepada kebiasaan.
[2]. Hak Pilih Dalam Persyaratan (Khiyar asy-Syarth)
Yakni persyaratan yang diminta oleh salah satu dari pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain, untuk diberikan hak menggagalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini yakni hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidak-jelasan barang jualan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlihatkan kepadanya hak pilih. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, ‘Tidak ada penipuan’.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al Buyu’; bab: Penipuan yang dihentikan dalam jualbeli, nomor 2117. Juga dalam kitab al Hiyal, nomor 4964. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al Buyu barang yang tertipu dalam jual beli, nomor:1533]]
Hak pilih ini juga bisa dimiliki oleh selain pihak-pihak yang sedang terikat dalam perjanjian berdasarkan lebih banyak didominasi ulama demi merealisasikan nasihat yang sama dari disyariatkannya persyaratan hak pilih bagi pihak-pihak yang terikat tersebut. Pendapat ini ditentang oleh Zufar dan Imam Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapat beliau. Namun pendapat lebih banyak didominasi ulama dalam problem ini lebih tepat.
Hak pilih persyaratan masuk dalam aneka macam perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak mendapatkan hak pilih yang satu ini, karena semua janji tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
[3]. Hak Pilih Melihat (Khiyar ar-Ru’yah)
Maksudnya yakni hak orang yang terikat perjanjian perjuangan yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak ber-kenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal: Yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, mirip rumah, kendaraan beroda empat dan sejenisnya. Kedua, hendaknya benda itu memang belum dilihat ketika akad.
Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Sebagian ulama membolehkannya secara mutlak. Ada juga yang justru melarangnya secara mutlak. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa persyaratan itu mereka melarangnya.
[4]. Hak Pilih Karena Cacat Barang (Khiyar Aib)
Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang terikat perjanjian untuk menggagalkan perjanjian tersebut bila tersingkap adanya cacat pada objek perjanjian yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh karena itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menghilangkan kerelaan.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini yakni cacat yang bisa mengurangi harga barang di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini tentu saja orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang tersebut. Juga dipersyaratkan bahwa cacat itu sudah ada sebelum serah terima, dan hendaknya orang yang melaksanakan perjanjian tidak mengetahui cacat itu. Persyaratan ini sudah sanggup dimaklumi secara aksio-matik.
Hak pilih terhadap cacat ini memperlihatkan hak kepada orang yang terikat perjanjian untuk melanjutkan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Tetapi jika orang tersebut sudah rela dengan adanya malu itu secara terus terang atau ada indikasi ke arah hal itu, maka hak pilih itu dengan sendirinya gugur.
[5]. Hak Pilih Menentukan Objek Perjanjian Usaha
Artinya, hak bagi pembeli atau penjual untuk menentukan dengan konsekuensi persyaratan dalam perjanjian perjuangan yang akan dilakukannya, untuk menentukan satu dari dua atau tiga objek yang sama nilai atau harganya. Perjanjian itu berlaku pada salah satu dari dua atau tiga objek itu saja, dan salah satu dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut berhak memilihnya.
Hak ini masih diperdebatkan juga oleh para ulama. Mayoritas ulama melarangnya, karena ketidakjelasan objek perjanjian, sehingga menyerupai menjual kucing dalam karung yang itu terang meru-sak perjanjian tersebut. Abu Hanifah membolehkan sistem ini dalam keadaan mendesak atau karena sudah menjadi kebiasaan, dengan catatan bahwa ketidakjelasan objek perjanjian itu tidak mengakibatkan terjadinya pertikaian.
Keabsahan hak pilih ini bagi yang membenarkannya, membutuhkan tiga syarat:
1. Pilihan itu hendaknya terhadap tiga macam objek atau kurang, karena itu yang menjadi kebutuhan. Bila lebih dari itu, terang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada alasan untuk melakukannya.
2. Adanya perbedaan antara ketiga objek tersebut dengan klarifikasi harga masing-masing barang. Adanya perbedaan itu untuk menepis adanya ketidakseriusan dalam memilih. Sementara klarifikasi harga itu untuk menepis ketidakjelasan objek yang menjadikan perselisihan.
3. Pembatasan waktu. Abu Hanifah memberi persyaratan biar tidak lebih dari tiga hari, dianalogikan dengan hak pilih persyaratan. Namun kedua sobat dia lebih menentukan semata-mata dibatasi waktunya saja, meskipun lebih dari tiga hari.
Mereka yang membolehkan hak pilih ini juga berbeda pendapat, apakah dalam hak pilih ini juga dipersyaratkan adanya khiyar syarth? Yakni dengan cara salah satu yang terikat perjanjian menetapkan syarat bagi dirinya untuk bisa menetapkan batasan waktu, dan hendaknya ia diberikan hak membatalkan perjanjian dalam jangka waktu tertentu, sehingga ia diberi pilihan antara menentukan objek atau membatalkan. Atau tidak ada persyaratan demikian? Sehingga ia hanya mempunyai kesempatan menentukan atau menetapkan batasan waktu saja, namun tidak berhak menolak seluruhnya? Sedangkan lebih banyak didominasi dalam madzhab ini mereka menentukan pendapat terakhir ini.
C. Cacat Dalam Perjanjian Usaha[11]
Ketika melaksanakan sebuah perjanjian perjuangan terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak mempunyai sandaran ilmu yang benar. Maka pada ketika itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu sanggup dipaparkan sebagai berikut:
1. Intimidasi
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melaksanakan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.
Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1) Pihak yang mengintimidasi hendaknya bisa melaksanakan ancamannya.
2) Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa bahaya itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3) Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak kuat sama sekali.
Para andal fiqih telah bersepakat bahwa aneka macam acara finansial yang didasari oleh suka sama suka, mirip jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua acara itu dibolehkan sehabis hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan sehabis sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifahmembolehkannya.
2. Kekeliruan.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian perjuangan tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu citra tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli pelengkap berlian, ternyata dibentuk dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibentuk dari katun.
Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:
1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada akomodasi yang menjadi objek, mirip perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara binatang sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.
2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan akomodasi yang menyolok, mirip orang yang membeli binatang jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.
3. Ghubn (Penyamaran Harga Barang)
Ghubn secara bahasa artinya yakni pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya yakni pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau tukar barang antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melaksanakan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, mempunyai barang dengan harga lebih mahal dari harga bekerjsama barang tersebut.
Penyamaran harga barang itu sendiri berdasarkan kalangan andal fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.
1. Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak hingga mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.
2. Penyamaran Berat Yakni yang hingga mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya yakni sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam bundar kemaslahatan harta tersebut.
Adapun dalam perjanjian-perjanjian perjuangan lain, masih diperselisihkan efek penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :
1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian perjuangan yang dilakukan dan menjaganya biar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari perilaku teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akhir perbuatannya itu.
2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan perilaku semena-mena terhadap dirinya.
3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya yakni penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada efek apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat yakni kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam problem ini.
D. Fungsi Khiyar
Fungsi khiyar yakni supaya kedua orang yang berjual beli sanggup memikirkan lebih lanjut mengenai dampak positif atau negatifnya bagi mereka masing-masing. Dengan demikian diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi penyesalan di belakang hari karena adanya penipuan, kesalahan, dan paksaan.[12]
III. KESIMPULAN
- Khiyar ialah suatu perjanjian (perakadan) antara pembeli dan penjual untuk menentukan kemungkinan jadi atau tidak hasilnya jual beli dalam tempo tertentu (yang ditentukan kedua belah pihak.
3. Islam memandang khiyar yakni sesuatu yang sangat pentin dalam hal jual beli karena biar kedua orang tadi yang berjual beli sanggup memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudaian hari karena merasa tertipu.
4. Dalam ekonomi Islam, khiyar menjadi otoriter diharapkan ketika seorang pengusaha atau pelaku ekonomi ingin melaksanakan transaksi bisnis atau ekonomi karena dengan adanya khiyar berarti menjamin kemaslahatan kedua pihak sehingga sanggup saling menguntungkan, serta tidak saling mendzalimi dan merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Penerbit Darul Haq, 2002.
2. Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
3. Kahar Mansyur. Ilmu Urkhul Fiqh. Muassasah al Risalah. Beirut. 1994.
4. M. Hasbi Ash Shiddiqie. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
5. Mohammad Anwar. Mu’amalat, Munakahat Faraid, dan Janayat.. Dar al
kutub Al Arabiy. Kairo. 1990
6. Nana Masduki. 1987. Fiqh Muamalah. Bandung : IAIN SGD.
7. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. PT. Al Ma’arif. Bandung. 1988.
8. Sudarsono. Pokok – Pokok Hukum Islam.. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2001
9. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam.. Sinar Baru Algesindo. Bandung. 2002
10. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.. Fiqih Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia. 2001
11. http//jacksite.wordpress.com/2007/07/03/khiyar/#comment
[1] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989, Hlm. 250,
[2] Sulaiman Rasjid, fiqh Islam, 2002, hal. 286
[3] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 12, 1988, hal. 100
[4] Drs. Sudarsono, S.H, M.si, Pokok-Pokok Hukum Islam, 2001, hal. 406.
[5] Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 2005, hal . 83
[6] H. Moh. Anwar. Mu’amalat, Munakahat Faraid, dan Janayat, 2001, hal. 45
[8] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa a- Mutashid, Juz II, hlm. 96.
[9] Ibn Rusyd, hasyiyah li asy-Syarqawi, Juz II, hlm. 40 – 50.
[10] Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta, Penerbit Darul Haq, 2002, hlm. 23.
[12] Drs. Sudarsono, S.H, M.si, Pokok-Pokok Hukum Islam, 2001, hal. 407