Kedudukan Wanita Dalam Islam



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan menjadi pembahasan di setiap zaman. Peran dan kedudukan perempuan  sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terbagi atas tiga fase yaitu fase menghinakan, fase mendewakan, fase menyamaratakan ( Alfan, tanpa tahun: 10)
Pada fase menghinakan perempuan dianggap menyerupai binatang bahkan lebih rendah. Perempuan dianggap menjijikkan, hina dan diperjualbelikan di toko, pasar-pasar, dan warung-warung. Perempuan dianggap pelayan laki-laki. Pada fase mendewakan perempuan dipuja-puja, dimuliakan tetapi untuk memuaskan hawa nafsu berahi kaum lelaki. Pada fase menyamaratakan perempuan diberi kebebasan seluas-luasnya tanpa terikat pada batasan baik norma tabiat maupun agama. Wanita harus mempunyai hak dan kiprah yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Dalam kenyataan perempuan berbeda dengan laki-laki terutama dalam struktur anatominya. Secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda. Secara biologis perempuan dilengkapi dengan alat-alat reproduksi sehingga sanggup berperan sebagai ibu bisa mengandung dan melahirkan anak, sedangkan laki-laki tidak mempunyai potensi untuk itu.
Dengan perbedaan ini tentunya perempuan dan laki-laki memilki kedudukan dan kiprah atau kiprah yang saling melengkapi. Oleh lantaran itulah penulis mencoba mengupas Peran dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Karena yang berhak memilih kiprah dan kedudukan perempuan ialah sang pencipta perempuan itu sendiri, yang telah mengutus rasul Muhammad dan menurunkan kitab Al-Quran sebagai petunjuknya bagi insan supaya ber-Islam ( berserah diri ).

BAB II
KERANGKA TEORETIS
Membahas kiprah dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak terlepas dari sumber aturan Islam. Sebuah hadits sanggup kita nukil untuk memperlihatkan keyakinan pada kita wacana sumber aturan yang harus dipakai yaitu : “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Al Alquran sebagai sumber aturan umat Islam sudah tidak ada yang menyangkal, namun hadis sebagai sumber aturan masih ada yang berkeberatan terutama kelompok Inkar Al Sunnah (Dailamy SP,2008:2) dengan alasan bahwa Al Alquran ialah kitab yang sempurna, terinci, kiprah Nabi Muhammad semata-mata menyampaiakan Al- Quran, Hadis merupakan pandangan dan pendapat insan yang tidak terjamin kebenarannya, ibadah salat, puasa zakat dan haji ialah amalan bebuyutan semenjak zaman Nabi Ibrahim, bukan disampaikan melalui hadis.
Namun demikian dalam goresan pena ini penulis akan memakai kerangka teoretis Al Alquran dan hadis sebagai sumber pengambilan aturan dalam pembahasan kiprah dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Dengan pertimbangan “ Kedudukan hadis begitu lebih banyak didominasi dalam pandangan ulama jumhur. Hadis dengan bermacam-macam ilmunya telah dibahas dan dikupas sedemikian rupa sehingga seakan tidak tersisa lagi buat umat Islam mendatang untuk ikut urun rembug dalam urusan hadis dengan bermacam-macam ilmunya itu.”( Dailamy SP,2008:3)
Oleh lantaran itulah penulis berkeyakinan bahwa membahas kiprah dan kedudukan perempuan berdasarkan pandangan Islam berarti membahas dengan memakai Al-Quran dan hadis, tentu saja melalui pendapat-pendapat para ulama penafsir Al-Quran dan hadis.

BAB III
PEMBAHASAN
A.       Peran Perempuan dalam Pandangan Islam
Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Allah menegaskan dalam Al Alquran pada kejadian kelahiran Maryam dalam Surat Ali Imron ayat 36
$£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øŠs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtƒötB þÎoTÎ)ur $ydäŠÏãé& šÎ/ $ygtG­ƒÍhèŒur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOŠÅ_§9$# ÇÌÏÈ  
36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya saya melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah menyerupai anak perempuan. Sesungguhnya saya telah menamai Dia Maryam dan saya mohon dukungan untuknya serta bawah umur keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Perbedaan secara kodrati ini tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal kedudukan namun memilih kiprahnya dalam kehidupan. Dari segi fungsi reproduksi perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya lantaran perempuan mempunyai rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian juga dalam hal pengasuhan dan keberlangsungan bayi ketika masih kecil, perempuan dianugerahi kemampuan untuk menyusui dan perasaan kasih sayang dan ketahanan badan yang lebih dibandingkan dengan laki-laki. Menurut al-‘Allamah al- Nasafi dalam Munawar, “ kelebihan laki-laki atas perempuan ialah pada: akalnya, keteguhan hati, contoh pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah, jama’ah, takbir pada hari tasyrik , kesaksian dalam masalah pidana dan qishas dua kali lipat dalam bagian  waris, hak nikah dan talak. ( 2004:214 )
Dari perbedaan itulah maka perempuan dan laki-laki mempunyai kiprah yang saling melengkapi. Dalam perbedaan kiprah ini bukan berarti perempuan harus menggantikan kiprah laki-laki ataupun sebaliknya, lantaran masing-masing mempunyai proporsi yang berbeda sesuai dengan kodratnya.
Sesunguhnya perempuan dan laki-laki diciptakan untuk diuji siapa yang paling baik amalnya. Dengan berzakat perempuan akan memperoleh pahala. Selain itu perempuan ialah separoh dari masyarakat. Apabila perempuan tidak melaksanakan amalan pasti dunia ini akan beku ( Qardhawy dalam http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/ kontemporer/WanitaKerja.html).
Al-Quran berbicara wacana perempuan dalam banyak sekali ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut banyak sekali sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara wacana hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan ( Shihab, 2004:272 )
Secara garis besar perempuan mempunyai dua kiprah yaitu kiprah sebagai anggota keluarga dan kiprah sebagai anggota masyarakat.
1.      Perempuan sebagai Anggota Keluarga
Di dalam keluarga perempuan sanggup berperan sebagai ibu, istri, anak. Semua kiprah tersebut menuntut adanya kiprah sesuai dengan perannya.
a.       Perempuan sebagai Ibu
Sebagai ibu  tugas perempuan yang pertama dan  utama  yang  tidak diperselisihkan  lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah  untuk  tugas  itu,  baik secara  fisik  maupun mental, dan kiprah yang agung ini tidak boleh dilupakan atau  diabaikan  oleh  faktor  material  dan kultural  apa  pun.  (Qardhawy dalam http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/ Kontemporer/WanitaKerja.html).
Selain itu kiprah perempuan ialah Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik lantaran memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan sanggup beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? ylŽy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# šúüÏ?#uäur no4qŸ2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ  
33. dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laris menyerupai orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kau sebersih-bersihnya.
b.      Perempuan sebagai Istri
Perempuan sebagai istri mempunyai kiprah yang sangat penting. Istri yang bijaksana sanggup menimbulkan rumah tangganya sebagai kawasan yang paling kondusif dan menyenangkan bagi suami. ( Alfan, tanpa tahun: 25) Istri sanggup berperan sebagai teman baik, kawasan suami mencurahkan perasaan hatinya. Mendinginkan suasana ketika hati sedang panas. Sehingga suami memperoleh motivasi baik dalam hal mencari nafkah maupun beribadah.
Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat insan yang tiba dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi perempuan sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan ia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang perempuan yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah (http://www.assalafy.org/al-ilmu.php?tahun3=8) berkta: “Perbaikan masyarakat sanggup dilakukan dengan dua cara:
Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki lantaran merekalah yang bisa tampil di depan umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat  Al Ahzab ayat  33 di atas.
Dengan kiprah perempuan sebagai istri maka ada beberapa kewajiban istri terhadap suami. Kewajiaban pertama, ialah taat tepat kepada suaminya dalam kasus yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melaksanakan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunnah) sementara suaminya ada di kawasan kecuali sehabis mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini memperlihatkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan kasus yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
Menjaga diam-diam suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan diri sendiri di ketika suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik perempuan penunggang unta, ialah perempuan yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, higienis dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.
2.      Perempuan sebagai Anggota Masyarakat
Peranan  perempuan  dalam  masyarakat  merupakan pokok persoalan.   Oleh karena kecenderungan  penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak perempuan dalam masyarakat.  Hal  ini  didukung  oleh  pemahaman  bahwa kawasan  terbaik bagi perempuan ialah di rumah,  sedangkan di luar rumah banyak terjadi  kemudharatan.
Pandangan yang paling  umum ialah bahwa keluarnya  perempuan  dari rumah untuk  maksud tertentu dihukumi  dengan  subhat, antara diperbolehkan  dan tidak.  Dalam  bahasan  fiqh ibadah, jikalau subhat lebih baik ditinggalkan.  Sedangkan dalam  fiqh muamallah bisa dijalankan  dengan  rukhshah darurat. Akan tetapi berdasarkan pandangan Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk  keperluan  tertentu ialah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan  di  dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka  waktu tertentu sebagai bentuk penghukuman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)

Perempuan    sebagai  bagian  tak  terpisahkan  dari   umat mendapat  perlakuan yang sama persis dengan  laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas perempuan. Dengan demikian perempuan mempunyai hak yang sama dalam perjuangan melaksanakan perbaikan  (ishlah) dalam masyarakat.
Namun demikian ada profesi yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama, bahwa perempuan tidak bisa menduduki dua profesi yaitu sebagai pemimpin dalam pengertian al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma  (pemimpin  tertinggi) dan qodhi.
Dalam bidang kepemimpinan Islam bertolak dari status insan sebagai khalifah di muka bumi. Akhir Surat Al Ahzab mempertegas kekhalifahan insan di muka bumi ini sebagai pengembang amanat Allah SWT untuk mengolah, memelihara dan menyebarkan bumi. Inilah kiprah pokok insan tidak berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ini yang dalam aturan Islam disebut taqlidiyyah ( Munir, 1999:69)
Namun kepemimpinan  perempuan  merupakan  persoalan  pelik yang  sampai  saat  ini  terus  menjadi  perbincangan. Lingkup perbincangan  tersebut  bermula  dari  tatanan syari'ah  yang memperlihatkan barrier  berupa  sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu masyarakat jikalau kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini ialah  Shahih lantaran  periwayatannya  dari Abu  Bakrah yang  kemudian dikutip  Bukhari.  Sedangkan hadits  yang  diriwayatkan oleh Bukhari  termasuk  ke dalam  hadist  yang  shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang  difahami secara  tekstual, ataupun difahami secara  kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan menyimpulkan bahwa haram aturan  wanita menjadi kepala  pemerintahan. Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa  hadits  tersebut berkaitan  dengan diangkatnya  seorang  wanita  Persia menjadi  pemimpin meski disekitarnya  terdapat  banyak calon   pemimpin  yang memadai,  hanya  karena   hukum kerajaan menghendaki demikian. (Qardhawy,1997:246)
Jumhur   ulama  sepakat  akan   haramnya   perempuan memegang  kekuasan  dalam al-wilayatul-kubra  atau  al-imamatul-uzhma  (pemimpin  tertinggi). Di  mana  perempuan berperan sebagai  pemimpin  tertinggi  dalam   urusan pemerintahan.   Sebab  dalam  matan hadits tersebut terdapat  kata  "Wallu Amrahum" (Yang  Memerintah  Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam  sistem politik Islam.  Sehingga  jumhur   ulama memperlihatkan pengharaman pada  wanita.    Hampir   ulama   klasik   memandang   perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah ialah haq laki-laki, bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh  Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun(Azhar:1996)
Sedangkan dalam hal Qadhi atau yudikatif perempuan tidak diperbolehkan menduduki jabatan tersebut, Adapun pendapat yang mendukung penolakan perempuan menjadi hakim secara mutlak menyampaikan bahwa perempuan dihentikan menjadi qodhi ( yudikatif) berdasarkan syara’sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat ( olah pikir ), pada hal perempuan umumnya lemah akalnya, di mana Rasulullah menafsirkan sifat ketidak sempurnaan akalnya ini bahwa kesaksian perempuan nilanya setengah dari kesaksian laki-laki. (Bahnasawi.1996: 293-204)
B.        Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam
Kedudukan perempuan sangat terkait erat dengan asal-usul penciptaan, legalisasi Allah atas kemuliaan perempuan, hak kehormatan yang dimiliki perempuan  dan hak imbalan yang didapatkan perempuan dari Allah..
a.                Kedudukan  Perempuan dari Sudut Pandang Penciptaannya
Berdasarkan penciptaanya perempuan dan laki-laki berasal dari satu jenis yang sama menyerupai yang tercantum dalam Surat An Nisa ayat 1 :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ  
1.       Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah membuat kau dari seorang diri, dan dari padanya Allah membuat isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kau saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) relasi silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu


Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara gotong royong Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Memang dalam hadits shahih disebutkan bahwa “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, lantaran mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari teman Abu Hurairah). (Shihab,2004:270) Sedangkan Ibnu Katsir menukil hadist yang artinya “ Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk jikalau engkau hendak meluruskan tulang yang bengkok akan patahlah ia, tetapi engkau sanggup menimatinya dalam keadaan bengkok ( Ibnu Katsir Jilid II : 303)
Menurut Quraish Shihab “ pengertian tulang rusuk yang bengkok harus dipahami secara majazi dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan pada laki-laki biar menghadapi perempuan dengan bijaksana” (2004:271) Dengan demikian berarti  mengakui kepribadian perempuan sesuai dengan kodratnya
b.               Kemuliaan Perempuan Berdasarkan Penciptaannya
Kemuliaan-kemuliaan perempuan yang diberikan oleh Allah atas dasar penciptaannya juga terdapat dalam surat  Al-Isra' ayat 70 :
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan bawah umur Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang tepat atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Tentu, kalimat bawah umur Adam meliputi lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, meliputi bawah umur Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. ( Shihab, 2004:271)
Demikian juga yang tercantum dalam Surah Ali Imron 195 :


195. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya saya tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang berzakat di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kau ialah turunan dari sebagian yang lain Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah saya masukkan mereka ke dalam nirwana yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Kalimat “Sebagian kau ialah belahan dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kau (hai umat insan yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir sanggup (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menimbulkan kedua jenis kelamin ini sanggup melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, sanggup menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dieksekusi serta menuntut dan menyaksikan."(Syaltut,1959: 193)

 Kemuliaan perempuan juga ditegaskan oleh Allah dengan memperlihatkan bahwa bergotong-royong yang menimbulkan Adam dan Hawa keluar dari nirwana bukanlah Hawa melainkan keduanya.  hal ini sanggup kita pahami dari ayat-ayat berikut :
20. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kau tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kau berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang awet (dalam surga)".

Dari ayat-ayat Al-Quran tersebut  ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibuat dalam kata yang memperlihatkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan ( Shihab: 2004 : 272)
36. kemudian keduanya digelincirkan oleh syaitan dari nirwana itu[38] dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kau menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kau ada kawasan kediaman di bumi, dan kesenangan hidup hingga waktu yang ditentukan."
 (QS 2:36).

Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, menyerupai dalam firman Allah:
šZuqóuqsù ÏmøŠs9Î) ß`»sÜø¤±9$# tA$s% ãPyŠ$t«¯»tƒ ö@yd y79ߊr& 4n?tã Íotyfx© Ï$ù#èƒø:$# 77ù=ãBur žw 4n?ö7tƒ   
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Dengan ayat tersebut sanggup disimpulkan bahwa kedudukan perempuan bukan sebagai penyebab Adam dan Hawa terusir dari surga. Dan perempuan bukanlah makhluk yang menimbulkan malapetaka. Islam memandang bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sama baik dari asal penciptaan, kemuliaan, maupun dalam hal memperoleh imbalan dari perjuangan amal dan  ibadahnya dari Allah SWT.







BAB IV
SIMPULAN
Dalam pandangan Islam perempuan mempunyai kedudukan yang sama dibandingkan dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapat akibat atas amal usahanya perempuan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki. Sedangkan dalam hal kiprah perempuan mempunyai perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib ialah sebagai anggota keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan kiprah perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapat profesi (pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.












DAFTAR PUSTAKA

Alfan,Jundy. Tanpa tahun. Agenda Shalihah, Panduan Hidup Wanita Sholihah. Pustaka Al- Wustho:Solo

Al Munawar, Said Aqil Husin. 2004. Al- Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press

Azhar,  Muhammad .1996. Filsafat  Politik: Perbandingan   Islam  dan  Barat,  Jakarta:   RajaGrafindo Persada

Bahnasawi, Salim Ali .1996.Wawasan sistem Politik Islam. Jakarta: Pustaka Kautsar

Bahreisy, H Salim dan H Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya : PT Bina Ilmu

Dailamy SP, Muhammad,2008, Empat Persoalan Perempuan dalam Agama. Untuk kalangan sendiri.

Munir, Lily Zakiyah.1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Prespektif Islam, Bandung :Mizan

Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an  dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,  

Shihab, Quraish.2004. Membumikan Al Quran,Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,.Bandung : Mizan

.Syaltut,Mahmud, Prof. Dr., 1959. Min Taujihat Al-Islam, Kairo : Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel