Makalah Konsep Hutang Dalam Islam Lengkap



BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hakekat insan yang bersifat sosial, dimana orang tak sanggup hidup sendiri harus saling membantu baik dalam kesusahan maupun kebaikan. Seperti halnya pada harta dimana ketika melihat saudara semuslim kita kesusahan misalnya dalam harta dan sngat mendesak alangkah lebih baik kita membantu, yaitu dengan cara menghutangi dengan catatan orang yang di hutangi akan membayar bila sudah tiba waktunya dan ada untuk pengembaliannya.
Firman Allah S.W.T bermaksud “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kau bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menulisnya” (Surah al-Baqarah ayat 282). Maksud dari ayat tersebut yaitu ketika menghutangi sesuatu alangkah baiknya di catat biar tak ada kata lupa baik dalam waktu maupun jumlah yang di hutangi.
Hutang di perbolehkan dalam islam alasannya ada kaitannya dengan ayat dalam al Alquran yang berbunyi taawun yang berarti tolong menolong.
Pengertian hutang yaitu memperlihatkan sesuatu yang mempunyai nilai yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Contoh, A meminjam emas 10 gram pada B. Maka B wajib mengembalikan utang tersebut pada A sebanyak 10 gram emas atau uang senilai itu pada waktu yang telah ditentukan.
Hutang piutang yaitu masalah yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal bahan yaitu salah satu penyebab munculnya masalah ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil pecahan dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan insan juga mengatur mengenai masalah hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam intinya yaitu untuk memperlihatkan fasilitas bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini bertahap mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh alasannya itulah, masalah hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam biar nantinya bisa melakukan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibentuk untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari banyak sekali sumber terkait definisi, landasan hukum, aturan qardh, dan lain sebagainya.






BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Hutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, alasannya merupakan potongan dari harta orang yang memperlihatkan hutang
Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ.
Qardh yaitu bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, saya memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh yaitu sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis yaitu memperlihatkan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at al., qardh yaitu pemberian harta kepada orang lain yang sanggup ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau kesepakatan saling membantu dan bukan transaksi komersil.
Menurut ulama Hanafiyah:
القَرْضُ هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
Qaradh yaitu harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang mempunyai perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh yaitu suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis menyerupai yang diterimanya.”
Sayyid Sabiq memperlihatkan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
Al-qardh yaitu harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada akseptor utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) menyerupai yang diterimanya, ketika ia telah bisa membayarnya.”
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memperlihatkan definisi qardh sebagai berikut:
اَلْقَرْضُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
Qardh yaitu memperlihatkan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”
Adapun pendapat Syafi’iyah yaitu sebagai berikut:
اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
Syafi’iyah beropini bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu ketika harus dikembalikan)
Hutang piutang termasuk salah satu perilaku dalam islam alasannya terkait dengan kata saling tolong menolong.
DALIL SEPUTAR HUTANG PIUTANG

 Quran Surat Al-Baqarah 2:282

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فَسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak bisa mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kau ridhai, supaya bila seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kau jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar hingga batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih bersahabat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali bila mu´amalah itu perdagangan tunai yang kau jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kau tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kau berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kau lakukan (yang demikian), maka sebetulnya hal itu yaitu suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.





KONSEP HUTANG DALAM ISLAM
Konsep berhutang berdasarkan perspektif Islam ialah memperlihatkan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahawa orang yang diberi pinjam itu akan membayar dengan kadar sama.
Amalan berhutang kini menjadi masalah biasa di kalangan masyarakat Islam. Sama ada ia atas nama pembiayaan peribadi, pelajaran, kereta, pemilikan kad kredit dan pelbagai skim ditawarkan syarikat perbankan, rata-rata ia memberi maksud hutang. Malah, kewujudan ‘Ah Long’ juga yaitu mata rantai kepada urusan pinjaman dan hutang.
Persoalan hutang dan pinjam meminjam yaitu antara perbahasan yang berada dalam ruang lingkup perspektif Islam dan ia terikat dengan aturan ditetapkan syarak. Ianya dibahas dan dikupas oleh sarjana Islam dalam kitab fiqh menerusi keterangan yang ada dalam ayat al-Quran dan Hadis Nabawiyah.
Firman Allah S.W.T bermaksud “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kau bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menulisnya” (Surah al-Baqarah ayat 282).
Secara dasarnya Islam membolehkan kepada seseorang untuk berhutang atas faktor yang memaksa menyerupai masalah kesempitan hidup. Namun begitu, perlu diperjelaskan di sini bahawa bebanan bakal diterima si penghutang yaitu berat, terutama bila hutang tidak dibayar. Lebih berat bila dia meninggal dunia dalam keadaan hutang tidak dilangsaikan.
Perkara zalim dalam urusan hutang piutang mesti dielakkan dan dijauhkan menyerupai mengenakan riba’, faedah dan bunga yang tinggi kerana ia ternyata membebankan si penghutang. Lebih parah dengan kadar bunga yang terlalu tinggi menimbulkan berlaku nilai bunga yang sepatutnya dibayar semula jauh lebih tinggi daripada kadar wang dipinjam. Ia ternyata penganiayaan kepada insan lemah dan tidak berkemampuan.
Kepada orang berhutang pula, sebaik-baiknya berusaha dengan tangan sendiri sebelum mengambil keputusan meminta-minta atau berhutang dengan orang lain. Orang yang suka berhutang seakan-akan menafikan kebolehan yang ada pada dirinya untuk berusaha sendiri mencari rezeki keperluan hidup.
Sebaik-baiknya cobalah elakkan diri daripada berhutang. Namun, apabila keadaan terlalu mendesak dan tiada jalan lain untuk memperoleh wang, maka di sinilah Islam membenarkan amalan berhutang.
Apabila sudah mula meminjam, aturkan jadual pembayaran hutang secara berterusan dan konsisten mengikut jadual serta menepati syarat perjanjian supaya tidak mengakibatkan masalah pada kemudian hari. Cuba elakkan daripada mengambil kesempatan melambat-lambatkan pembayaran hutang kerana ia bukan sahaja menyusahkan diri sendiri malah kepada orang yang memberi hutang. Rasulullah turut memberi ingatan bahawa bila seseorang itu meninggal dunia, sedangkan dia masih berhutang, dosanya tidak akan diampunkan walaupun dia mati syahid dalam peperangan.
Dalam Islam berhutang memang diharuskan. Islam memberi galakan kepada umatnya, biar memberi pertolongan kepada saudara-saudaranya, lebih-lebih lagi dalam hal keperluan asasi. Hutang yang dibenarkan dalam Islam hanyalah hutang Al Qard dengan maksud pinjaman. Ia juga dikenali dengan nama Al Qardhul Hasan atau Al Qardn Hassan atau pinjaman kebajikan (benevolent loan) di mana hutang atau pinjaman diberikan kepada orang yang sangat memerlukan bantuan, tanpa melibatkan bayaran lebih semasa bayaran balik hutang tersebut.
Orang yang memperlihatkan hutang tidak boleh mengenakan bayaran pemanis ke atas hutang itu, kerana jumlah pemanis ke atas hutang itu dikenali sebagai RIBA yang amat dihentikan dalam Islam.
Dalam konsep hutang dalam islam di jelaskan juga bahwa membayar hutang yaitu wajib. Seperti dalam masalah berikut Berbagai-bagai alasan akan diberikan untuk mengelak atau menangguhkan pembayaran hutang tersebut. Sesungguhnya melambat-lambatkan bayaran hutang, amatlah besar sekali kesudahannya dalam kehidupan manusia, bukan sahaja di dunia, bahkan juga di akhirat. Antaranya:
a.          Mereka akan ditimpa kehinaan dan hilang maruahnya.
b.          Hidup mereka tidak menerima keredhaan Allah
c.           Mereka digolongkan dalam perbuatan zalim.
d.          Amalan kebajikan mereka tidak diberkati.
Mari kita lihat pendekatan Islam melalui hadis Rasulullah s.a.w yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a, di mana ianya menceritakan perihal kebaikan memperlihatkan kelonggaran bagi menjelaskan hutang.
Rasulullah s.a.w bersabda; “Barang siapa yang memperlihatkan kelonggaran waktu pada hutangnya orang fakir dan miskin atau membebaskannya, maka Allah memperlihatkan kepadanya naungan di hari Kiamat di bawah naungan arasyNya, ketika tidak ada naungan kecuali naunganNya .” Hadis riwayat Imam Al Tirmidhi. Rujuk Sunan al Tirmidhi Jil. II.

HUKUM HUTANG DALAM ISLAM
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memperlihatkan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan yaitu hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, alasannya di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang memperlihatkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an yaitu firman Allah :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kau dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi  pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku tiba menemui dia membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada dia dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik yaitu yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)
Nabi  juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Setiap muslim yang memperlihatkan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu menyerupai orang yang berinfak satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram bila meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib bila memperlihatkan kepada orang yang sangat membutuhkan menyerupai tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.

PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa aturan berhutang atau meminta pinjaman yaitu DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, alasannya Nabi  pernah berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya biar menghindari hutang semaksimal mungkin bila ia bisa membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, berdasarkan Rasulullah , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga sanggup membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah  pernah menolak menshalatkan mayat seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah  bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash ).
Macam – Macam Hutang
Hutang dalam aturan Islam terbagi menjadi dua bagian: hutang yang baik (qardh hasan) dan hutang berbunga (qardh ribawi).
a)      Hutang Baik atau Hutang Halal (القرض الحسن)
Hutang piutang yang halal yaitu transaksi hutang dari pemberi hutang kepada orang yang hutang berdasarkan pada belas kasih pada terhutang (muqtaridh) biar supaya mengembalikan dengan nilai yang sama tanpa syarat lebih.
b)                  Hutang Ribawi atau Hutang Haram
Yaitu harta yang diberikan pada orang yang hutang dengan syarat mengembalikannya dengan nilai lebih dari yang jumlah yang dihutang.
Rukun Hutang
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
Ø Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
Ø Ada yang memberi hutang / kreditor
Ø Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
Ø Ada barang atau uang yang akan dihutangkan



Manfaat Hutang Piutang
Hutang piutang sanggup memperlihatkan banyak manfaat / syafaat kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat insan yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama gotong royong dalam kebajikan. Hutang piutang sanggup mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta sanggup memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.

























BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Hutang yaitu memperlihatkan sesuatu--yang mempunyai nilai-- yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Adapun dalil yang memperkuatnya yaitu QS. Albaqoroh : 282
        Konsep hutang dalam islam yaitu bahwa hutang boleh asalkan dalam keadaan terdesak, dan memperlihatkan utang mempunyai keutamaan yaitu saling tolong menolong.
        Membayar hutang hukumnya yaitu wajib hingga rosululloh pun bersabda bahwasannya tidak akn di ampuni dosannya walaupun mati syahid dalam perang alasannya masih mempunyai hutang yang belum terbayar.
        Adapun rukun dari hutang yaitu:
B.   Ø Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
C.   Ø Ada yang memberi hutang / kreditor
D.   Ø Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
E.   Ø Ada barang atau uang yang akan dihutangkan

Daftar pustaka
", numPosts: 8, titleLength: "auto", thumbnailWidth: 250, thumbnailHeight: 170, noImage: "//3.bp.blogspot.com/-ltyYh4ysBHI/U04MKlHc6pI/AAAAAAAADQo/PFxXaGZu9PQ/w255-h170-c/no-image.png", containerId: "related-post-9057127214438677420", newTabLink: false, moreText: "Read More", widgetStyle: 3, callBack: function() {} };

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel