Prinsip Tabiat Produsen Dan Konsumen Dalam Perekonomian Islam

PENDAHULUAN 
Kata produsen dan konsumen mungkin tidak aneh lagi di pendengaran kita, di mana-mana kita sering mendengar kata-kata tersebut, di pasar, di pertokoan, di warung makan, di kantor ataupun di tempat-tempat umum lainnya, bahkan di kampus kita terutama para mahasiswa jurusan syari’ah Muamalah kedua kata tersebut menjadi santapan wajib setiap hari, lantas ada yang istimewakah kedua kata tersebut sampai-sampai menjadi sesuatu yang tampaknya lezat untuk diperbincangkan.
Memang kedua kata tersebut sudah tidak aneh lagi bagi kita, tetapi ada suatu permasalahan yang tampaknya perlu diadakan kajian yang lebih mendalam perihal kedua kata tersebut, yaitu apakah kita mengetahui hakekat dari kedua kata tersebut jikalau dikorelasikan dengan sistem yang di terapkan oleh ekonomi Islam.
Kebanyakan dari kita hanya kenal istilahnya saja, padahal ada beberapa aturan dan kaidah-kaidah normatik yang perlu diperhatikan jikalau kita memang merasa menjadi salah satu ataupun menjadi keduanya, tentunya dilihat dari kacamata syari’ah Islam.
Oleh karenanya, kami selaku penulis akan sedikit menjelaskan mengenai kedua kata tersebut dalam sebuah makalah yang berjudul “Prinsip Moral Produsen Dan Konsumen Dalam Perekonomian Islam 
PEMBAHASAN
A.     PRINSIP-PRINSIP MORAL PRODUSEN
1.      Definisi Produksi dan Produsen
Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan–kegiatan ekonomi untuk meghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi, dalam sistem ekonomi Islam definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam sistem ini ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi sedikit berbeda, dimana barang yang ingin diproduksi dan proses produksi serta proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.[1]
Sedangkan definisi produsen berdasarkan hemat penulis ialah seorang atau sekelompok orang yang melaksanakan acara produksi, baik produksi barang ataupun produksi jasa dan produksi tersebut didistribusikan.
2.      Faktor Produksi
Faktor-faktor produksi ialah sesuatu yang sanggup mensugesti terciptanya atau terlaksananya dan berjalan acara produksi. Jadi, apabila sesuatu atau sebagian dari sesuatu itu tidak ada maka produksi itu tidak sanggup terealisasi atau berjalan dengan sempurna.[2]
Menurut kebanyakan ekonom, faktor-faktor produksi ada empat macam, yaitu :
a.       Modal (Capital)
Dalam pandangan ekonom, modal ialah penggalan dari harta kekayaan yang dipakai untuk menghasilkan barang dan jasa, ibarat mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung dan lain sebagainya, modal mempunyai bantuan yang cukup berartibagi terciptanya barang dan jasa, sebagai konsekuensinya, modal berhak mendapatkan konpensasi atas jasa yang telah diberikan. Dalam sistem kapitalis, modal berhak mendapatkan bunga sebagai konpensasi pinjaman (Return Of Loans)
Merujuk kepada sistem ekonomi Islam, konpensasi pinjaman yang diberikan di bedakan berdasarkan jenis komoditas yang dipinjamkan (Invested), apabila modal yang diinvestasikan berupa uang, maka konsep syari’ah yang bisa dipakai ialah bagi hasil (Profit Loss Sharing), namun jikalau yang diinvestasikan berupa barang dan peralatan lainnya, yang wajib dibayrkan ialah biaya sewa atas peralatan tersebut.[3]
b.      Sumber Daya Alam (SDA)
Sumber daya alam mencakup segala sesuatu yang ada di dalam maupun di luar permukaan bumi, ibarat pertambangan, hutan, air, pasir, tanah pertanian dan lain sebaginya. Semua itu bisa dipakai untuk menghasilkan suatu barang maupun jasa untuk kebutuhan manusia.
Sebagai seorang muslim di dalam mengelola sumber daya alam seharusnya tidak berlebihan, terutama terhadat barang yang tidak bisa diperbaharui ibarat barang tambang dan minyak bumi, alasannya jikalau berlebihan mengeruk  tambang bumi maka, tidak menuntut kemungkinan bererapa tahun ke depan kita tidak dapat  mendapatkan barang itu lagi.
c.       Sumber Daya Manusia (SDM) / Tenaga kerja
d.      Management / Labour
3.      Tujuan Produksi
Bagi pengusaha muslim berproduksi merupakan penggalan dari sikap syukur atas nikmat Allah. anugerah Allah yang berupa alam beserta isinya diberikan kepada insan untuk membuat keharmonisan dalam hidup dan kehidupan ini. Keharmonisan akan menjadi suasana yang lebih aman dalam melaksanakan perjuangan (produksi)[4], jikalau tujuan perjuangan tersebut ditujukan semata-mata alasannya Allah.
Secara substantif acara produksi yang dilakukan oleh seorang produsen muslim, harus bertujuan ibarat yang dirumuskan sebagai berikut:
a.       Beribadah mengharap ridho Allah
b.      Bermohon mendambakan barokah dari Allah
c.       Kelayakan profit untuk sarana mencapai tujuan bisnis
d.      Pertumbuhan dan kemajuan yang harmonis
e.       Ikut serta dalam mengatasi duduk masalah sosial
f.       Memenuhi kebutuhan sosial
g.       Alokasi sumber daya secara optimal bagi semua pemiliknya
h.      Memberikan pinjaman atas keselamatan lingkungan yang higienis dan sehat.[5]
4.      Prinsip Moral yang Perlu Diperhatikan oleh Produsen
Dalam segi ekonomi, banyak sekali perjuangan mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari laba maksimum dengan jalan mengatur penggunaan faktor-faktor produksi seefesien mungkin, sehingga perjuangan memaksimumkan laba sanggup dicapai dengan cara yang paling efesien.
Dalam Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang produsen dalam melaksanakan sebuah acara produksi, diantaranya ialah adanya larangan melaksanakan acara produksi yang dihentikan oleh syari'at ibarat memproduksi masakan yang terbuat dari daging babi, daging anjing, membuat arak dan segala perbuatan yang mengarah pada kemusyrikan, misal jadi peramal dan lain sebagainya 
B.     PRINSIP-PRINSIP MORAL KONSUMEN
1.      Definisi  Konsumen
Pada hakekatnya, konsumen mengandung pengertian yang sangat luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, “Consumers by definition include us all”. (Secara definisi, kita semua termasuk konsumen). Dalam Undang-undang pinjaman konsumen Tahun 1999 Bab I, Pasal 1 nomor 2 mendefinisikan konsumen sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi bagi kepentingan dirinya sendiri, orang lain, maupun yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”.[6]
2.      Urgensi Konsumsi
Di dalam teori ekonomi kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dinamakan utility atau nilai guna, kalau kepuasan semakin tinggi semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah semakin rendah pula nilai gunanya.[7]
Perilaku konsumen dalam sistem kapitalis dan sosialis dihegemoni oleh nilai-nilai materialisme, kebutuhan yang harus dipenuhi  hanya kebutuhan yang bersifat bahan atau dengan kata lain hanya berorientasi pada nilai--nilai material, hal ini tentunya sangat kontras sekali dengan konsep yang diterpkan oleh sistem ekonomi Islam, dalam sistem ekonomi Islam seorang konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya disamping untuk mencapai kepuasan material juga mencapai kepuasaan spiritual.[8]
Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan mempertimbangkan beberapa hal :
a.       Barang yang dikonsumsi tidak haram, termasu di dalamnya berspekulasi, menimbun barang, dan melaksanakan acara di pasar gelap
b.      Barang yang di konsumsi tidak mengandung unsur riba
c.       Memperhitungkan zakat dan infaq.[9]
3.      Unsur Penentu Preferensi Konsumsi
Ada tiga unsur yang sanggup mensugesti tingkat preferensi konsumen dalam berkonsumsi :
a.       Rasionalitas
Dalam membahas teori sikap konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen merupakan sosok yang cerdas. Dalam artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail perihal income dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karekteristik, dan keistimewaan komoditas yang ada. Dengan harapan, komoditas yang telah dikonsumsi oleh konsumen sanggup mendapatkan tingkat utility yang memuaskan. Perilaku sosial seorang konsumen terkadang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam menetukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi.
 Ada beberapa aturan yang sanggup dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas dalam berkonsumsi, yaitu :[10]
1)      Tidak boleh hidup bermewah-mewahan
2)      Pelarangan Israf[11], Tabdzir, [12]dan Safih.[13]
3)      Keseimbangan dalam berkonsumsi.
4)      Larangan berkonsumsi barang dan jasa yang membahayakan
b.      Kebebasan berekonomi
Dalam konsep ekonomi Islam, seorang konsumen diberi kebebasan untuk melaksanakan tawar-menawar dan memilih janji dalam sebuah transaksi, tetapi tidak bersifat mutlak. Kebebasan dalam sistem ekonomi Islam merupakan kebebasan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mewujudkan dialektika mkemashlatan individu dan masyarakat.[14]
c.       Maksimalisasi nilai guna
Dalam berkonsumsi, seorang muslim bisa memaksimalkan nilai utility yang ingin ia dapatkan dari sebuah komoditas, dengan catatan tidak melampaui batas-bats yang telah ditentukan oleh syariah. Sistem ekonomi Islam tidak secara mutlak mendapatkan konsep utility dan preference dalam berkonsumsi,dengan alasan pemahaman insan sangat terbatas, sehingga apa yang dinilai oleh seorang insan terkadang terbalik dengan substansi yang sebenarnya.
4.      Perilaku Moral yang Perlu Diperhatikan oleh Konsumen
Perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keyakinan dalam menjalani hidup. Dalam kehidupan banyak sekali nilai-nilai ekonomi yang ditawarkan oleh sistem yang ada. Dalam kapitalisme, seorang konsumen merupakan perwujudan materi, diman segala sikap konsumsi yang ada harus berdasarkan atas nilai-nilai materi.[15] Ini tentunya sangat bertentangan dengan sistem yang di terpakan oleh Islam yang lebih mengedepankan kepuasan spiritual.
Islam mengatur segenap sikap insan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagimana insan bisa melaksanakan kegiatan-kegiatan konsumsi yang insan mempunyai kegunaan bagi ke-mashlahat-an hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup insan lewat al-Qur’an dan al-Hadits, agar insan dijauhkan dari sifat yang hina alasannya sikap konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya akan menjamin kehidupan insan yang lebih sejahtera.
Seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan :[16]
a.       Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat atau negara. Terselenggaranya keberlangsungan hidup insan sepenuhnya diatur oleh Allah. sehingga diperlukan seorang konsumen bisa untuk mengkondisikan pemenuhan kebutuhan  hidupnya berdasarkan daerah di mana ia berada
b.      Dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, dimana batas-batas fisik merefleksikan pola yang dipakai seorang muslim untuk melaksanakan aktifitas konsumsi, bukan dikarenakan preferensi semata yang mensugesti pola konsumsi seorng muslim. keadaan ini akan menghindari pola hidup yang berlebihan, sehingga stabilitas ekonomi sanggup terjaga konsistensinya dalam jangka yang lebih panjang.
c.       Perilaku berkonsumsi seoarang muslim diatur kiprahnya sebagai makhluk sosial. Maka dalam berperilaku seorang konsumen harus mengkondisikan untuk salaing menghargai dan menghormati orang lain. 
PENUTUP
Dalam ekonomi Islam, masalah produsen dan konsumen menjadi penggalan yang penting alasannya semua acara perekonomian berangkat dari mereka (produsen dan konsumen) selaku pelaku utama acara ekonomi, oleh kesudahannya semua tingkah daan lakunyapun terkoordinir dalam regulasi hukum-hukumnya.
Seperti yang telah di sebutkan pada pembahasan di atas bahwa seorang produsen dan konsumen dalam menjalankan aktifitasnya tidak lepas dari pantauan aturan syari'at, perilakunya pun tidak semata-mata alasannya mencari kepuasan bahan saja, tetapi kepuasan spiritual menjadi prioritas yang harus didahulukan.
Seorang produsen contohnya dalam memproduksi sesuatu sebaiknya harus mempunyai tujuan : (a) Beribadah mengharap ridho Allah, (b) Bermohon mendambakan barokah dari Allah, (c) Kelayakan profit untuk sarana mencapai tujuan bisnis, (d) Pertumbuhan dan kemajuan yang harmonis, (e) ikut serta dalam mengatasi duduk masalah sosial, (f) Memenuhi kebutuhan sosial, (g) Alokasi sumber daya secara optimal bagi semua pemiliknya, (h) Memberikan pinjaman atas keselamatan lingkungan yang higienis dan sehat.
Sedangkan bagi seorang konsumen ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam mengkonsumsi sesuatu, antara lain: (1) Tidak boleh hidup bermewah-mewahan, (2) Pelarangan Israf, Tabdzir, dan Safih. (3) Keseimbangan dalam berkonsumsi.(4) Larangan bekonsumsi barang dan jasa yang membahayakan. Wallahu a’lam 
DAFTAR PUSTAKA
Chapra,Umer, 1999, Islam dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti, Surabaya
Marthon, Said Sa’ad, 2004, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, Zikrul Hakim, Jakarta
Muslich, 2004, Etika Bisnis Islam : Landasan Filosofis, Normatif dan Subtantif Implementatif, Ekonisia , Yogyakarta
 Muhammad dan Alimin, 2004, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, BPFE, Yogyakarta
Sudarsono, Heri, 2002, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. I, Ekonisia,Yogyakarta

[1] DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 43
[2] Sebenarnya ada beberapa pendapat yang mengemukakan perihal faktor-faktor produksi, ibarat yang di kemukakan oleh al Maududi dan Abu Suud bahwa faktor produksi terdiri dari kerja, tanah dan modal dan lain halnya dengan M.A Mannan yang menyampaikan bahwa faktor produksi hanya terdiri dari tanah dan kerja. Tetapi kami mengambil pendapat lebih banyak didominasi perihal faktor produksi yaitu yang terdiri dari 4 faktor modal, SDA, SDM, dan managemant. Untuk lebih jelasnya lihat M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999), hal.47
[3] DR, Sa’ad Marthon, Op.cit, hal.52
[4] Heri Sudarsono, SE, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. I (Yogyakarta : Ekonisia, 2002), hal. 195
[5] Drs. Muslich, MM, Etika Bisnis Islam : Landasan Filosofis, Normatif,dan Subtantif Implementatif, (Yogyakarta : Ekonisia, 2004), hal. 92
[6] Drs. Muhammad, M.Ag dan Alimin, Lc, M.Ag, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), hal. 128
[7] Heri Sudarsono, SE, Op.cit, hal. 152
[8] Kepuasan spiritual di sini maksudnya, dalam mengkonsumsi suatu barang kita itu mempertimbangkan nilai-nilai spiritual yang telah di memutuskan oleh syari'at Islam, sebagai rujukan ummat Islam hanya diperbolehkan mengkonsumsi barang-barang yang halal saja, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak mempertimbangkan perihal halal dan haram. Lihat : DR. Said Sa’ad Marthon, Op.cit, hal. 64
[9] Heri Sudarsono, SE, Loc.cit
[10] DR, Sa’ad Marthon,Op.cit hal.68
[11] Israf artinya melaksanakan suatu tindakan yang melampaui batas hemat dan keseimbangan
[12] Tabdzir adalah melaksanakan konsumsi secara berlebihan dan tidak proposional
[13] Safih ialah orang yang tidak cerdas, dimana ia melaksanakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya
[14] DR, Sa’ad Marthon, Op.cit, hal. 73
[15] Ibid, hal. 74
[16] Heri Sudarsono, SE, Op.cit, hal. 151-152

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel