Makalah Lengkap Perihal Qiyas



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya menuntaskan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menuntaskan dengan baik.
ini di susun oleh penyusun dengan aneka macam rintangan. Baik itu yang tiba dari diri penyusun maupun yang tiba dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini sanggup terselesaikan.
ini memuat perihal Qiyas yang sengaja penulis pilih lantaran menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu menerima proteksi dari semua pihak.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun semoga sanggup menuntaskan makalah ini.
Semoga makalah ini sanggup memperlihatkan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
wssalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh











PEMBAHASAN
BAB II
PENDAHULUAN

Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas sanggup dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam memutuskan aturan dalam aliran Islam 
Telah terjadi suatu insiden atau insiden yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang sanggup dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk memutuskan hukumnya sanggup ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari insiden yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua insiden atau insiden itu ada persamaan 'illat. Kaprikornus suatu qiyas hanya sanggup dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang sanggup dijadikan dasar untuk memutuskan aturan suatu insiden atau kejadian. Karena itu kiprah pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melaksanakan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang sanggup dijadikan dasar untuk memutuskan aturan dari insiden atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.








PEMBAHASAN
1. Pengertian qiyas
Qiyas berdasarkan bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, mirip menyamakan si A dengan si B, lantaran kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk badan yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, mirip mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah memutuskan aturan suatu insiden atau insiden yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu insiden atau insiden yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash lantaran ada persamaan 'illat antara kedua insiden atau insiden itu.
2. Dasar aturan qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas sanggup dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam memutuskan aturan dalam aliran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat perihal kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh dipakai dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melaksanakan qiyas apabila ada insiden atau insiden tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang sanggup dijadikan dasar.
Mengenai dasar aturan qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur'an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, lalu jikalau kau berbeda pendapat perihal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jikalau kau beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (n-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas sanggup diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin semoga memutuskan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri.
Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh memutuskan aturan dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang sanggup dilakukan diantaranya dengan melaksanakan qiyas.
Artinya:
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir hebat kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak menduga bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan sanggup menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan menyerupai (dari insiden itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan menyerupai dari insiden itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada insan semoga membandingkan insiden yang terjadi pada diri sendiri kepada insiden yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melaksanakan perbuatan mirip perbuatan orang-orang kafir itu, pasti mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas sanggup dipahamkan bahwa orang boleh memutuskan suatu aturan syara' dengan cara melaksanakan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, dia bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul memutuskan aturan apabila dikemukakan suatu insiden kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan saya memutuskan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan saya memutuskan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab :
Aku akan berijtihad dengan memakai akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, lantaran ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini sanggup dipahami bahwa seorang boleh melaksanakan ijtihad dalam memutuskan aturan suatu insiden jikalau tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang sanggup dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang sanggup dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan memakai qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah memakai qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:

Artinya:
"Sesungguhnya seorang perempuan dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya hingga ia meninggal dunia, apakah saya berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kau yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, lantaran hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada insan wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seperti Rasulullah SAW memakai qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melaksanakan qiyas dalam memutuskan aturan suatu insiden yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, lantaran dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili dia sebagai imam shalat di waktu dia sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti dia sebagai imam shalat, tentu dia lebih ridha jikalau Abu Bakar menggantikan dia sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memperlihatkan petunjuk bagaimana seharusnya perilaku dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat dia itu ialah:

Artinya:
"kemudian pahamilah benar-benar masalah yang dikemukakan kepadamu perihal masalah yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, lalu berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap insiden ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang sanggup dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat aturan dari insiden yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan aturan dari insiden yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan berdasar nash lantaran ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memperlihatkan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya aturan dari insiden itu ditetapkan dengan cara qiyas.
5. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:

1.    Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu insiden yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2.    Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu insiden yang belum ditetapkan hukumnya lantaran tidak ada nash yang sanggup dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.    Hukum ashal, yaitu aturan dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan aturan itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.    'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk memutuskan aturan fara' sama dengan aturan ashal.

Sebagai pola yaitu menjual harta anak yatim yaitu suatu insiden yang perlu ditetapkan hukumnya lantaran tidak ada nash yang sanggup dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk memutuskan hukumnya dicari suatu insiden yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan insiden pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim bergotong-royong mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua insiden ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah aturan menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas sanggup disimpulkan sebagai berikut:

1.    Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
2.    Fara', ialah menjual harta anak yatim.
3.    Hukum ashal, ialah haram.
4.    'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.


6. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa insiden atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, lantaran itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diharapkan bagi aturan ashal, yaitu:
1.      Hukum ashal itu hendaklah aturan syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diharapkan lantaran yang akan ditetapkan itu yaitu aturan syara', sedang sandaran aturan syara' itu yaitu nash.Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:

        'Illat aturan itu hanya ada pada aturan ashal saja, mustahil pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk nalar dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits membuktikan bahwa 'illat itu bukan lantaran adanya safar (perjalanan).
        Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) memperlihatkan bahwa aturan ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada insiden atau insiden yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri dia itu dilarang kawin dengan pria lain walaupun dia telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk memutuskan aturan ashal serta untuk mengetahui aturan pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, mirip menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk memutuskan haramnya aturan menjual harta anak yatim.
Dengan demikian sanggup ditetapkan bahwa lantaran itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat sanggup dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua lantaran sanggup dikatakan 'illat.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
1.      Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh nalar dan pancaindera.
2.      Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan sanggup dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', lantaran asas qiyas itu yaitu adanya persamaan illat antara ashal dan fara'.
3.      'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4.      'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang sanggup pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta aturan (syari') perihal sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta aturan (syari') telah membuat aturan sesuai dengan sifat itu, mirip firman Allah SWT:

Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu perihal haid, katakanlah haid itu yaitu suatu kotoran. Oleh lantaran itu hendaklah kau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah memutuskan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan aturan itu ialah kotoran, lantaran kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi lantaran haram mencampuri isteri yang sedang haid yaitu sifat yang sesuai dan memilih penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat aturan pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat aturan dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan aturan yang sedang dihadapi.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa memutuskan aturan atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa memutuskan atas dasarnya diduga sanggup mewujudkan kemaslahatan.
3. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang dipakai untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu insiden atau insiden yang sanggup dijadikan dasar untuk memutuskan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang membuktikan bahwa suatu sifat merupakan 'illat aturan dari suatu insiden atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya yaitu memutuskan aturan suatu dasar nash.
Petunjuk nash perihal sifat suatu insiden atau insiden yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat aturan jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri memperlihatkan 'illat aturan dengan jelas, mirip ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau lantaran demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat aturan itu pasti dan yakin, mirip firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa isu bangga dan pemberi peringatan semoga supaya tidak ada alasan bagi insan membantah Allah sehabis diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar bangga dan memberi peringatan itu ialah semoga insan tidak mencari-cari alasan dengan menyampaikan bahwa mereka belum pernah menerima peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl merupakan 'illat aturan yang pasti, mustahil dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:

Artinya: "Aku melarang kau menyimpan daging hewan kurban tidak lain hanyalah lantaran banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu lantaran banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak sanggup ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat aturan itu yaitu berdasar dengan keras (dhanni), lantaran kemungkinan sanggup dibawa kepada 'illat aturan yang lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Dirikanlah shalat lantaran matahari tergelincir hingga gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat abjad al-lâm pada perkataan liduluki dan abjad al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti lantaran dan sanggup pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan sanggup pula berarti dengan Kedua arti tersebut sanggup digunakan, akan tetapi berdasarkan dugaan yang keras bahwa jikalau kedua abjad itu diartikan dengan lantaran dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu aturan Jika penyertaan sifat itu tidak sanggup dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:

a. Mengerjakan suatu pekerjaan lantaran terjadi suatu insiden sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, lantaran dia lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, lantaran ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, yaitu Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: "Seseorang dilarang memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat murka disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah aturan dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, mirip sabda Rasulullah SAW:

Artinya:
"Barisan berjalan kaki menerima satu bagian, sedang barisan berkuda menerima dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel