Ekonomi Kerakyatan Dan Ekonomi Islam
Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Islam
“Kalau kita sungguhh-sungguh menyayangi Indonesia yang makmur, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat adil dan makmur, marilah kita bercermin sebentar, kembali kepada impian dahulu yang begitu suci dan mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melaksanakan pengorbana. Rakyat kita masih tetap miskin bahkan lebih miskin daripada sebelumnya, ditengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Paling baik kita merenungkan keadaan rakyat kita sekarang, yang sungguh-sungguh berhak mendapat nasib yang lebih baik, nasib yang sesuai dengan tujuan kita semula.”
(Pidato Bung Hatta, tahun 1958)
DALAM sebuah kesempatan diskusi dikelas seorang mahasiswa mempresentasikan sebuah jawaban dari salah pertanyaan mahasiswa yang lain wacana apakah sama ekonomi Islam dengan ekonomi kerakyatan. Si mahasiswa menjawab bahwa Ekonomi Islam sudah meliputi ekonomi kerakyatan dan ekonomi kerakyatan belum tentu meliputi ekonomi Islam. Benarkah jawaban dari mahasiswa tersebut? Tidak ada yang salah sejatinya dengan jawaban si mahasiswa tadi. Namun beberapa hal harus diberi catatan dari komentar si mahasiswa tersebut. Dalam goresan pena ini saya tertarik untuk membahas apa itu ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam berikut kesamaan-kesamaannya.
Almarhum Professor Mubyarto menilai dikala ini banyak sarjana Indonesia yang sulit memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat atau perekonomian rakyat. Pengertian sektor ekonomi informal yang dilawankan dengan sektor ekonomi formal atau sektor ekonomi modern lebih gampang dipahami oleh mereka. Sektor ekonomi informal menunjuk pada sektor ekonomi “tidak resmi” di perkotaan yang berkembang secara mencolok sebagai jawaban kesulitan ekonomi di pedesaan.
Sri Edi Swasono dalam bukunya “Ekspose Ekonomika”, menilai dikala ini kebanyakan sarjana ekonomi Indonesia justru terpuruk ke dalam perdebatan yang tidak perlu mengenai makna kata rakyat, alih-alih berusaha memperkuat dan membangun ekonomi rakyat. Dengan sikap ibarat itu, gampang dimengerti bila kebanyakan sarjana ekonomi Indonesia tidak mempunyai kepekaan terhadap makna kata merdeka. Padahal kemandirian ekonomi yaitu bab integral dari makna (Indonesia) merdeka. ''Tidak ada kemerdekaan yang genuine tanpa kemandirian.'' Mengenal Ekonomi Kerakyatan
Istilah ekonomi kerakyatan muncul di Indonesia mulai pada tahun 1931. Gagasan ini dipopolulerkan oleh Bung Hatta dalam sebuah goresan pena yang berjudul “Perekonomian Koloniaal-Kapitaal” dalam Harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Gagasan ekonomi kerakyatan yang diusung Hatta, bantu-membantu bermula dari reaksi perlawanan ekonomi Indonesia terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC dan cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1870. Model ini kini dikenal dengan ekonomi liberal atau pasar bebas. Saat ini barangkali sudah tidak secara terang-terangan dijajah ibarat zaman kolonialisme, namun dijajah melalui sistem ekonomi liberal (kapitalistik).
Mubyarto dalam bukunya “Ekonomi Rakyat dan Program IDT” tahun 1996 memberikan bahwa Ekonomi kerakyatan yaitu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat, sedangkan ekonomi rakyat yaitu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh rakyat yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya apa saja yang sanggup dikuasainya setempat, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya.
Sistem ekonomi kerakyatan tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sila ke-4 Pancasila menyatakan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Di dalam klarifikasi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menggambarkan sistem demokrasi ekonomi, ditegaskan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pengawasan rakyat.
Mubyarto memberikan Pancasila merupakan ilham ekonomi kerakyatan. Dalam pada itu Pancasila secara keseluruhan harus terus menerus menjadi pedoman arah sikap ekonomi bangsa dan warga bangsa, dan menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi yang diambil oleh pemerintah. Mubyarto, mengejawantahkan gagasannya tersebut dalam lima poin: Pertama, roda aktivitas ekonomi rakyat digerakkan oleh rangsang-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Kedua, ada tekad berpengaruh dari seluruh warga bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial. Ketiga, nasionalisme ekonomi. Keempat, koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional. Kelima, ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi nasional dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.
Mantan Menteri Koperasi dan UMKM, Adi Sasono sendiri beropini bahwa ekonomi kerakyatan yaitu antitesa dan sekaligus sintesa dari ekonomi konglemerasi sentralisasi yang selama ini dianut oleh rezim Orde Baru. Dari pemikiran ini jelas, selama pembangunan ekonomi bercorak wajah kapitalisme kental, maka akan selalu berbenturan dengan keinginan ekonomi kerakyatan.
Dalam perkembangannya meskipun ekonomi rakyat selalu dianggap sebagai yang diutamakan perkembangannya, namun dalam kenyataannya selalu mengalami perkembangan yang tersendat-sendat. Bahkan dalam pembangunan ekonomi yang amat berhasil sekalipun, contohnya pembangunan ber-Pelita mulai 1969, kondisi perkembangan yang tidak menggembirakan (Mubyarto, 1996).
Dalam perkembangannya meskipun ekonomi rakyat selalu dianggap sebagai yang diutamakan perkembangannya, namun dalam kenyataannya selalu mengalami perkembangan yang tersendat-sendat. Bahkan dalam pembangunan ekonomi yang amat berhasil sekalipun, contohnya pembangunan ber-Pelita mulai 1969, kondisi perkembangan yang tidak menggembirakan (Mubyarto, 1996).
Bagaimana dengan Ekonomi Islam?
Perekonomian Islam sendiri yaitu ekonomi yang bersendikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi atau ideologi Islam, sementara ekonomi rakyat bersumber dari ideologi Pancasila atau turunan dari Pancasila. Perekonomian dalam Islam merupakan perekonomian berakidah tauhid dengan segala elemen-elemennya: keimanan, pengabdian, interaksi sesama insan dengan alam. Islam dengan segala pedoman dan hukum-hukumnya membentuk “Reference Frame Work” yang akan menjadi pedoman dalam berbisnis dan perjuangan (Muhammad, 2008). Makara terang letak nilai-nilai perbedaannya mengacu pada ideologi yang dianut, meskipun banyak pula kesamaannya.
Dimana letak kesamaannya?
Letak kesamaannya Pertama, kedua sistem ekonomi ini bervisi sosial dan sopan santun (QS. 27:5). Kedua, bersama-sama ingin mewujudkan keadilan dan kemerataan sosial bahkan jaminan sosial (QS. 9 : 60). Ketiga, nasionalisme ekonomi (Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud: semua orang Islam berserikat dalam tiga hal yaitu: air, rumput dan api). Keempat, koperasi (Baitul Mal wa Tamwil) menjadi kekuatan dalam berekonomi yang bervisi pada orang-orang kecil. Kelima, kesamaan dalam keseimbangan dalam implementasi kebijakan ekonomi.
Saefudin AM dalam sebuah makalah yang tidak dipublikasikan (1997: 26-28) mengungkapkan beberapa nilai-nilai jaminan sosial yang Islami diantaranya adalah: manfaat dari sumber-sumber harus sanggup dinikmati oleh semua makhluk Allah, negara harus menyediakan dana untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran sosial yaitu hk sah bagi orang-orang yang miskin, prioritas untuk memenuhi tujuan bermanfaat dan penting bagi masyarakat, kebijaksanaan yang konsisten dengan impian pemerataan pendapatan dan kekayaan secara adil dalam rangka stabilitas ekonomi dan mengalokasikan dana. Dari pembagian terstruktur mengenai diatas kiranya tidak berlebihan bila ekonomi rakyat memang mempunyai visi yang hampir sama dalam visinya, hanya saja sumber referensi ideologinya yang berbeda.
Sebagian orang mencurigai keberadaan ilmu ekonomi Islam. Ilmu dengan segala unsurnya, teori-teorinya tidak mempunyai tabiat untuk menseragamkan diri dengan aliran. Tidak sanggup dikatakan ilmu kapitalisme atau sosialisme. Oleh lantaran itu, tidak sanggup dikatakan ilmu Islami. Dengan demikian, ilmu yang terjamin (sesungguhnya) tidak sanggup memberi ruang bagi keberadaan ilmu perekonomian Islam. Demikian yang mereka sangka. (Muhammad, 2008)
Namun sebagian peneliti Islam menjawab mereka yang diragukan dan meragukan. Ilmu ekonomi dan sejenisnya tergolong dalam ilmu sosial yang normatif yang tersirami dari aliran dan ideologi tertentu. Oleh lantaran itu, berbeda dengan ilmu-ilmu netral. Makara masuk akal bila ada ilmu perekonomian yang disandarkan pada nilai-nilai Islam.