Perjanjian Islam Secara Legal



DAN CONTOH PERJANJIAN JUAL BELI SECARA LEGAL

PENDAHULUAN
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …" merupakan landasan aturan dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melaksanakan perbuatan aturan tertentu ibarat transaksi jual beli secara elektronik. Indonesia merupakan negara aturan sehingga setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan bahwa segala tubuh negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang beru berdasarkan undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih tetap berlaku ibarat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum diubah atau dibentuk yang baru.
SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Berbicara menganai transaksi jual beli, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara fundamental sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur wacana perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yang mempunyai sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya sanggup dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyampaikan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian yaitu sebagai berikut :
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu alasannya yaitu yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang menciptakan perjanjian, sehingga dalam melaksanakan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog). Kecakapan aturan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melaksanakan perjanjian harus telah sampaumur yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang. Apabila orang yang belum sampaumur hendak melaksanakan sebuah perjanjian, maka sanggup diwakili oleh orang renta atau walinya sedangkan orang yang cacat mental sanggup diwakili oleh pengampu atau curatornya.
Suatu hal tertentu bekerjasama dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, sanggup ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak. Suatu alasannya yaitu yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa alasannya yaitu tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini yaitu tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.
Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian sanggup dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku. Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu alasannya yaitu yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat objektif.
Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi aturan artinya semenjak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara keseluruhan, contohnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak dari para pihak yang menciptakan perjanjian pada dikala ini telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya.
UNSUR PERJANJIAN
Pada dikala ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibentuk dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian ibarat itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu :
transaksi jual beli yaitu :
1. unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, ibarat identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
2. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, ibarat itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
3. unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, ibarat klausula tambahan yang berbunyi "barang yang sudah dibeli tidak sanggup dikembalikan"
Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang sanggup diterapkan antara lain :
1. Azas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika sehabis ada kata sepakat
2. Azas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang menciptakan perjanjian
3. Azas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang menciptakan perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
4. Azas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
5. Azas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan
6. Azas Moral yaitu perilaku moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang menciptakan dan melaksanakan perjanjian
7. Azas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibentuk oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya
8. Azas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang berdasarkan sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
9. Azas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi hal-hal yang berdasarkan kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara belakang layar dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.
Semua ketentuan perjanjian tersebut diatas sanggup diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan melalui media internet, ibarat perjanjian jual beli secara elektronik, sebagai akhir adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Jual beli tidak hanya sanggup dilakukan secara berhadapan pribadi antara penjual dengan pembeli, tetapi juga sanggup dilakukan secara terpisah antara penjual dan pembeli, sehingga mereka tidak berhadapan langsung, melainkan transaksi dilakukan melalui media internet/secara elektronik.
Dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual atau pelaku perjuangan dan pembeli yang berkedudukan sebagai konsumen mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam hal ini penjual yang memperlihatkan dan menjual suatu produk, yaitu :
1. beritikad baik dalam melaksanakan aktivitas usahanya;
2. menyampaikan informasi yang benar, terang dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibentuk dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akhir penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

ATURAN LARANGAN
Sementara itu, berdasarkan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku usaha/penjual tidak boleh memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi higienis atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan berdasarkan ukuran yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. tidak sesuai dengan kesepakatan yang dinyatakan dalam label,etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
9. tidak memasang label atau menciptakan klarifikasi barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi higienis atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akhir sampingan, nama dan alamat pelaku perjuangan serta keterangan lain untuk penggunaan yang berdasarkan ketentuan harus dipasang atau dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Disamping itu, pelaku perjuangan atau penjual juga tidak diperkenankan menjual barang yang rusak, cacat atau bekas dan terkotori tanpa menyampaikan informasi secara lengkap dan benar atas barang termaksud; atau memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan terkotori dengan atau tanpa menyampaikan informasi secara lengkap dan benar. Dengan demikian apabila terjadi hal ibarat itu, maka pelaku perjuangan atau penjual wajib menarik barang yang diperdagangkannya itu dari peredaran. Pada kenyataannya pelaku perjuangan atau penjual sering melaksanakan tindakan yang merugikan dalam menjual produk-produknya hingga menjadikan kerugian bagi para pembeli atau konsumennya. Oleh lantaran itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dengan tegas menyampaikan batasan bagi pelaku perjuangan dalam hal ini penjual dalam memperlihatkan dan menjual produknya tersebut antara lain termuat dalam Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa penjual tidak boleh memperlihatkan mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seperti :
1. Barang tersebut telah memenuhi dan atau mempunyai penggalan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;
3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau mempunyai sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, laba tertentu, ciri-ciri kerja atau komplemen tertentu;
4. Barang dan/atau jasa termaksud dibentuk oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersebunyi;
7. Barang tersebut merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;
8. Barang tersebut berasal dari tempat tertentu;
9. Secara pribadi atau tidak pribadi merendahkan barang lain;
10. memakai kata-kata yang berlebihan ibarat aman, tidak menjadikan imbas samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau bahkan tanpa keterangan yang lengkap.
11. memperlihatkan sesuatu yang mengandung kesepakatan yang belum pasti.
Dengan demikian seorang penjual tida diperbolehkan memperlihatkan dan atau menjual barang dan atau jasa melalui penawaran yang mengadung pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif barang dan atau jasa; kegunaan barang dan atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa; tawaran penggalan harga atau hadiah menarik serta ancaman penggunaan barang dan atau jasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang proteksi Konsumen. Pelaku perjuangan atau penjual tidak boleh pula untuk memperlihatkan dan memperdagangkan barang dan atau jasanya dengan cara pemaksaan yang sanggup menjadikan gangguan fisik dan atau psikis terhadap konsumen atau pembelinya. Apabila transaksi jual beli dilakukan dengan sistem pesanan, maka pelaku perjuangan atau penjual harus menepati kesepakatan yang telah dibentuk dengan konsumen atau pembeli sehingga tidak melampaui batas waktu yang telah diperjanjikan. Bagi para pelaku perjuangan atau penjual yang memperlihatkan produknya melalui suatu iklan, tidak diperkenankan mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau jasa, jaminan/garansi atas barang dan atau jasa; juga tidak boleh untuk memberi informasi yang salah mengenai barang dan atau jasa yang ditawarkan termasuk risiko pemakaiannya serta melanggar budbahasa periklanan lainnya.
Pelaku perjuangan atau penjual yang mengadakan hubungan aturan dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat klausula baku maka harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.







HAK PENJUAL
Selain kewajiban, penjual juga mempunyai hak dalam proses jual beli antara lain :
1. Menentukan dan mendapatkan harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus disepakati oleh pembeli.
2. Penjual juga berhak mendapatkan proteksi aturan dari tindakan pembeli yang beritikad tidak baik, kemudian haknya untuk melaksanakan pembelaan diri sepatutnya dalam suatu penyelesaian sengketa yang dikarenakan barang yang dijualnya, dalam hal ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual., dan sebagainya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6, pelaku perjuangan dalam hal ini termasuk penjual mempunyai hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk mendapatkan pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai barter dan atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk menerima proteksi aturan dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melaksanakan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara aturan bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan kewajiban pembeli sebagai pihak dalam perjanjian jual beli. Kewajiban pembeli juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pembeli sebagai konsumen mempunyai kewajiban dalam proses jual beli sebagai berikut :
1. Membaca informasi dan mengikuti mekanisme atau petunjuk wacana penggunaan barang dan atau jasa yang dibelinya.
2. Beritikad baik dalam melaksanakan transaksi jual beli barang dan atau jasa tersebut.
3. Membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan berdasarkan perjanjian sesuai nilai tukar yang telah disepakati. Harga termaksud berupa sejumlah uang meskipun hal ini tidak ditegaskan dalam undang-undang, tetapi dianggap telah terkandung dalam pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1465 KUH Perdata, apabila pembayaran tersebut berupa barang, maka hal tersebut menggambarkan bahwa yang terjadi bukanlah suatu proses jual beli tapi tukar menukar, atau pembayaran yang dimaksud berupa jasa berarti mencerminkan perjanjian kerja. Pada dasarnya harga dalam suatu perjanjian jual beli ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun pada kenyataannya ada juga harga dalam jual beli yang ditentukan oleh pihak ketiga, dengan demikian, hal tersebut dianggap sebagai perjanjian jual beli dengan syarat tangguh, yang mana perjanjian dianggap ada pada dikala pihak ketiga menentukan harga termaksud. Berdasarkan Pasal 1465 KUH Perdata, segala biaya untuk menciptakan sertifikat jual beli dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh pembeli, kecual diperjanjikan sebaliknya. Selain harga pembayaran dalam suatu proses jual beli diatur pula mengenai waktu dan tempat dilakukannya pembayaran, biasanya pembayaran dilakukan di tempat dan pada dikala diserahkannya barang yang diperjual belikan atau pada dikala levering, sebagaimana diatur dalam Pasal 1514 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa apabila pada dikala perjanjian jual beli dibentuk tidak ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang.
4. Biaya akta-akta jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh pembeli.
5. Mengikuti upaya penyelesaian aturan secara patut apabila timbul sengketa dari proses jual beli termaksud.
Selain kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang dianggap sebagai konsumen juga mempunyai hak dalam proses jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
2. Hak untuk menentukan serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. Hak untuk mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan terang mengenai barang dan atau jasa yang diperjualbelikan
4. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif
5. Hak untuk didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang dibelinya.
6. Hak untuk mendapatkan proteksi aturan secara patut apabila dari proses jual beli tersebut timbul sengketa.
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dengan demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli sebagai para pihak dalam perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar dan lancar, apabila para pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun tetap ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap ditaati.


Menulis Surat Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli dibentuk untuk mengawali suatu transaksi dagang. Objek yang diperdagangkan sanggup berupa barang bergerak (mobil, sepeda motor, hewan) dan barang tidak bergerak (rumah, tanah). Dalam perjanjian tersebut kedua belah pihak telah bersepakat baik secara tulis maupun verbal wacana hak dan kewajiban masing-masing. Pihak pertama (penjual) berkewajiban menyerahkan suatu barang, sedangkan pihak kedua (pembeli) berkewajiban membayar sejumlah uang sesuai dengan harga barang tersebut.
Perjanjian jual beli sanggup berlangsung apabila jenis barang dan harga barang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian jual beli yang telah dibentuk mengikat kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum, sekalipun tidak dilengkapi dengan ketentuan lain mengenai waktu dan tempat penyerahan, cara penyerahan, dan cara pembayaran dan sebagainya.
Surat perjanjian jual beli akan berpengaruh kedudukannya apabila dalam pembuatannya disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang lain ibarat lurah atau camat. Apabila perjenajian tersebut tidak disahkan oleh notaris atau lurah, disebut dengan perjanjian dibawah tangan. Apabila dalam perjanjian tersebut salah satu pihak merasa dirugikan, maka pihak yang merasa dirugikan sanggup mengajukan protes atau klaim.
Cara menyusun Surat Perjanjian Jual Beli
a. Tulislah Judul : PERJANJIAN JUAL BELI TANAH/RUMAH
b. Cantumkan nama, alamat, pekerjaan, pihak-pihak yang menciptakan perjanjian jual beli tersebut. Penjual disebut dengan Pihak I (kesatu) dan pembeli disebut Pihak II (kedua).
c. Segala macam keterangan mengenai barang yang dijual, hak dan kewajiban pembeli/penjual ditetapkan oleh kedua belah pihak dan diuraikan dengan menjadi pasal 1 dan pasal 2.
d. Pasal 3 menyebutkan besarnya harga jual barang tersebut.
e. Pasal 4 mengambarkan waktu/saat penyerahan barang yang dijual oleh pihak penjual kepada pembeli.
f. Pasal 5 mengambarkan kewajiban pembeli terhadap barang yang dijual diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
g. Pasal 6 mengambarkan kewajiban penjual terhadap barang yang dijual
h. Pasal 7 penjual mengambarkan kepada pembeli bahwa barang yang dijual tidak dalam jaminan bank (hipotik) atau dibebani lain-lain.
i. Pasal 8 mengambarkan pihak yang akan menanggung segala ongkos yang bertalian dengan jual beli ini, contohnya bea balik nama, bea materai, apakah akan ditangung penjual atau pembeli.
j. Pasal 9 mengambarkan bahwa bila terjadi perselisihan, kebijaksanaan yang bagaimana yang akan diambil kedua belah pihak.

k. Surat perjanjian ini dibentuk beberapa rangkap sebanyak orang yang turut membubuhkan tanda tangannya dalam perjanjian itu.
Contoh
SURAT PERJANJIAN JUAL BELI TANAH & BANGUNAN
Pada hari ini, Kamis tanggal delapan April 2004 , kami yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Soewartini
Umur : 58 Tahun
Alamat : Jl.Margo Utomo No.20 Pasuruan
Selaku penjual, yang selanjutnya disebut Pihak Pertama ( I )
Nama : Djumiati
Umur : 54 tahun
Alamat : Desa Gayaman Pasuruan
Selaku pembeli yang selanjutnya, disebut Pihak Kedua ( II )
Telah sepakat untuk mengadakan perjanjian jual beli Tanah dan Bangunan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Pasal 1
Pihak I menjual tanah berserta bangunannya kepada pihak II yaitu rumah belakang dengan luas bangunan 10 meter persegi yang beralamatkan di Jl. Margo Utomo 32 Pasuruan,. Adapun mengenai batas-batas bangunan tersebut:
  • Sebelah utara batas tembok kepunyaannya pihak I ( Ibu Soewartini )
  • Sebelah barat batas tembok kepunyaanya Bapak.Syamsul,
  • Dan apabila Pihak ke II akan membangun kembali ( renovasi ) bangunan batas rumah maka pihak ke II harus menciptakan tembok pembatas sendiri, biar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.
Pasal 2

Mengenai rumah yang telah dibeli oleh II hanya ada air sumur & Pompa Air. Adapun air PDAM & listrik sementara masih menyalur dari pihak I, dan selanjutnya Pihak II akan memasang sendiri.



Pasal 3
Pihak I dan Pihak II menyepakati harga tanah dan bangunan sebesar Rp. 31.000.000,- ( Tiga Puluh Satu Juta Rupiah)
Pasal 4
Pihak I akan menyerahkan tanah dan bangunan pada dikala Pihak II telah membayar secara tunai harga tanah dan bangunan serta menandatangani surat perjanjian ini
Pasal 5

Pihak I akan segera mengosongkan rumah dan bangunan tersebut selambat-lambatnya tiga hari sehabis surat perjanjian ini ditandatangani, sehingga Pihak II sanggup menempati rumah dan bangunan tersebut.
Pasal 6

Adapun untuk memperoleh sertifikat atas nama pihak II, akan diurus bersama –sama dari biaya mulai kepengurusan hingga selesai ditanggung oleh pihak I & pihak II.

Pasal 7

Jika dalam perjanjian ini timbul suatu problem maka akan diselesaikan secara musyawarah/kekeluargaan, bila musyawarah tersebut mengalami kegagalan maka akan diselesaikan secara hukum.

Demikian surat perjanjian jual beli ini dibentuk atas kesepakatan Pihak Pertama dan Pihak Kedua, tanpa adanya unsur paksaan didalamnya dan akan dipatuhi bersama. Perjanjian ini dibentuk rangkap 2 (dua), dua-duanya bermeterai cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, masing-masing mempunyai kekuatan aturan yang sama
Pasuruan, ……….. April 2004





PIHAK I PIHAK II
Ibu Soewartini Ibu. Djumiati
Para Saksi :
1. Dedy Suherman Tanda Tangan ………………………..
2. Ibu Temu Tanda Tangan …………………………


Mengetahui,
Kepala Kelurahan Kebonagung
Kecamatan Purworejo
(bisa juga Camat/Notaris)

0%'>D�d#e ��Xsyaratkan, bahwa model kolonialisme yang dikembangkan sekarang ialah asimetris (non militer). Lazimnya tumpuan asimetris, diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya, sketsa merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi.
Contohnya ialah Arab Spring atau “Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema gerakan” melalui kekuatan massa sehabis opini publik terbentuk via isu-isu (korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media, facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) yaitu penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah tumpuan kolonialisme dari model asimetris absurd yang mulai terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan alasannya yaitu indikasinya sama dengan tumpuan Arab Spring. Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya. Kemudian bila membandingkan bintang film atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab Spring di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada forum donatur internasional atau mempunyai link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan, atau keburu ketahuan?
Contoh lain perkara rumor flu burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, lantaran tema yang akan diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka sketsa yang menjadi tujuan pokok yaitu impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa sketsa kolonialis yang tengah disiapkan via isu flu burung yaitu “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian pula untuk bidang pangan lainnya ibarat beras, ikan, singkong, kedelai, gula, garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” ibarat tidak mempunyai kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada, konkret dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry Kissinger (1970), “Control oil and you control the nations, control food and you control the people” (Kontrolah minyak kau akan mengontrol negara, kontrol pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika menggelitik pun timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan pangannya melalui sketsa jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh tanggapan biar artikel ini sanggup diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi ialah aba-aba Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi usang hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi gres merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di atas, mencermati konflik antara Tentara Nasional Indonesia versus Polisi Republik Indonesia di Ogan Komering Ulu (OKU) dari perspektif politik global, sesungguhnya perkara tersebut hanyalah tema belaka. Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa konflik antar abdnegara di OKU diprakirakan merupakan sketsa pelemahan bangsa via pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan berkiprah.
Tak sanggup dipungkiri, TNI-Polri yaitu organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara aneka macam elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, alasannya yaitu keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak sanggup tidak, TNI-Polri itu benteng terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi pasti bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika politik menjelang 2014 kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa bagi kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit dan partai politik dibentuk sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para cowok dan mahasiswa diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media mainstream mempunyai bantuan luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi pada bangsa ini, lantaran media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap gempita wacana isu-isu, tema, kemudian ke isu lagi, kemudian ke tema lagi, demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif, biar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap sketsa gerakan asing, yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar Tentara Nasional Indonesia versus Polri.[4]




[1] http://dhaniasashari.blogspot.com/
[2] http://www.merdeka.com/khas/mencari-akar-masalah-konflik-tentara-polisi-kolom-selasa.html
[3] http://myzone.okezone.com/content/read/2013/03/28/9880/
[4] http://catatanmap.wordpress.com/2013/03/11/konflik-tni-versus-polri-skema-pelemahan-nkri-dari-sisi-internal/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel