Perbandingan Konsep Kekuasaan Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha Dan Kerajaan-Kerajaan Islam
Adanya sistem pemerintahan pada masyarakat telah dikenal semenjak zaman pra sejarah. Sistem tersebut mengacu pada relasi antara penguasa dengan rakyat. Penguasa yang disebutkan di sini ialah seorang yang disegani dan dihormati oleh lantaran kelebihannya dari masyarakat yang lain, baik itu berupa kesaktian, ilmu, dan lain-lain. Biasanya penguasa atau pemimpin yang kurang lebih setingkat desa di zaman pra-sejarah dipilih oleh masyarakatnya sendiri. Struktur ini merupakan struktur pemerintahan sederhana yang terdapat di zaman pra-sejarah sebelum masuknya imbas Hindu, Budha, maupun Islam.
Akan tetapi, seiring dengan masuknya paham agama Hindu, Buddha, dan Islam ke Indonesia, maka berganti pulalah sistem pemerintahan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Berikut ini ialah perbandingan konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu-Buddha
Sejak zaman Prasejarah, yaitu sebelum masuknya imbas Hindu Buddha, bekerjsama telah terdapat semacam teladan atau sistem tertentu dalam relasi antara "pemimpin" dan "rakyat". Pada zaman Megalitikum telah terdapat struktur pemerintahan yang sederhana. Seorang pemimpin masyarakat yang kurang lebih setingkat dengan desa dipilih berdasarkan asas primus interpares, artinya pemimpin dipilih dari orang yang mempunyai kelebihan dan keunggulan dari yang lain (disegani dan sakti) sehingga bisa melindungi dan mengayomi masyarakatnya.
Dengan adanya imbas Hindu Buddha dari India menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu Buddha bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah, tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya, yakni timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Dengan demikian, teladan kepemimpinan yang ada lalu meningkat menjadi sistem kerajaan. Itulah sebabnya lalu muncul sebutan raja. Untuk memperkuat kedudukan raja maka ada kebiasaan untuk mengundang brahmana untuk pentasbihan (abhiseka= penobatan), dan sekaligus menjadikannya sebagai penasihat spiritual raja.
Selanjutnya untuk menjaga kelestarian suatu kekuasaan maka muncul prinsip geneology kinship (keturuan). Artinya yang berhak menjadi raja ialah keturunannya. Di samping itu, berdasarkan konsep Jawa orang yang menjadi raja ialah orang yang mendapat "wahyu". Hal ini menawarkan bahwa kekuasaan raja itu datangnya dari "atas" (Dewa = Tuhan). Dengan berlandaskan aliran Hindu Buddha maka muncullah "kultus yang kuasa raja", dalam pengertian kekuasaan raja mirip dewa. Raja dianggap sebagai penjilmaan yang kuasa sehingga apa yang dikatakan raja ialah benar, "sabda pandita ratu datan kena wola-wali".
Dengan demikian, imbas Hindu–Buddha turut membentuk konsep kekuasaan yang berpusat pada raja dan muncullah "kultus yang kuasa raja". Kekusaan raja sangatlah besar, raja berwenang memerintah seluruh negara (menang wisesa sa nagari). Di balik kekuasaannya yang besar raja juga harus mengimbangi dengan kewajibannya yang besar pula, yakni bisa melindungi rakyatnya sehingga tercipta kedamaian dan ketentraman.
Oleh lantaran itu, lalu muncul suatu konsep wacana idealnya seorang raja, yakni harus mempunyai sifat "Astabrata" atau delapan kebajikan sebagai seorang pemimpin mirip yang dimiliki oleh delapan yang kuasa dalam kepercayaan Hindu, mirip berikt ini:
a. Memiliki jiwa dermawan, sifat Dewa Indra;
b. Memiliki kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat Dewa Yama;
c. Memiliki kebijaksanaan, sifat Dewa Surya;
d. Memiliki sifat kasih sayang, welas asih terhadap rakyat, sifat Dewa Candra;
e. Memiliki pandangan yang luas dan tajam, sifat Dewa Bayu;
f. Mampu membuat keamanan, ketenteraman dan kesejerahteraan, sifat Dewa Kuwera;
g. Mampu menghadapi banyak sekali macam kesulitan, sifat Dewa Baruna;
h. Memiliki keberanian yang menyala-nyala dan tekad yang bulat, sifat Dewa Brahma.
2. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-Kerajaan Islam
Jika masa Hindu–Buddha, konsep kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai religius Hindu–Buddha sehingga muncul kultus yang kuasa raja maka pada masa kerajaan-kerajaan Islam, konsep kekuasaan juga diwarnai nilai-nilai religus, yakni islamisme. Raja pada masa kerajaan-kerajaan Islam memakai gelar sultan atau susuhunan. Sultan ialah istilah dalam bahasa Arab yang kalau di indonesiakan sama dengan raja yakni penguasa kerajaan. Susuhunan dari kata suhun yang artinya terhormat, disembah/dipuji.
Jika pada masa Hindu–Buddha para brahmana berperan sebagai penasihat raja maka pada masa Islam yang menjadi penasihat raja ialah pada wali/sunan atau kiai. Raja pada masa Islam juga mempunyai kekuasaan yang besar sepertipada masa kerajaan-kerajaan Hindu–Buddha. Bahkan, untuk raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya, muncul konsep keagung-binatharaan.
Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu bisa digambarkan sebagai gung binathara busuk dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara aturan dan penguasa dunia). Raja tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama sehingga muncul gelar Sayidin Panatagama.
Raja yang dikatakan baik ialah raja yng menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara kewenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Konsep itulah yang disebut ke-agungbinatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta, (meluap kebijaksanaan luhur mulia dan perilaku adilnya terhadap sesama).
Selain itu, kiprah raja ialah anjaga tata titi tentreming praja (menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat) supaya tercapai suasana karta tuwin raharja (aman dan sejahtera). Jika diibaratkan sama dengan konsep Hindu Buddha berupa astabrata. Selanjutnya, untuk training kekuasaan dilakukan dengan menyusun silsilah (silsilah politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggantikan takhta kerajaan.
Akan tetapi, seiring dengan masuknya paham agama Hindu, Buddha, dan Islam ke Indonesia, maka berganti pulalah sistem pemerintahan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Berikut ini ialah perbandingan konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu-Buddha
Sejak zaman Prasejarah, yaitu sebelum masuknya imbas Hindu Buddha, bekerjsama telah terdapat semacam teladan atau sistem tertentu dalam relasi antara "pemimpin" dan "rakyat". Pada zaman Megalitikum telah terdapat struktur pemerintahan yang sederhana. Seorang pemimpin masyarakat yang kurang lebih setingkat dengan desa dipilih berdasarkan asas primus interpares, artinya pemimpin dipilih dari orang yang mempunyai kelebihan dan keunggulan dari yang lain (disegani dan sakti) sehingga bisa melindungi dan mengayomi masyarakatnya.
Dengan adanya imbas Hindu Buddha dari India menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu Buddha bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah, tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya, yakni timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Dengan demikian, teladan kepemimpinan yang ada lalu meningkat menjadi sistem kerajaan. Itulah sebabnya lalu muncul sebutan raja. Untuk memperkuat kedudukan raja maka ada kebiasaan untuk mengundang brahmana untuk pentasbihan (abhiseka= penobatan), dan sekaligus menjadikannya sebagai penasihat spiritual raja.
Selanjutnya untuk menjaga kelestarian suatu kekuasaan maka muncul prinsip geneology kinship (keturuan). Artinya yang berhak menjadi raja ialah keturunannya. Di samping itu, berdasarkan konsep Jawa orang yang menjadi raja ialah orang yang mendapat "wahyu". Hal ini menawarkan bahwa kekuasaan raja itu datangnya dari "atas" (Dewa = Tuhan). Dengan berlandaskan aliran Hindu Buddha maka muncullah "kultus yang kuasa raja", dalam pengertian kekuasaan raja mirip dewa. Raja dianggap sebagai penjilmaan yang kuasa sehingga apa yang dikatakan raja ialah benar, "sabda pandita ratu datan kena wola-wali".
Dengan demikian, imbas Hindu–Buddha turut membentuk konsep kekuasaan yang berpusat pada raja dan muncullah "kultus yang kuasa raja". Kekusaan raja sangatlah besar, raja berwenang memerintah seluruh negara (menang wisesa sa nagari). Di balik kekuasaannya yang besar raja juga harus mengimbangi dengan kewajibannya yang besar pula, yakni bisa melindungi rakyatnya sehingga tercipta kedamaian dan ketentraman.
Oleh lantaran itu, lalu muncul suatu konsep wacana idealnya seorang raja, yakni harus mempunyai sifat "Astabrata" atau delapan kebajikan sebagai seorang pemimpin mirip yang dimiliki oleh delapan yang kuasa dalam kepercayaan Hindu, mirip berikt ini:
a. Memiliki jiwa dermawan, sifat Dewa Indra;
b. Memiliki kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat Dewa Yama;
c. Memiliki kebijaksanaan, sifat Dewa Surya;
d. Memiliki sifat kasih sayang, welas asih terhadap rakyat, sifat Dewa Candra;
e. Memiliki pandangan yang luas dan tajam, sifat Dewa Bayu;
f. Mampu membuat keamanan, ketenteraman dan kesejerahteraan, sifat Dewa Kuwera;
g. Mampu menghadapi banyak sekali macam kesulitan, sifat Dewa Baruna;
h. Memiliki keberanian yang menyala-nyala dan tekad yang bulat, sifat Dewa Brahma.
2. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-Kerajaan Islam
Jika masa Hindu–Buddha, konsep kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai religius Hindu–Buddha sehingga muncul kultus yang kuasa raja maka pada masa kerajaan-kerajaan Islam, konsep kekuasaan juga diwarnai nilai-nilai religus, yakni islamisme. Raja pada masa kerajaan-kerajaan Islam memakai gelar sultan atau susuhunan. Sultan ialah istilah dalam bahasa Arab yang kalau di indonesiakan sama dengan raja yakni penguasa kerajaan. Susuhunan dari kata suhun yang artinya terhormat, disembah/dipuji.
Jika pada masa Hindu–Buddha para brahmana berperan sebagai penasihat raja maka pada masa Islam yang menjadi penasihat raja ialah pada wali/sunan atau kiai. Raja pada masa Islam juga mempunyai kekuasaan yang besar sepertipada masa kerajaan-kerajaan Hindu–Buddha. Bahkan, untuk raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya, muncul konsep keagung-binatharaan.
Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu bisa digambarkan sebagai gung binathara busuk dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara aturan dan penguasa dunia). Raja tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama sehingga muncul gelar Sayidin Panatagama.
Raja yang dikatakan baik ialah raja yng menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara kewenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Konsep itulah yang disebut ke-agungbinatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta, (meluap kebijaksanaan luhur mulia dan perilaku adilnya terhadap sesama).
Selain itu, kiprah raja ialah anjaga tata titi tentreming praja (menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat) supaya tercapai suasana karta tuwin raharja (aman dan sejahtera). Jika diibaratkan sama dengan konsep Hindu Buddha berupa astabrata. Selanjutnya, untuk training kekuasaan dilakukan dengan menyusun silsilah (silsilah politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggantikan takhta kerajaan.