Lengkap Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga
Yang dimakssud dengan hak ialah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban ialah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain. Hak ialah kekuasaan seseorang untuk melaksanakan sesuatu, sedangkan Kewajiban ialah sesuatu yang harus dikerjakan.
Kewajiban suami ialah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiaban istri ialah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri ialah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya..
Dengan dilangsungkan ijab kabul antara mempelai pria dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiban masing-masing timbal-balik.
Hak suami merupakan kewajiban istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak istri. Dalam kaitan ini ada enam hal:
1. Kewajiban suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari suaminya.
2. Kewajiban istri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari istrinya.
3. Hak bersama suami istri.
4. Kewajiban bersama suami istri.
5. Hak suami atas istri.
6. Hak istri atas suami.
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup rumah tangga. Dengan demikian, tujuan berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tujuan agama, yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah.
A.Kewajiban Suami terhadap Istri
a. Kewajiban yang bersifat bahan yang disebut nafaqah.
b. Kewajiban yang tidak bersifat materi.
Kewajiban suami terhadap istri yang tidak bersifat bahan adalah:
1. Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 19:
وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kemudian bila kau tidak menyukai mereka (bersabarlah) lantaran mungkin kau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak"
2. Suami wajib mewujudkan kehidupan pernikahan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah. Untuk itu suami wajib menawarkan rasa tenang bagi istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21:
“Di antara gejala kebesaran Allah Ia menjadikan untukmu pasangan hidup supaya kau menemukan ketenangan padanya dan menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Yang demikian merupakan gejala agi kaum yang berfikir."
3. Mendidik istri merupakan kewajiban suami, sebagaimana tercantum dalam hadits Bukhariyang artinya :
“Nasihatilah para perempuan (istri) itu dengan baik. Sesungguhnya perempuan itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Bila engkau biarkan akan tetap bengkok, tapi kalau engkau luruskan akan patah. Maka nasihatilah perempuan itu dengan baik.”(HR Bukhari)
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Pasal 80
1. Suami ialah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan menawarkan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib menawarkan pendidikan agama kepada istrinya dan member kesempatan berguru pengetahuan yang berkhasiat dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan daerah kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya ibarat tersebut pada ayat (4) abjad a dan b di atas mulai berlaku setelah ada tamkin sempurna dari istri.
6. Istri sanggup membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) abjad a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz.
Pasal 81 (Tentang Tempat Kediaman)
1. Suami wajib menyediakan daerah kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman ialah daerah tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa kondusif dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai harta kekayaan, sebagai daerah menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi daerah kediaman sesuai dengan kemampuannya serta diubahsuaikan dengan keadaan lingkungan daerah tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penujang lainnya.
B. Kewajiban Istri terhadap Suami
Dari istri tidak ada yang berbentuk bahan secara langsung, yang ada ialah kewajiban dalam bentuk non materi. Yakni:
1. Menggauli suami secara layak dengan kodratnya. Hal ini sanggup dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya dengan baik, lantaran perintah untuk menggauli itu berlaku timbale balik.
2. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan menawarkan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas kemampuannya.
3. Taat dan patuh kepada suami, selama suaminya tidak menyuruh untuk melaksanakan perbuatan maksiat. Hal ini sanggup dilihat dari arahan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
”Perempuan-perempuan yang sholihah dalah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami) memelihara diri dikala suami tidak ada oleh lantaran Allah telah memelihara mereka."
4. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.
5. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak lezat dipandang dan bunyi yang tidak lezat didengar.
6. Pandai mengambil hati suami melalui masakan dan minuman.
7. Mengatur rumah tangga dengan baik.
8. Menghormati keluarga suami.
9. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
10. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
11. Ridha dan syukur terhadap apa uyang diberikan suami.
12. Selalu berhias, bersolek untuk suami.
13. Selalu berhemat dan suka menabung.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 83 (Kewajiban Istri)
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh aturan Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1. Istri sanggup dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali alasan yang sah.
2. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istri yang disebut pada pasal 80 ayat (4) abjad a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali setelah istri tidak nusyuz.
C. Hak Bersama Suami Istri
Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri ini ialah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah:
1. Timbulnya kekerabatan suami dengan keluarga istrinya dan baliknya kekerabatan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
2. Suami istri dihalalkan saling bergaul mengadakan kekerabatan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami istri yang dihalalkan secara timbal balik.
3. Haram melaksanakan perkawinan, yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakaknya, anaknya dan cucu-cucunya. Begitu pula ibu istri, anak perempuan, dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suami.
4. Hak saling menerima warisan jawaban dari ikatan pernikahan yang sah, bila mana salah seorang meninggal dunia setelah sempurnanya ikatan pernikahan, pihak yang lain sanggup mewarisihartanya, meskipun belum pernah melaksanakan kekerabatan seksual.
5. Keduanya wajib berperilaku yang baik, sehingga sanggup melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup.
D. Kewajiban Bersama Suami Istri
1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Hak dan kewajiban suami istri diatur secara tuntas dalan UU perkawinan dalam satu potongan VI yang materinya secara esensial telah sejalan dengan apa yang digariskan dalam kitab-kitab fiqh yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan istri ialah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melaksanakan perbuatan hukum.
3. Suami ialah kepala keluarga dan istri ialah ibu rumah tangga.
Pasal 32
1. Suami harus memiliki daerah kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
1. Suami istri wajib saling mencintai, hormat dan menghormati, setia, dan member pemberian lahir batin satu sam lain.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi istrinya dan menawarkan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami istri dijelaskan secara rinci sebgai berikut:
Pasal 77
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,mawaddah wa rahmah dan menjadi sendi dasar sari susunan masyarakat.
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi pemberian lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara bawah umur mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5. Jika suami atau istri melalaika kewajibannya, masing-masing sanggup mengajukan somasi kepada Pengadilan Agama.
Pasal 78
1. Suami istri harus memiliki daerah kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama.
E. Hak Suami Atas Istri
1. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
2. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang sanggup menyusahkan suami.
4. Tidak bermuka masam di hadapan suami.
5. Tidak memperlihatkan keadaan yang tidak disenagi suami.[12]
F. Hak Istri Atas Suami
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami sanggup dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, contohnya berbuat adil di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
1. Hak-hak Kebendaan
a. Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan (yang kau nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati menawarkan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai masakan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut sanggup diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri yang dilarang diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kau campuri, berikanlah kepada mereka mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan kau perlakukan mahar itu sesuai dengan kerelaanmu (suami isteri), setelah ditentukan ujudnya dan kadarnya….”
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar penuh apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi persetujuan lain wacana mahar yang menjadi hak isteri itu, contohnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi jumlah, mengubah ujud atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengjarkan, “Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya ialah yang paling ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan biayanya ialah yang tidak memberatkan suami, semenjak dari mahar hingga kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai dari Sahl Bin Sa’ad menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan maskawin mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya (menurut salah satu riwayat, yang dihafalnya itu ialah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran).
Hadits riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang menjadi maskawinnya ialah memerdekakannya itu.
b. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah ialah mencukupkan segala keperluan isteri,meliputi makanan, pakaian, daerah tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kau tinggal berdasarkan kemampuanmu; janganlah kau menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kau talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang bisa hendaklah memberi nafkah berdasarkan kemampuannya, dan dan orang yng kurang bisa pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak mendapatkan tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kau beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kau berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai masakan dan pakaian dengan makruf.”
2. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 semoga para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf sanggup mencakup:
a. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik kecerdikan perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kau ialah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Bersikap oke kau terhadap isteri-isterimu lantaran orang perempuan diciptakan berkodrat ibarat tulang rusuk; yang paling lengkung ialah tulang rusuk potongan atas; apabila kau biarkan akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila kau biarkan akan tetap lengkung, bersikap oke kau terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu berusaha semoga isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, kecerdikan pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang sanggup ditempuh untuk memenuhi hak isteri, contohnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, acara kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya.
b. Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutup-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun, ialah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah melaksanakan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban menawarkan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan semoga nama baik isteri jangan menjadi cemar.
c. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis ialah kodrat pembawaan hidup. Oleh lantaran itu, suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam problem ini sanggup menyebabkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi berjulukan Abdullah bin Amr yang terlalu banyak memakai waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melaksanakan puasa dan malam harinya untuk melaksanakan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. “Isterimu memiliki hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup insan sehingga Islam menilai kekerabatan suami isteri yang antara lain untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam kekerabatan kelaminmu bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan cara yang halal akan menerima pahala.”
[1]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 159
[2]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 159-160
[4]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 160-161
[6]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 162-163
[7]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 162-163
[9]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 163
[11]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 163-165
[12]Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 157-158