Ilmu Agama Dalam Perspektif Al-Ghazali
Pendahuluan
Wawasan Pendidikan,- Fenomena berkembangnya ilmu pengetahuan secara sendiri (otonom) dan terbebas dari agama dan social menandai periode ke-20 terutama sehabis perang dunia II. Akibatnya sering kali perencanaan yang dihasilkan ilmu pengetahuan bertabrakan dengan nilai-nilai religius mirip yang terjadi di Barat.[1]
Dewasa ini, kita sudah terbiasa dengan sebutan ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama lebih berorientasi dan berbasiskan pada wahyu, hadits Nabi, budi budi dan fakata sejarah sudah berkembang demikian pesat. Selanjutnya ilmu umum yang lebih berbasis pada budi budi budi dan data empirik juga berkembanglebih pesat. Antara keduanya seakan terdapat pemisahan wilayah dan seharusnya berjalan sendiri-sendiri.
Hal yang fundamental yaitu pemahaman dan evaluasi terhadap ilmu dan agama. Dalam pandangan Islam, ilmu mempunyai posisi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan kalau dalam nash-nash al-Qur’an ditemukan ajuan untuk menuntut ilmu. Bahkan ayat pertama kali yang diturunkan kepada Muhammad pun yaitu ajuan untuk membaca dan belajar. Begitu juga agama, agama yang lebih dipahami sebagai suatu bentuk tingkah laris demi pendekatan diri kepada Tuhan juga tidak kalah penting.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang menentang adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Bagi al-Ghazali, kedua mirip mata rantai yang saling bekerjasama dan tidak sanggup dipisahkan bahkan berjalan sendiri-sdendiri. Al-Ghazali sangat getol dalam penentangannya akan dikotomi ilmu dan agama. Argumentasi-argumentasi yang dipaparkannya pun menjajjikan bahkan ia juga menyampaikan penggambaran yang positif akan hubungan keduanya.
Yang menjadi persoalaan yaitu dikotomi antara ilmu dan agama telah menjadikan adanya dikotomi antara ilmu umu dan ilmu agama. beberapa golongan merasa bahwa islam yaitu sumber segalanya, ilmu-ilmu umum yang notabene berasal dari non Islam tidak patut untuk mendapat apresiasi. Sebaliknya sebagian dari mereka juga ada yang beranggapan bahwa ilmu yaitu sentra kebenaran. Dengan ilmu seseorang akan hidup senang dimanapun berada khususnya di dunia ini.
Untuk menjawab dilema diatas, penulis mencoba untuk memahami dan mendalami pandangan al-Ghazali terhadap hubungan ilmu dan agama. apakah dikotomi antara keduanya terdapat dalam pandangannya ataupin sebaliknya.
Sekilas ilmu dan agama
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa inggris scince. Kata saince ini berasal dari kata latin scientia yang berarti pengetahuan. Kata secientia ini berasal dari bentuk kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk kepada pengetahuan semata-mata, pengetahuan mengenai apa saja. Pada pertimbangan selanjutnya, pengertian ilmu (science) ini mengalami ekspansi arti sehingga menunjuk kepada segenap pengetahuan sistematis (systemstic knowledge).[2]
Etimologi makna ilmu mempunyai dua arti, pertama, makna denotatif ilmu yang merujuk kepada pengetahuan, badan pengetahuan yang terorganisir (the organized body of knowledge), studi sistematis (systematical stadies), dan pengetahuan teoritis (theoretical knowledge). Dengan demikian, makna denotatif ilmu mengcu pada lingkup pengertian yang sangat luas baik itu pengetahuan yang dimiliki oleh semua insan maupun pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan dikembangkan melalui mekanisme tertentu. Kedua, makna konotasi ilmu yang merujuk kepada serangkaian aktifitas insan yang manusiawi (human), bertujuan (purposeful), dan bekerjasama dengan kesadaran (cognitive).[3]
Pada dasarnya, ilmu dikembangkan untuk mencapai kebenaran atau memperoleh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar akan membawa insan memperoleh pemahamn yang benar perihal alam semesta, dunia sekelilingnya, masyarakat, lingkungannya bahkan dirinya sendiri.
Untuk mencapai kebenaran terdapat cara atau jalan tertentu yang digunakan dalam dunia ilmu yang selanjutnya disebut metode. Metode yang digunakan yaitu metode ilmiah yaitu cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu untuk mendapat kebenaran melalui cara yang ilmiah. Francis Bacon mengemukakan empat sendi untuk menyusun ilmu, yaitu : observasi (pengamatan), measuring (pengukuran), expalining (penjelasan), verifying (pengujian).[4]
Ciri-ciri yang terkandung dalam pengertian ilmu pengetahuan sanggup diuji untuk lebih memahami sifat dcinamis pada ilmu pengetahuan. Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan yaitu suatu bentuk aktifitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu tidak hanya merupakan aktifitas tunggal saja, tetapi suatu rangkaian aktifitas sehingga merupakan proses. Proses dalam rangkaian aktifitas ini bersifat intelektual dan mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu. Aktifitas intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berfikir untuk melaksanakan budi budi logis atau hasil-hasil pengalaman empiris.
Dalam aktifitas insan khususnya aktifitas intelektual, seseorang akan menemukan sesuatu yang gres yang belum didapatkan sebelumnya maupun mendapat pengembangan dari suatu pengetahuan. Hasil aktifitas tersebut, merupakan suatu produk yang kemudian menjadi ciri yang kedua dari ilmu.
Kedua ciri dasar ilmu, yaitu wujud aktifitas insan dan hasil aktifitas tersebut, merupakan sisi yang tidak terlepaskan dari ciri ketiga yang dimiliki oleh ilmu yaitu sebagai metode. Metode merupakan suatu mekanisme yang meliputi aneka macam tindakan pikiran, rujukan kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan gres atau berbagi pengetahuan yang telah ada.
Tujuan-tujuan terpenting ilmu bertalian dengan apa yang telah dicirikan sebagai fungsi pengetahuan atau kognitif dari ilmu. Dengan fungsi itu ilmu memusatakan perhatian terkuat pada pemahaman-pemahaman kaidah ilmiah yang gres dan tidak diketahui sebelumnya pada penyempurnaan keadaan pengetahuan sampaumur ini mengenai kaidah-kaidah semacam itu.
Setiap ilmu (sciencea) ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu, yaitu objek material dan objek formal. Objek material ( obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau materi yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Objek formal ( obeictum formale, formal object) ialah objek material yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu satu dengan ilmu yang lainnya, kalau berobyek materi sama.
Berbicara mengenai agama, kita sanggup mendefinisikan kata agama dengan meneliti dan memahami suatu agama tertentu. Tentu pandangan dan evaluasi terhadap suatu agama akan menghipnotis definisi yang didapatkan. Banyaknya definisi itu diakibatkan oleh banyaknya agama itu pula. Dalam menyelidiki agama, terdapat kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kenyataan bahwa dalam tiap-tiap agama terdapat beberapa paradox (pertentangan) atau hal-hal yang kelihatan bertentangan mempersulit peneliti dalam menciptakan konklusi pemahaman sebuah agama.[5]
Pada dasarnya semua agama yang ada di muka bumi mengandung unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Unsur terpenting dalam suatu agama yaitu adanya keyakinan dan upacara-upacara yang khas yang terdapat di dalam agama tersebut. Brightman menyampaikan suatu definisi deskriptif perihal agama dengan ungkapannya sebagai berikut :
“Agama yaitu suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tertinggi. Pengabdian kepada suatu penguasaan yang dipercayai menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini, dan sejumlah ungkapan yang sesuai perihal urusan dan dedikasi tersebut, baik dengan jalan melaksanakan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain yang bersifat perseorangan dan yang bersifat kemasyarakatan.”[6]
Hubungan ilmu dan agama berdasarkan al-Ghazali
Imam al-Ghazali[7] merupakan salah satu tokoh agama yang sangat populer dikalangan orang islam. Selain tokah agama, ia juga populer jago dalam aneka macam ilmu. Baik ilmu tasawuf, filsafat dan logika. Kemampuannya dalam membungkus keilmuannya dengan syari’at agama menjadikannya mendapat gelar terhormat hujjayul islam. Dengan aneka macam kemampuan dan keilmuannya, ia menuangkan pedoman dan pandangannya berbentuk karya-karya diberbagai cabang keilmuan. Dalam dunia tasawuf, terdapat salah satu karya monumentalnya yang kini dijadikan rujukan dan dikaji di berbaga studi keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’ Ulumuddin itu telah dicetak beberapa kali. Dalam bidang ushul fiqih, ia menulis buku yang diberi judul Al-Mustashfa. Tidak hanya berhenti pada cabang itu, dalam dunia filsafat pun ia menulis buku yang sangat populer dikalangan filsof muslim pada masa setehnya yaitu Tahafat al-Falasifah.
Sebelum kita membahas pandangan al-Ghazali mengenai hubungan ilmu dan agama, kita tidak bisa lepas dari pandangannya mengenai ilmu. Dalam kitabnya Minhajul Abidin, Al-Ghazali menyampaikan ilmu yaitu imamnya amal dan amal yaitu makmumnya. Ilmu yaitu pemimpin dan pengamalan yaitu pengikutnya. Ilmu mirip permata yang harus digali dan terus dicari oleh semua orang.[8]
Dari segi akal, ilmu merupakan keutamaan yang harus dimiliki dan diraih oleh insan demi mendekatkan diri kepada tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan mengantarkannya menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di darul abadi kelak.
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu terpuji yaitu ilmu yang sanggup mengantarkan seseorang kepada kebenaran dan kebahagiaan di sisi tuhan. Ilmu fiqih, tauhid, dan ilmu agma-agama yang lainnya dikategorikan dalam kategori ini. Ilmu tercela adalah ilmu yang mengakibatkan aneka macam kerusakan baik kerusakan individual maupun kerusakan social. Sihir, manta, ramalan dan sebagainya masuk dalam kategori ini. Dalam mempelajari ilmu Astronomi (perbintangan), hendaklah dibatasi dengan pembahasan dan pendalaman dalam mencari suatu araha dan mencari kiblat. dalam ilmu kimia hendalaklah dibatasi dengan ilmu kedokteran secukupnya.[9]
Di sisi lain, al-Ghazali juga membagi ilmu menjadi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. ilmu fardhu ain yaitu ilmu yang sanggup menyelamatkan dari kebinasaan dan memperoleh derajat yang tinggi. Sementara ilmu-ilmu yang lebih dari itu yaitu fardhu kifayah buakan fardhu ain.[10]
Secara filosofis al-Ghazali membagi ilmu ke dalam ilmu syar’yah dan ilmu aqliyah. Oleh al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga ilmu ghairu syar’iyah. Ilmu nonfilosofis menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu relegius, alasannya yaitu dia menganggap ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang mempunyai syari’ah (hukum wahyu).[11]
Ilmu Syar’iyah meliputi dua ilmu penting. Pertama, ilmu perihal prinsip-prinsip dasar (al-Ushul). Dalam pembahasannya ilmu ini meliputi ilmu perihal keesaan Tuhan, kenabian, darul abadi atau eskatologis, al-Qur’an dan Hadits dan sebagainya. Kedua, ilmu perihal cabang-cabang (furu’). Dalam pembahasannya ilmu ini meliputi ilmu perihal kewajiban tuhan kepada tuhannya (ibadah), ilmu kewajiban insan terhadap masyarakat, ilmu kewajiban insan terhadap dirinya sendiri (akhlak).
Ilmu Aqliyah mencakup beberapa ilmu dan cabang-cabangnya. Seperti Matematika, aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi. Ilmu perihal wujud di luar alam atau metafisika, ontologi, logika, fisika dan sebagainya.
Tidak hanya berhenti pada pandangannya akan pembagian ilmu, al-Ghazali juga membagi ilmu-ilmu berdasarkan kadar kepentingannya. Kadar kepentingan dalam tingkatan ilmu diukur dari kedekatannya dengan akhirat. Seperti ilmu syariat lebih utama dari pada ilmu yang lainnya. Hal ini menurut Al-Ghazali, alasannya yaitu segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya.
Al-Ghazali bahkan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan yang sanggup digali dari al-Qur’an tidak sanggup dihitung. Al-Ghazali sangat gigih berupaya menjadikan al-Qur’an sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Ia mengklaim bahwa semua jenis ilmu pengetahuan sanggup digali dari al-Qur’an.[12]
Hubungan antara ilmu dan agama yaitu pandangan yang telah usang dikemukakan oleh para ulama, filosof dan teolog. Masalah ini telah diungkapkan dari sudut pandang yang berbeda-beda dalam teologi dan filsafat ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu.
Sebagai Hujjatul Islam, al-Ghazali tidak mentabukan adanya hubungan antara ilmu dan agama. Dalam kitabnya Mukhtashar ihya’Ulumuddin, ia berkata ”iman itu telanjang pakainnya yaitu takwa perhiasannya yaitu rasa aib dan buahnya yaitu ilmu.” Ilmu dan ibadah yaitu dua mata rantai yang saling terkait, intinya segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita pelajari yaitu hanya untuk ilmu dan ibadah.
Bagi al-Ghazali, ilmu dan agama sagat terikat dan keduanya tidak sanggup dipisahkan. Dalam mendiskripsikan hubungan keduanya, ia memakai logikanya dengan mencoba memahami sebuah pohon. Pada sebuah pohon, ilmu merupakan pohonnya dan agama merupakan buahnya. Maka kalau kita beragama dan beribadah sesuai tuntutannya tanpa dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Buah pun tidak akan sanggup diraih. Sebaliknya, dikala pohon itu hanya bisa memberi daun dan tidak bisa menghasilkan sebuah buah maka eksistensi pohon itu menjadi kurang sempurna.[13]
Menuju perilaku profesional
Sekelompok orang memperlihatkan pemisahan dalam wilayah kiprah dan fungsi ilmu dan agama; dengan makna bahwa kiprah ilmu sebagai media hipotesa, estimasi, dan kontrol; bukan penjelas; dan agama hanya sebagai pengatur dan penertib kehidupan individu dan masyarakat; bukan penjelas perkara-perkara realitas. Sebagian lagi menjelaskan pemisahan tujuan ilmu dan agama. Tujuan agama yaitu memberi hidayah dan memberi kebahagiaan pada manusia, sedangkan tujuan ilmu yaitu menunjukan hakikat-hakikat alam natural. Kelompok lainnya, mengungkapkan pemisahan bahasa agama dan bahasa ilmu serta bermaknanya proposisi-proposisi ilmu dan agama, atau pandangan tidak bermaknanya proposisi-proposisi agama lewat kaum positivisme, atau pemisahan fungsionalisme bahasa ilmu dan agama dari filosof analitik bahasa.
Pengklasifikasian ilmu menjadi ilmu yang terpuji dan yang tercela seakan mengisyaratkan adanya dikotomi antara ilmu dan agama.ketika dipahami sekilas hal itu seakan tidak bisa dipungkiri. Setelah diteliti dan dikaji secara mendalam, penulis sanggup memahami adanya pemahaman dan pandangan al-Ghazali akan hubungan antara ilmu dan agama. Suatu ilmu selalu diukur dan dihubungkan oleh al-Ghazali sesuai batas agama. Ilmu sanggup dikatakan terpuji kalau dengan ilmu itu seseorang sanggup lebih mendekatkan andiri kepada tuhan. Hal ini juga tidak mendikotomikan ilmu agama dan ilmu umum. Seseorang sanggup mendekatkan diri kepada tuhan sesuai ilmu yang dimiliki.
Al-Ghazali memandang bahwa hubungan dan keseimbangan antara ilmu dan agama sangatlah penting. Berlandaskan ilmu tanpa berpegang teguh dengan agama seseorang akan rusak. Tidak sanggup dibayangkan kalau seseorang menciptakan dan meletuskan bom dengan alasan perecobaaan ilmiyah tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya agama tidak pernah melarang dan membatasi insan untuk mendapat ilmu ataupun inovasi baru. Sangatlah disayangkan kalau ada seseorang tidak beralaskan ilmu dalam peraktek keagamaan.
Bagi al-Ghazali ilmu dan agama lebih bersifat aplikatif-implementatif bukan teoretis-teologis. Perhatian insan hendaknya dipusatkan untuk mendalami dan mengaplikasikan keduanya. Jika keduanya sudah terealisasikan dan saling berjabat tangan maka kikta akan menjadi berpengaruh dan berhasil. Ringkasnya, dengan memadukan ilmu dan agama perjalanan dan usaha kehidupan ini akan hingga pada kekuatan yang kokoh dan menumbuhkan sifat profesional yang tinggi.[14]
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, sanggup disimpulkan bahwa ilmu dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan berjalan sendiri-sediri. Dikotomi antara keduanya akan menimbulkan pedoman dan pemahaman yang salah. Islam sendiri tidak tidak pernah membatasi dan membagi ilmu untuk dipelajari. Ilmu dan agama merupakan dua kesatuan penting yang sanggup memperlihatkan insan menuju jalan yang benar.
Iman itu telanjang pakainnya yaitu takwa perhiasannya yaitu rasa aib dan buahnya yaitu ilmu. Itulah citra al-Ghazali akan hubungan antara ilmu dan agama. dikesempatan lain, al-Ghazali juga beropini bahwa ilmu yang tidak berlandaskan agama akan membawa insan menuju jalan yang sesat. Begitu juga agama, seseorang beragama tanpa dibekali ilmu yang mapan akan menghasilkan kesiasiaan dan penyesalan.
Bagi al-Ghazali, ilmu dan agama harus digandengkan dan berjalan bersamaan dalam diri manusia. Keduanya akan mengantarkan kepada perilaku dan prilaku yang professional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali.Minhajul Abidin. trj. Abd. Hiyadh surabaya : Mutiara Ilmu. 1995.
Al-Ghazali. Mukhtashar Ihya’ Ulumiuddin . Bairut : Muassasah al-Kutub as-Tsaqafiah. 1990. trj. Irwan Kurniawan . Bandung : Mizan. 1997).
Bakhtiar, Amtsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers. 2004.
Nata, Abuddin,(dkk). IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: Rajawali pers. 2005.
Sibawaihi. Eskatologi al-Ghazali dan Fadzlur Rahman. Yogyakarta : Islamika.
Siswomiharjo, Koentowisbono. (dkk). Filsafat Ilmu., Yogyakarta : LP3 UGM, 1997.
[1] Abuddin Nata, (dkk), IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: Rajawali pers, 2005), hlm.114
[2] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : LP3 UGM, 1997), hlm.64
[3] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat…hlm. 70
[4] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat…hlm.55
[5] Rasidji, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hlm. 12.
[6] Louis O. Kattsoff, Elements of Philoshopy, (New York : tp, tt). Terj Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), hlm. 435-436.
[7] Nama lengkapnya yaitu Zainudin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi an-Naysaburi. Ia lahir di kota Thus yang merupakan kota kedua di khurasan sehabis Naysabur.
[8] Lihat : Minhajul Abidin, trj. Abd. Hiyadh ( surabaya : Mutiara Ilmu, 1995) hlm.16
[9] al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumiuddin ( Bairut : Muassasah al-Kutub as-Tsaqafiah, 1990) trj. Irwan Kurniawan ( Bandung : Mizan, 1997), hlm. 32
[10] al-Ghazali, Mukhtashar…, hlm.26.
[11] Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2004 ), hlm. 123.
[12] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fadzlur Rahman (Yogyakarta : Islamika, 2004), hlm. 169.
[13] Lihat : Minhajul Abidin, trj hlm. 17
[14] al-Ghazali, Mukhtashar…, hlm. 29.
Sumber: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. dan wawasanpendidikan