Perkembangan Bank Deregulasi
KATA PENGANTAR
Dengan memohon ridho Allah subhanahu wataala, kami selaku kelompok satu memperoleh kesehatan serta nikmat kesempatan untuk mengerjakan makalah sesuai dengan judul yang telah ditetapkan yaitu “Perkembangan perbankan di Indonesia sebelum dan sehabis deregulasi” tepat pada waktunya.
Tak lupa kami kirimkan salam serta shalawat terhadap junjungan nabi besar Muhammad Saw, yang selalu memberi pencerahan dalam setiap sendi kehidupan kami ketika ini.
Adapun isi makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk kelancaran kami kedepannya.
Terima kasih.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penulis, Maros 24 Oktober 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari imbas perkembangan di luar dunia perbankan, ibarat sektor riil dalam perekonomian, politik, aturan dan sosial. Perkembangan faktor- faktor internal dan eksternal perbankan tersebut menimbulkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum sanggup dikelompokkan dalam empat periode. Masing – masing periode mempunyai ciri – ciri khusus yang tidak sanggup di samakan dengan periode lainnya. Serangkaian paket – paket deregulasi di sector riil dan moneter yang di mulai semenjak tahun 1980- an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia semenjak simpulan tahun 1990-an yaitu dua insiden utama yang telah menimbulkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia hingga dengan tahun 2000. Keempat periode ini yaitu :
- Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket- paket deregulasi di sector rill dan moneter yang di mulai semenjak tahun 1980-an.
- Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi hingga dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada simpulan tahun 1990-an.
- Kondisi perbankan di Indonesia pada masa krisis ekonomi semenjak simpulan tahun 1990-an,
- Kondisi perbankan di Indonesia pada ketika kini ini.
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana kondisi perbankan di Indonesia dari masa sebelum deregulasi hingga sehabis deregulasi
C. TUJUAN PEMBAHASAN
- Untuk Mengetahui kondisi perbankan di Indonesia dari masa sebelum dan sehabis deregulasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam dunia Perbankan di Indonesia dalam kurung waktu belakangan ini mengalami aneka macam macam perubahan. Dalam pembahasan ini Kita bahas 4 macam periode yang pernah terjadi di Indonesia :
1. Dari tahun 1988-1996 (sebelun deregulasi)
2. Dari tahun 1997-1998 (setelah deregulasi)
3. Dari tahun 1999-2002
4. Dari tahun 2002 hingga sekarang.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:
1.De Javasce NV
2.De Post Poar Bank
3.Hulp en Spaar Bank
4.De Algemenevolks Crediet Bank
5.Nederland Handles Maatscappi (NHM)
6.Nationale Handles Bank (NHB)
7.De Escompto Bank NV
8.Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang ajaib ibarat dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain :
1.NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2.Bank Nasional Indonesia
3.Bank Abuan Saudagar
4.NV Bank Boemi
5.The Chartered Bank of India, Australia and China
6.Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7.The Yokohama Species Bank
8.The Matsui Bank
9.The Bank of China
10.Batavia Bank
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain :
1. NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941dengan kantor pusat di Bandung.
2. Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang kini dikenal dengan BNI ’46.
3. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
4. Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
5. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
6. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
7. Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
8. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
9. Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
10. Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Masing-masing periode mempunyai ciri khusus yang tidak sanggup disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di sektor riil dan moneter yang dimulai semenjak tahun 1980-an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia semenjak simpulan tahun 1990-an yaitu dua insiden utama yang telah menimbulkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia hingga dengan tahun 2000.
Keempat periode itu yaitu :
§ Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan moneter yang dimulai semenjak tahun 1980-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi hingga dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada simpulan tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi semenjak simpulan tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia pada ketika kini ini.
A. Kondisi Sebelum Deregulasi Perbankan (Periode 1988 – 1996)
pada masa ini sangat di pengaruhi oleh aneka macam kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa, yang dalam hal ini yaitu pemerintah. Pada masa colonial aktivitas perbankan di wilayah Hindia- Belanda ini terutama di arahkan untuk melayani aktivitas perjuangan dari perusahaan – perusahaan besar milik kolonial di wilayah jajahannya serta membantu manajemen anggaran milik pemerintah. Dengan demikian fungsi utama perbankan pada masa penjajahan yaitu :
ü Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar milik kolonial
ü Memberikan jasa- jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan besar milik kolonial, ibarat giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain- lain
ü Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke Negara penjajah Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari perusahaan – perusahaan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim ke negara penjajah.
ü Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah kaolonial. Fungsi utama perbnkan pada masa setelah kemerdekaan hingga dengan sebelum adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi aktivitas perbankan masih banyak dipengaruhi oleh tumpuan yang diterapkan pada masa penjajahan. Dengan demikian fungsi utamanya adalah:
§ Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
§ Memberikan jasa- jasa keuangan kepada perusahaan- perusahaan besar
§ Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai aktivitas pemerintah.
§ Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai jadwal dan proyek pada sektor- sektor yang ingin di kembangkan oleh pemerintah Bank – bank yang ada tidak secara tegas di arahkan untuk memobilisasikan dana seluas- luasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat seluas- luasnya.
Kebijakan yang terkait dengan sektor perbankan hanya ditekanakan pada kegitan usaha- perjuangan besar dan program- jadwal pemerintah. Selain lantaran tumpuan kebijakan otoritas moneter pada waktu itu yang belum mementingkan mobilisasi dari dana masyarakat luas, keadaan diatas juga disebabkan oleh belum adanya perangkat peraturan dan perundang- usul yang secara khusus mengatur dunia perbankan. Secara lebih rinci keadaan perbankan ketika itu yaitu sebagai berikut:
a) Tidak adanya peraturan perundang- usul yang mengatur secara terang perihal perbankan di Indonesia
b) Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank- bank tertentu
c) Bank banyak menanggung program-program pemerintah
d) Instrumen pasar uang yang terbatas
e) Jumlah Bank Swasta yang relatif sedikit
f) Sulitnya Pendirian bank gres
g) Persaingan antar bank yang tidak ketat
h) Posisi tawar- menawar bank yang relative lebih berpengaruh daripada nasabah
i) Prosedur bekerjasama dengan bank rumit
j) Bank bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan memimjam dana
k) Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah
Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan pembatalan pagu kredit, bank bebas memutuskan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan dukungan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank.
Banyak bank, terutama bank swasta, mulai berdiri untuk mengambil inisiatif dalam memilih arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat sistem pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini dilarang lagi berkecimpung dalam dunia perbankan.
B. Kondisi Sesudah Deregulasi (Periode 1997 – 1998 )
Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 lantaran terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melaksanakan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya.
Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak manis terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak sanggup memobilisasi dana dengan baik. Fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah- olah menjadi suatu bulat yang tidak ada ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi. Untuk mengatasi situasi ynag serba tidak mengunungkan ini cara yang ditempuh pemerintah pada waktu itu yaitu dengan melaksanakan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor rill dan moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan. Meskipun istilah yang dipakai yaitu “deegulasi” tidak berarti bahwa perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan pengaturan pada bidang- bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai perubahan- perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhinya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor rill. Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan, antara lain adalah:
a. Paket 1 Juni1983 yang berisi perihal
a) Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
b) Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor- sektor tertentu.
c) Pemberian kebebasan bank untuk memutuskan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor- sektor tertentu.
b. Bank Indonesia semenjak 1984 mengeluarkan SBI
c. Bank Indonesia semenjak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan akomodasi diskonto oleh BI.
d. Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang:
1. Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi
o Kemudahan pembukaan kantor bank
o Bank pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional dan bank koperasi sanggup membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.
o Pembukaan kantor cabang pembantu cukup dilakukan dengan memberi tahu Bank Indonesia
o Kejelasan pendirian bank swasta
o Modal di setor bank umum minimal 10 miliar
o Modal di setor BPR minimal Rp 50 juta
o BPR sanggup ditingkatkan menjadi bank umum
o BPR sanggup menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. - Pembukaan kemungkinan untuk mendirikan bank adonan antara bank nasional dengan bank ajaib
o Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank bisa menerbitkan akta deposito tanpa memerlukan izin
o Semua bank sanggup memperlihatkan layanan Tabanas dan tabungan lainnya.
2. Efisiensi Lembaga Keuangan yang meliputi
o BUMN dan BUMD bukan bank sanggup menempatkan hingga dengan 50 % dananya pada bank nasional manapun.
o Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bagi bank dan forum keuangan bukan bank
3. Pengendalian Kebijakan moneter yang mencakup
o Likuiditas wajib minimum perbankan dan forum keuangan bukan bank diturunkan dari 15 % menjadi 2 % dari jumlh dana pihak ketiga
o SBI dan SBPU yng semula hanya berjangka waktu 7 hari, kini di tambah dengan berjangka waktu hingga dengan 6 bulan
o Batas maksimum pinjaman antarbank ditiadakan
4. Pengembangan pasar modal, yang meliputi
o Bunga deposito berjangka dan akta deposito dikenakan pajak penghasilan sebesar 15 % biar dunia perbankan menerima perlakuan yang sama dengan pasar modal
o Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan
o Perluasan modal bank dan forum keuangan bukan bank sanggup dilakukan dengan prnjualan saham gres melalui pasar modal di samping peningktan penyertaan oleh pemegang saham.
e. Paket 20 Desember 1988 yang berisi perihal :
1. Aturan peyelenggaraan bursa imbas oleh swasta
2. Alternatif sumber pembiyaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal ventura,perdagangan surat berharga, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen
3. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sanggup melaksanakan aktivitas perdagangan surat berharga, anjak piutang , kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.
4. Kesempatan pendirian perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, broker asuransi, adjuster asuransi, dan aktuaria.
f. Paket 25 Maret 1989 yang berisi perihal :
1. Penyempurnaan paket sebelumnya
2. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank sanggup mempunyai net open position maksimum sebesar 25 % dari modal sendiri.
g. Paket 29 Januari 1990 yang berisi perihal penyempurnaan jadwal perkreditan kepada usaha kecil biar dilakukan secara luas oleh semua bank.
h. Paket 28 Februari 1991 yang berisi perihal penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan forum keuangan dengan prinsip kehati- hatian, sehingga sanggup tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap forum keuangan
i. UU No 7 Tahun 1992 perihal Perbankan j. Paket 29 Mei 1993 yang berisi perihal penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi:
1. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio)
2. Batas maksimum dukungan kredit (BMPK)
3. Kredit Usaha Kecil (KUK)
4. Pembentukan cadangan piutang
5. Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) Serangkaian kebijakan di atas telah menimbulkan banyak perubahan dalam perbankan di Indonesia.
Ciri-ciri kondisi perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak sanggup ditemui lagi pada masa setelah deregulasi, sehingga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di Indonesia mempunyai ciri- ciri sebagian berikut:
a. Peraturan yang memperlihatkan kepastian aturan
b. Jumlah bank swasta bertambah banyak
c. Tingkat persaingan bank semakin berpengaruh
d. Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang
e. Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat
f. Monilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an Deregulasi dan penerapan kebijakan- kebijakan lain yang terkait dengan sektor moneter dan rill telah menimbulkan sektor perbankan lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di Indonesia.
Mobilisasi dana melalui perbankan menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar tugas sertanya dalam menunjang aktivitas di sektor rill melalui peningkatan produksi barang dan jasa. Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen resiko perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup usang untuk sanggup mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara- negara lain di Asia Tenggara. Perkembangan ini dalam waktu yang sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total tanggapan adanya krisis ekonomi yang terjadi pada simpulan tahun 1990-an. Krisis ekonomi yang pada awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menimbulkan perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya ketika masa itu yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat kepercayaan masyarakat Dalam dan Luar Negri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastic
2. Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
3. Adanya Spread negative
4. Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang gres
5. Jumlah bank menurun Kondisi Terakhir Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
a) Selesainya peyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997. Salah satu landasan penting penyusunan API ini yaitu perjuangan Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Barel Core Princioles.
b) Serangkaian rencana dan janji pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau menyusun: - Lembaga penjamin simpanan, - Lembaga Pengawas perbankan yang independent - Otoritas Jasa keuangan
c) Kinerja perbankan yang lebih memperlihatkan kondisi masa peralihan atau awal masa pemulihan dari krisis ekonomi ke arah kondisi perbankan yang lebih sesuai dengan praktik- praktik perbankan yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih baik ini antara lain mengrah kepada:
1) Manajemen Pengelolaan resiko yang baik.
2) Struktur perbankan nasional yang lebih baik.
3) Penerapan prinsip kehati- hatian (prudential banking) yang konsisten
4) Penyaluran dana masyarakat kea rah yang lebih mencerminkan bank sebagai mediator keuangan (financial intermediary) dengan tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.
Tabel 1. Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
C. Periode 1999 – 2002 (Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an)
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan proteksi dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan tubuh aturan bank-bank pemerintah, landasan aktivitas perjuangan bank menurut prinsip bagi hasil (syariah), serta hukuman sanksi bahaya pidana terhadap yang melaksanakan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia memutuskan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan tumpuan pengawasan dan training bank biar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam tumpuan pikir dan perilaku yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan training bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) perihal Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain mencakup ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang memutuskan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk aturan forum selambat-lambatnya setahun semenjak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan persiapanpersiapan yang diharapkan dalam rangka mewujudkan pembiasaan yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah sanggup melaksanakan pembiasaan sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang dipakai oleh bank-bank tersebut yaitu :
(i) Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank Tabungan Negara (Persero).
Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melaksanakan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melaksanakan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
a) Angka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang terang untuk memenuhi 25
b) Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standard internasional bagi pengawasan bank.
c) Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS)
i. Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
ii. Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA)
iii. Melaksanakan jadwal privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap
iv. Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.
D. Periode 2002 – Sekarang
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku perjuangan dan pengusaha dari aneka macam sektor merevisi sasaran pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan alhasil dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih jelek ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya forum keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, ibarat General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang ibarat Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memperlihatkan sentimen jelek bagi forum keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling jelek dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat menciptakan otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor ajaib guna menutupi keuangan di negaranya, telah menciptakan nilai tukar rupiah terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya, kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak kondusif lagi.
Beberapa kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun 1998. Pasalnya mendasar ekonomi di Indonesia masih berpengaruh dan perbankan masih berjalan sehat.
Tingginya intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kriliring tanggapan kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi bukti aktual dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja forum perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya beredar rumor menjadi momok angker bagi sektor perbankan dan akhirnya menciptakan pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah pada awal November.
Modus yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan mengembangkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional, Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melaksanakan pengawasan antar Bank. Anggota dewan perwakilan rakyat Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung jawab BI, lantaran gagalnya melaksanakan pengawasan antar bank.
Di tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak krisis keuangan global menciptakan bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), kini perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memperlihatkan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya, apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan bahaya lambatnya pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, menciptakan kebijakan Bank Indonesia perihal kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan sasaran penerapan peraturan tersebut dari semula pada simpulan 2008 menjadi simpulan 2010.
***
BAB III
PENUTUP
B. KESIMPULAN
Dengan makalah yang kita susun diatas, maka sanggup dipahami bersama bahwa kondisi perbankan di Indonesia terbagi dalam empat pecahan yaitu :
§ Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan moneter yang dimulai semenjak tahun 1980-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi hingga dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada simpulan tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi semenjak simpulan tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia pada ketika kini ini.
C. DAFTAR PUSTAKA
§ https://kanntongilmudunia.blogspot.com//search?q=20/perkembangan-perbankan-di-indonesia/
§ http://p21din.blog.com/files/2011/02/TUGAS-PERKEMBANGAN-PERBANKAN-blog.pdf
§ http://widyanurhayati.blogspot.com/2011/12/perkembangan-perbankan-di-indonesia
§ https://kanntongilmudunia.blogspot.com//search?q=20/perkembangan-perbankan-di-indonesia/
§ http://p21din.blog.com/files/2011/02/TUGAS-PERKEMBANGAN-PERBANKAN-blog.pdf
§ http://widyanurhayati.blogspot.com/2011/12/perkembangan-perbankan-di-indonesia