Islam Dan Perubahan Sosial
Perubahan masyarakat mempunyai arti yang luas. Dapat diartikan sebagai perubahan atau perkembangan, baik dalam arti positif maupun negatif. Pada umumnya motivasi (= imbas atas perubahan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan mental dan materi) disebabkan oleh kemajuan teknik atau “technical change”. Penemuan sebuah teknik sendiri mempunyai akhir tidak saja menguntungkan, namun juga merugikan.
“Segala sesuatu akan mengalami perubahan kecuali perubahan itu sendiri”. Demikian suara “hukum perubahan” yang kita semua telah memakluminya. Perubahan juga merupakan sunah kauniyah yang berlaku secara universal tanpa dibatasi daerah dan waktu. Perubahan tidak akan pernah berhenti kecuali pemilik perubahan (Allah SWT) memang menghendaki. Lalu, bagaimana Islam memandang sebuah perubahan, lebih spesifik lagi dalam memandang perubahan sosial ?.
Perubahan sosial atau di sebut juga transformasi sosial merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Hal ini terjadi lantaran insan secara alami mempunyai sifat tidak statis dalam sebuah kondisi, Ia cenderung aktif merespons sejumlah kejadian yang ada di sekelilingnya. Respons inilah yang membuat hidup insan selalu dinamis dan pada jadinya membuat sejumlah gagasan dan ide-ide gres dalam rangka memenuhi keinginan serta kebutuhannya. Dengan kondisi mirip tadi suasana bumi semakin hari semakin penuh dengan dinamika. Dalam perjalanan kehidupan bumi, dengan sendirinya akan semakin banyak hasil budaya (artefak) yang bisa kita jumpai dari tahun ke tahun serta periode ke abad. Itu semua tidak lepas dari wujud dinamika kegiatan insan yang merupakan refresentasi kegiatan olah nalar serta pengembangan sejumlah gagasan, ide serta pikiran yang terus di sempurnakan insan dari waktu ke waktu. Hal inilah yang terang membedakan tugas, kiprah dan fungsi insan dari mahkluk lainnya, termasuk pula kalau kita bandingkan dengan contohnya malaikat, yang diciptakan Allah SWT dengan fungsi, kiprah dan kiprah yang statis sepanjang masa penciptaannya.
Dari denah di atas kita bisa melihat bagaimana kondisi krisis multidimensi (nilai, moral, sosial, ekonomi dan politik) jadinya akan kuat besar pada ter-alienasi-nya sistem kekuasaan–terutama elitnya–dari kehidupan masyarakatnya. Alienasi yang terus-menerus terjadi menimbulkan proses marginalisasi massa–rakyat–dari acara perubahan bangsa. Penguasa pada jadinya membutakan diri dari realitas sosial yan terjadi. Akumulasi duduk kasus ini akan menumbuhkan keinginan (The rise expectation), sekaligus rasa prustasi (The rise of prustation) yang pada kondisi yang cukup parah akan hingga pada situasi penghancuran kepercayaan diri secara massal (The mass prustation).
Kondisi prustasi akhir ketidakjelasan banyak hal pada saatnya nanti akan menjadi daya pendorong yang besar bagi terciptanya perubahan sebuah sistem. Perubahan ini dalam konteks sosial lazim disebut dengan tranformasi sosial. Ada dua pilihan metode untuk melahirkan sebuah kondisi gres sebagai sebuah terapi bagi kondisi yang hendak di perbaiki tadi, pertama dengan cara evolusi dan kedua dengan cara revolusi
Model Evolusi
Cara evolusi merupakan cara yang paling gampang di lakukan, kondusif bagi jalannya sistem yang sedang berlaku tapi dari sisi waktu tempuh akan banyak menghabiskan hitungan yang tidak sedikit. Proses perubahan mirip ini juga cenderung hanya “melingkar” di tingkat elit saja dan sedikit sekali mengakomodasikan input dari grass root yang muncul ke permukaan sebagai reaksi atas banyak sekali kebijakan elit yang selama ini berkuasa. Konsekunsi logis dari perubahan model ini akan menempatkan rezim yang sedang asyik berada dalam tampuk kekuasaanya dengan leluasa menentukan agenda-agenda perubahan yang ada menurut “aman atau tidak” bagi kekuasaannya.
Tidaklah mengherankan model ini kurang populer, apalagi di negara-negara Dunia Ketiga yang perubahan politiknya secara umum masih cukup eksplosif. Tidak perlu tokoh yang cukup kharismatik atau terkenal dalam model ini, lantaran sepenuhnya kewenangan hendak kemana arah perubahan yang terjadi terletak di tangan penguasa sendiri. Elit penguasa serta pihak-pihak tertentu saja yang bisa terlibat dalam merumuskan banyak sekali duduk kasus yang ada, yang tentu saja sangat bias kepentingan. Figur-figur di luar bulat kekuasaan hanya memperlihatkan respons-respons minimal sebatas masukan atau paling maksimal yakni melaksanakan pressure, itu pun kalau ada ruang kebebasan yang cukup untuk melaksanakan hal itu.
Model Revolusi
Cara revolusi merupakan cara yang cukup terkenal di kalangan beberapa gerakan sosial atau gerakan pembebasan. Cara mirip ini kalau dihitung interval waktu yang dibutuhkannya ternyata relatif lebih singkat dari cara evolusi. Dalam prosesnya, cara ini juga dengan gampang sanggup diketahui sejauhmana tingkat keberhasilannya, hal ini mengingat sasaran dari perubahan yang diinginkan dengan cepat bisa di evaluasi. Akan tetapi dalam kondisi tertentu cara ini cukup beresiko. Bisa jadi dalam prosesnya yang singkat tersebut meminta banyak korban sebagai pra syarat dari prosesnya yang memang cukup reaktif dan terkesan sporadis dari sisi waktu maupun agenda-agenda yang di lakukan. Hasil dari cara ini bisa dengan gampang “ditampilkan” untuk dengan segera sanggup di analisa apakah sesuai dengan tujuan revolusi itu atau tidak. Perubahan mirip ini secara umum bertujuan pada perubahan secara politik, khususnya perubahan tampuk kekuasaan yang ada.
Saat kita membicarakan ihwal perubahan sosial secara revolutif, maka kita hampir tidak akan bisa memisahkan diri dari kaitannya dengan kasus politik di sebuah negara. Pemikiran ihwal revolusi sendiri mempunyai banyak varian pengertian dan pada umumnya berangkat dari sebuah proses kegelisahan, kecemasan serta ketidakpastian akan kondisi yang sedang terjadi. Sebelum sebuah revolusi sosial terjadi, biasanya terjadi suatu proses alienasi kekuasaan. Alienasi ini terjadi lantaran kekuasaan yang ada semakin meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat dan justeru seolah menjadi pecahan lain dari pranata yang ada.
Revolusi sosial yang terjadi di Barat kondisinya berbeda dengan apa yang terjadi di Timur. Barat cenderung memperlihatkan nilai-nilai perubahan itu berawal dari terancamnya nilai-nilai kebebasan individu atau kelompok oleh sebuah sistem yang mayoritas dan atau sedang berkuasa sedangkan revolusi di dunia Timur justeru berawal dari adanya sistem atau kekuatan mayoritas yang berlaku sewenang–wenang dengan mengabaikan kepentingan mayoritas yang ada. Kondisi obyektif golongan mayoritas yang sedang berada di bawah imbas kekuatan mayoritas ini sama sekali tidak mempunyai political bargaining yang cukup sehingga hanya jadi obyek eksploitasi tirani minoritas yang sedang berkuasa. Selain kondisi ini, Timur juga mempunyai “nilai tambah” yang lain dalam sisi sumber energi yang menumbuhkan kekuatan untuk bergerak dan melaksanakan perlawanan di kalangan mereka, yakni agama. Dunia Timur, sebagai dunia yang secara historis tidak bisa dilepaskan dengan pertumbuhan serta perkembangan agama-agama besar dunia, mempunyai energi dan semangat yang cukup kuat untuk tetap bertahan dan kemudian bangun melawan kekuatan yang mendominasinya, apalagi kekuatan itu merupakan kekuatan absurd yang mempunyai perbedaan yang tegas dari sisi nilai-nilai agama.
Kasus perang Jawa (1825-1830) misalnya, merupakan revolusi sosial masyarakat Jawa–khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya–yang merasa hak-hak mereka di rampas dan kemerdekaan mereka di tindas oleh kekuatan Belanda sebagai sebuah kekuatan absurd yang secara ideologi terang berbeda. Perbedaan ini tentu saja mendapat legitimasi yang kuat dari seluruh elemen masyarakat Jawa ketika itu, baik dari golongan tabiat hingga para Kyai serta Ulama yang ada. Pembenaran inilah yang kemudian menjadikan suluh utama yang memperabukan jago semangat anti perlawanan terhadap Belanda. Semangat yang menyala ini kemudian bertambah lagi ketika Pangeran Diponegoro, seorang ningrat sekaligus tokoh spiritual yang mereka cintai terjun pribadi melaksanakan perlawanan bersama-sama mereka. Perlawanaan ini walaupun pada ending-nya berakhir dengan kekalahan di pihak Jawa, namun secara terang bisa mencerminkan ihwal adanya sebuah kontradiksi yang keras antara sebuah kekuatan yang berbeda yang kemudian di selesaikan dengan jalan kekerasan, yakni perang. Perang sebagai sebuah jalan penyelesaian dari sebuah kasus besar sesungguhnya tidak selalu bisa menuntaskan banyak sekali kasus yang terjadi. Ada ketika tertentu yang justeru bisa lebih baik penyelesaiannya tidak dengan perang.
Apabila kita bicara ihwal hakikat revolusi, akan kita jumpai ada banyak perbedaan antara gagasan revolusi yang digagas para tokoh revolusi yang ada di dunia. Para tokoh ini selain lantaran latar belakang yang memang berbeda, juga mempunyai lingkungan eksternal yang juga tidak sama. Barangkali hal ini yang mempengaruhi kenapa ada kekhasan-kekhasan dari sejumlah insiden revolusi di banyak sekali negara. Revolusi yang terjadi biasanya terkait akrab dengan sitausi sosial masyarakat yang terjadi ketika revolusi itu mulai digulirkan. Revolusi-revolusi sosial yang terjadi baik di dunia Barat maupun di dunia Timur secara garis besar di mulai ketika ada seorang tokoh yang memang terus-menerus menyuarakan sebuah perubahan dan kemudian Ia konsisten dengan perubahan tersebut. Konsistensi terhadap ide perubahan mirip inilah yang akan menempatkan tokoh tadi di garda depan sebuah proses revolusi. Sang tokoh ini lah yang pada gilirannya nanti akan banyak menghasilkan produk pemikiran yang akan banyak di konsumsi oleh masyarakat. Pemikiran-pemikiran yang berkembang inilah yang sedikit banyak akan menyumbangkan isyarat ke depan mirip apa proses perubahan besar–revolusi–yang hendak di capai. Apabila sang tokoh ini mengalami “kecelakaan sejarah”–dengan contohnya di tangkap, dipenjarakan atan bahkan “di habisi” pihak penguasa–maka harus ada tokoh lain yang menggantikan posisi kunci ini. Semakin banyak tokoh yang muncul ke permukaan untuk melawan arus besar ide atau gagasan yang sedang berkembang–atau bahkan barangkali sudah di anggap mapan– maka akan semakin besar sebuah issu bisa menggelinding ke tingkat massa. Kondisi demikian di kenal dengan snow ball effect, dimana mirip orang membuat bola salju kemudian di gelindingkan maka usang kelamaan bola salju ini akan membesar bertahap menjadi sebuah kekuatan yang sukar untuk di hadang dengan cara apapun.
Ketika kekuatan perlawanan yang ada semakin besar, maka akan semakin sukarlah kekuatan yang sedang mayoritas atau lazim di sebut kaum penguasa meredam arus yang berlawanan arah tadi. Dalam wacana revolusi apabila kekuatan lawan sudah memilki kekuatan yang cukup, maka dengan sendirinya akan sampi pada kondisi vis-Ã -vis antara dua kekuatan yang berbeda. Kondisi ini kemudian tinggal di lihat saja mana yang bisa mengungguli lawannya Ia lah yang akan jadi pemenangnya. Hal ini memang tidak berlaku mutlak, tapi paling tidak ini lah yang umumnya terjadi pada sebuah perubahan gres yang hendak dilahirkan lewat sebuah proses revolusi.
Revolusi sosial, kebudayaan maupun politik secara kelahirannya tidak terlalu jauh berbeda kondisinya, Ia lahir dari sebuah kontradiksi jago antara dua buah kekuatan yang saling berhadapan, yang satu sama lain siap saling mengalahkan–bahkan menghabisi–musuhnya. Kalau kekuatan yang hendak merubah mengalami kekalahan sebelum berkembang, maka tentu saja sejarah akan menilai revolusi yang terjadi itu tidak mendapat pertolongan mayoritas massa lantaran terbukti tidak bisa menggerakan massa untuk secara bersama mengganti sisten usang yang sedang berlaku. Bukankah secara sederhana, suksesnya sebuah revolusi ditandai dengan tumbangnya sistem usang dan kemudian digantikan oleh sistem/tatanan baru.
Model Reformasi
Kedua pilihan tadi intinya tidak akan terlepas dari sejumlah kelebihan dan kekurangan, paling tidak masih ada cara Ketiga yang ternyata banyak negara menggunakannya untuk merombak sistem yang sedang berjalan. Cara ini pun tolong-menolong bukan cara yang higienis dari bakal adanya korban yang jatuh tapi, dalam beberapa hal cara ini merupakan cara kompromis antara penguasa dengan rakyatnya. Cara ini kalau bisa berjalan dengan baik akan menjembatani kehawatiran-kehawatiran yang muncul berkaitan dengan prediksi akan adanya korban yang ada. Dalam konteks Indonesia, pilihan terhadap cara ini bisa kita saksikan dalam rentang perjalanan sejarah bangsa ini ketika mengambil middle way sebagai sebuah pilihan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep jalan tengah ini ter-representasikan saaat Tentara Nasional Indonesia meluncurkan sebuah paradigma gres dalam menata dirinya dengan wujud Dwi Fungsi ABRI, ternyata cara mirip ini pula yang pada akhirnya–dengan kesadaran atau terpaksa–banyak mengilhami kalangan terbesar bangsa ini dalam mereformasi dirinya pada insiden puncak reformasi di bulan Mei 1998 sebagai sebuah momentum perubahan besar bangsa.
Perubahan Masyarakat Dalam Pandangan Islam
Ketika muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang perubahan sosial. Seperti apa model yang dikehendaki Islam dalam menata sejumlah permasalahan sosial dan model perubahan apa yang paling sesuai dengan Islam ?. Maka sesungguhnya balasan ini tidak sederhana, tidak bisa disampaikan secara singkat. Ada begitu banyak persoalan-persoalan yang terkait dengan balasan pertanyaan tadi. Pertama lantaran kompleksnya cara pemahaman terhadap Islam, kedua lantaran perspektif tiap pecahan dari umat bisa saja berbeda dalam pengambilan metode atau cara dalam melaksanakan usaha dan pengimplementasian dari banyak sekali cara pandang yang berbeda tadi. Satu kelompok dengan kelompok lainnya, walaupun sama-sama Islam, bisa saja menerapkan a langkah dan metode yang berbeda.
Islam sendiri kalau kita kaji secara lebih dalam, maka akan hingga pada kesimpulan bahwa Islam yakni agama yang memang tepat bagi aturan kehidupan manusia. Islam ini kalau jika kita artikan secara sederhana dalam bahasa Arab bisa berarti damai, kepatuhan dan ketaatan. Dien Islam juga sanggup berarti penerimaan total terhadap fatwa dan petunjuk Allah sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan orang yang berislam secara umum disebut seorang muslim. Pengertian dari seorang muslim yakni seseorang yang mempercayai Allah dan berupaya mengatur seluruh kehidupannya menurut petunjuk yang diturunkan-Nya serta sunah-Nya. Ia juga bekerja untuk membangun masyarakat insan di atas dasar tauhid.
Islam telah menetapkan hak-hak asasi insan yang menyeluruh. Hak-hak ini harus dilaksanakan dan dihormati dalam setiap keadaan. Untuk menjalankannya, Islam tidak hanya melengkapinya dengan jaminan hukum, tapi juga sistem moral yang sangat efektif. Demikianlah, apapun yang mengarah kepada kesejahteraan individu atau masyarakat, dalam Islam di sebut moral baik, dan apapun yang merugikan di sebut moral buruk. Islam sangat menekankan pentingnya kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada sesama manusia, dan menentang formalisme. Perhatikan ayat Al Alquran berikut ini : ”Bukankah kebajikan itu engkau hadapkan wajah ke arah Timur dan Barat akan tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memperlihatkan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, belum dewasa yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 177)
Dengan meletakan ridha Allah sebagai tujuan hidup manusia, Islam telah dilengkapi dengan standard moral yang tertinggi. Ini membuka cakrawala yang tak terbatas bagi perkembangan moral insan dalam bekerjasama dengan insan yang lain. Aturan hubungan sesama insan kalau begitu bukan sebatas kepatutan atau sopan santun semata, tapi sangat transendental sekali sifatnya. Jika begitu, maka antara insan yang satu dengan insan yang lain punya kewajiban sama, yakni sama-sama makhluk Allah yang punya kewajiban mengabdi dan menyembah kepada-Nya.
Dalam konteks perubahan sosial, hal ini sangat relevan lantaran apapun acara perubahan, baik yang diinginkan dirubah dalam waktu cepat (revolusi), lambat (evolusi) ataupun tengah-tengah antara keduanya (reformasi) menjadi kurang penting, yang justeru menjadi hal utama yakni bahwa perubahan yang dilakukan harus dalam bingkai nilai-nilai Islam. Ini artinya cepat lambatnya perubahan tidak terlalu menjadi duduk kasus dalam cara pandang Islam. Dan mengenai korban yang umumnya terjadi dalam proses perubahan, apabila kita gunakan perspektif Islam, maka perubahan yang ada harus tetap dilakukan dengan cara-cara yang akhsan (baik) sehingga dengan hampir mustahil perubahan dilakukan dengan cara radikal atau penuh dengan kekerasan. Kalaupun ada korban, itu merupakan implikasi dari proses yang terjadi.