Hubungan Insan Dengan Agama



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama memperlihatkan klarifikasi bahwa insan yaitu mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau jelek (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri insan lantaran terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, menyerupai naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, lantaran tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku insan dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan binatang lantaran didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau memakai narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan pedoman agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari semenjak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan bisa menyebarkan dirinya sebagai insan yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya yaitu bisa mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan pedoman agama.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini yaitu “Hubungan Manusia Dengan Agama”.
Untuk memperlihatkan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Pengertian Agama
2. Konsepsi Agama
3. Hubungan Agama Dan Manusia
4. Agama Sebagai Petunjuk Tata Sosial

C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu kiprah mata kuliah Pendidikan Agama.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian agama
2. Untuk mengetahui Konsepsi agama
3. Untuk mengetahui Hubungan agama dengan manusia
4. Untuk mengetahui bahwa agama yaitu pedoman tata sosial manusia

D. Metode Penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini memakai motede heuristic. Metode yaitu proses pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dalam melaksanakan kegiatan penelitian. Metode ini dipilih lantaran pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan. Selain itu, penyusunan juga memakai studi literatur sebagai teknik pendekatan dalam proses penyusunannya.

E. Sestimatika Penulisan
Sistematika penyusunan makalah ini dibagi menjadi tiga penggalan utama, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :
Bagaian kesatu yaitu pendahuluan. Dalam penggalan ini penyusun memeparkan beberapa Pokok permasalahan awal yang berafiliasi erat dengan permasalah utama. Pada penggalan pendahuluan ini di paparkan perihal latar belakang persoalan batasan, dan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bagian Kedua yaitu pembahasan. Pada penggalan ini merupakan bagaian utama yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah. Penyususn berusaha untuk mendeskripsikan banyak sekali temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber/bahan.
Bagian ketiga yaitu Kesimpulan. Pada Kesempatan ini penyusun berusaha untuk mengemukakan terhadap semua permasalahan-permasalahan yang dikemukakan oleh penyusun dalam perumusan masalah.






BAB II
HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA

A. Pengertian Agama
Agama berdasarkan bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau (a = tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang sanggup membebaskan insan dari kekacauan. Didunia barat terdapat suatu istilah umum untuk pengertian agama ini, yaitu : religi, religie, religion, yang berarti melaksanakan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian, perbuatan ini berupa perjuangan atau sejenis peribadatan yang dilakukan berulang-ulang. Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab, yaitu addiin yang berarti : hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya itu memperlihatkan citra bahwa “addiin” merupakan dedikasi dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan penciptanya dengan upacara dan tingkah laris tertentu, sebagai manifestasi ketaatan tersebut (Moh. Syafaat, 1965).
Dari sudut sosiologi, Emile Durkheim (Ali Syari’ati, 1985 : 81) mengartikan agama sebagai suatu kumpulan keayakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi, suatu peniruan terhadap modus-modus, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek secara sosial telah mantap selama genarasi demi generasi.
Sedangkan berdasarkan M. Natsir agama merupakan suatu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor antara lain :
a. Percaya kepada Tuhan sebagai sumber dari segala aturan dan nilai-nilai hidup.
b. Percaya kepada wahyu Tuhan yang disampaikan kepada rosulnya.
c. Percaya dengan adanya kekerabatan antara Tuhan dengan manusia.
d. Percaya dengan kekerabatan ini sanggup mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
e. Percaya bahwa dengan matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir.
f. Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan kekerabatan dengan Tuhan.
g. Percaya kepada keridhoan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia ini.
Sementara agama islam sanggup diartikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui para Rosul-Nya sebagai pedoman hidup insan di dunia yang berisi Peraturan perintah dan larangan biar insan memperoleh kebahagaian di dunia ini dan di darul abadi kelak.

B. Konsepsi Agama
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Bakoroh 208, Allah berfirman :
يايها الدين امنواادخلوا فى السلم كافة ولاتتبعوا خطوت الشيطن انه لكم عد ومبين
Artinya : Hai orang-orang yang beriman masuklah kau kedalam islam secara utuh, keseluruhan (jangan sebagian-sebagaian) dan jangan kau mengikuti langkah setan, sesunggungnya setan itu musuh yang faktual bagimu.
Kekaffahan beragama itu telah di contohkan oleh Rosulullah sebagai uswah hasanah bagi umat islam dalam banyak sekali aktifitas kehidupannya, dari mulai masalah-masalah sederhana (seperti susila masuk WC) samapi kepada masalah-masalah komplek (mengurus Negara). Beliu telah menampilkan wujud islam itu dalam perilaku dan prilakunya dimanapun dan kapanpun beliu yaitu orang yang paling utama dan tepat dalam mengamalkan ibadah mahdlah (habluminallah) dan ghair mahdlah (hablumminanas).
Meskipun dia sudah menerima jaminan maghfiroh (ampunan dari dosa-dosa) dan masuk surga, tetapi justru dia semakin meningkatkan amal ibadahnya yang wajib dan sunah menyerupai shalat tahajud, zdikir, dan beristigfar. Begitupun dalam berinteraksi sosial dengan sesama insan beliu menampilkan sosok langsung yang sangat agung dan mulia.
Kita sebagai umat islam belum semuanya beruswah kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh, lantaran mungkin kekurang pahaman kita akan nilai-nilai islam atau lantaran sudah tercemar oleh nilai, pendapat, atau idiologi lain yang bersebrangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri yang di contohkan oleh Rasulullah SAW.
Diantara umat islam masih banyak yang menampilkan perilaku dan prilakunya yang tidak selaras, sesuai dengan nila-nilai islam sebagai agama yang dianutnya. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan insiden atau insiden baik yang kita lihat sendiri atau melalui media masa mengenai contoh-contoh ketidak konsistenan (tidak istikomah) orang islam dalam mempedomani islam sebagai agamanya.

C. Hubungan Agama Dan Manusia
Kondisi umat islam cukup umur ini semakin diperparah dengan merebaknya fenomena kehidupan yang sanggup menumbuhkembangkan perilaku dan prilaku yang a moral atau degradasi nilai-nilai keimanannya.
Fenomena yang cukup kuat itu yaitu :
1. Tayangan media televisi perihal dongeng yang bersifat tahayul atau kemusrikan, dan film-film yang berbau porno.
2. Majalah atau tabloid yang covernya menampilkan para model yang mengubar aurat.
3. Krisis ketauladanan dari para pemimpin, lantaran tidak sedikit dari mereka itu justru berprilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama.
4. Krisis silaturahmi antara umat islam, mereka masih cenderung mengedepankan kepentingan kelompoknya (partai atau organisasi) masing-masing.
Sosok langsung orang islam menyerupai di atas sudah barang tentu tidak menguntungkan bagi umat itu sendiri, terutama bagi kemulaian agama islam sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulia di atasnya. Kondisi umat islam menyerupai inilah yang akan menghambat kenajuan umat islam dan bahkan sanggup memporakporandakan ikatan ukuwah umat islam itu sendiri.
Agar umat islam bisa bangun menjadi umat yang bisa menwujudkan misi “Rahmatan lil’alamin” maka seyogyanya mereka mempunyai pemahaman secara utuh (Khafah) perihal islam itu sendiri umat islam tidak hanya mempunyai kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi). Mereka dibutuhkan bisa mengintegrasikan antara pengamalan ibadah ritual dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, menyerupai : pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, perilaku altruis, perilaku toleran dan saling menghormatai tidak suka menyakiti atau menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus bisa menyatu padukan antara mila-nilai ibadah mahdlah (hablumminalaah) dengan ibadag ghair mahdlah (hamlumminanas) dalam rangka membangun “Baldatun thaibatun warabun ghafur” Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan Allah SWT.

D. Agama Sebagai Petunjuk Tata Sosial
Rosulullah SAW bersabda : “Innamaa bu’itstu liutammima akhlaaq” Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak. Yang bertanggung jawab terhadap pendidikan susila yaitu orang tua, guru, ustad, kiai, dan para pemimpin masyarakat.
Pendidikan susila ini sangat penting lantaran menyangkut perilaku dan prilaku yang musti di tampilkan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari baik personal maupun sosial (keluarga, sekolah, kantor, dan masyarakat yang lebih luas). Akhlak yang terpuji sangat penting dimiliki oleh setiap muslim (masyarakat lantaran maju mumdurnya suatu bangsa atau Negara amat tergantung kepada susila tersebut.
Untuk mencapai maksud tersebut maka perlu adanya kolaborasi yang sinerji dari banyak sekali pihak dalam menumbuhkembangkan susila mulya dan menghancur leburkan faktor-faktor penyebab maraknya susila yang buruk.





BAB III
KESIMPULAN

Agama berdasarkan bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau (a = tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang sanggup membebaskan insan dari kekacauan.
Kita sebagai umat islam belum semuanya beruswah kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh, lantaran mungkin kekurang pahaman kita akan nilai-nilai islam atau lantaran sudah tercemar oleh nilai, pendapat, atau idiologi lain yang bersebrangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri yang di contohkan oleh Rasulullah SAW.
Agar umat islam bisa bangun menjadi umat yang bisa menwujudkan misi “Rahmatan lil’alamin” maka seyogyanya mereka mempunyai pemahaman secara utuh (Khafah) perihal islam itu sendiri umat islam tidak hanya mempunyai kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi).
Pendidikan susila ini sangat penting lantaran menyangkut perilaku dan prilaku yang musti di tampilkan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari baik personal maupun sosial (keluarga, sekolah, kantor, dan masyarakat yang lebih luas). Akhlak yang terpuji sangat penting dimiliki oleh setiap muslim (masyarakat lantaran maju mumdurnya suatu bangsa atau Negara amat tergantung kepada susila tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad,. Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta. 1968.
Bakar Atjeh, Abu. Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta.1968.
Hasan, Ali H.M. Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelambagaan Agama Islam. 1994/1995.
Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.. Psikologi Belajar Agama. Pustaka Bani Qurais. Bandung. 2003.


Ringkasan Isi
Agama memperlihatkan klarifikasi bahwa insan yaitu mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau jelek (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri insan lantaran terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, menyerupai naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, lantaran tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku insan dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan binatang lantaran didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau memakai narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan pedoman agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari semenjak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan bisa menyebarkan dirinya sebagai insan yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya yaitu bisa mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan pedoman agama.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel