Makalah Aturan Nikah Jarak Jauh

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari banyak sekali madzhab yang dirangkum dan diadaptasi dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar aturan mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut dibutuhkan sanggup menjadi pijakan aturan bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal gres yang bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.

Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul bencana menarik dalam hal pelaksanaan ijab kabul yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang menilik kasus tersebut lantaran dikhawatirkan menjadikan preseden yang tidak baik.

Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek ijab kabul tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan kemudahan video teleconference. Teknologi video teleconference lebih mutakhir dari telepon, lantaran selain memberikan suara, teknologi ini sanggup menampilkan gambar atau gambaran secara realtime melalui jaringan internet. Hal ini mirip yang dipraktekkan oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan kesepakatan nikah, sang mempelai laki-laki sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai perempuan berada di Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak sanggup melaksanakan ijab kabul jarak jauh berkat layanan video teleconference dari Indosat.

Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka melangsungkan ijab kabul mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika ijab kabul dilangsungkan.

Fenomena mirip ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para pakar aturan keluarga Islam di Indonesia. Oleh alasannya praktik ijab kabul jarak jauh dengan menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman sebelumnya. Praktek ijab kabul pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti pelaku kesepakatan apabila pihak pelaku kesepakatan (baik wali maupun mempelai pria) berhalangan untuk melakukannya. Oleh lantaran itu, penulis juga tertarik untuk memaparkan wacana fenomena nikah jarak jauh tersebut.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang problem yang telah dipaparkan pada pecahan sebelumnya, penulis mengajukan beberapa problem sebagai berikut:
  1. Bagaimana aturan ijab kabul melalui telepon?
  2. Apa dasar-dasar yang digunakan dalam memilih aturan ijab kabul melalui telepon?
  3. Bagaimana metode ijtihad dalam memilih aturan ijab kabul melalui telepon?

1.3. Ruang Lingkup
Dalam makalah ini, penulis membatasi problem yang akan dibahas pada bahan kuliah Agama. Pembahasan lebih dikhususkan pada problem pernikahan jarak jauh.

1.4. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan kiprah ini yakni untuk memenuhi dan melengkapi salah satu kiprah mata kuliah Agama di Bina Sarana Informatika. Sedangkan tujuan dari penulisan kiprah ini adalah:
  1. Mengembangkan kreativitas dan wawasan penulis.
  2. Memberikan uraian wacana analisa aturan Islam terhadap pernikahan jarak jauh.
  3. Menelaah lebih lanjut mengenai aturan nikah jarak jauh.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Umum
Nikah atau perkawinan ialah kesepakatan yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yakni ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan awet berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.

Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya Alkitab dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya) untuk mencari keridhoan Allah, kemudian mereka tidak memeliharanya dengan pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“ Rahbaniyah yakni tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Rosulullah saw. bersabda, “Sedangkan saya shalat, saya tidur, saya puasa, saya berbuka, saya menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)

Anjuran untuk menikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berpikir.“
2.1.1. Hukum Nikah
Hukum nikah ada 4, yaitu:
1. Jaiz yakni boleh (merupakan dasar dari aturan nikah).
2. Sunnah yakni bagi orang yang berkehendak dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggantikan kependetaan itu dengan agama yang lurus dan lapang.“
Abu Abbas berkata, “Tidak tercapai kesempurnaan orang beribadah sebelum ia kawin terlebih dahulu.“
3. Wajib yakni bagi orang yang cukup memiliki nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4. Makruh yakni bagi orang  yang tidak bisa memberi nafkah, namun sudah punya hasrat menikah yang kuat.

2.1.2. Tujuan Nikah
Tujuan menikah yakni :
1. Mengikuti Sunnah Rosul
Sabda Nabi saw. yang artinya “Ada empat macam di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai, menggunakan wangi-wangian, menggosok gigi dan menikah.“
2. Membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah (bahagia lahir dan batin) yang sanggup terbina apabila masing-masing anggota keluarga melaksanakan fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar Rum ayat 21 dan dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974.
3. Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang diridhoi Allah swt.
4. Untuk memperoleh keturunan yang sah.

2.1.3. Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya. Rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Sighat kesepakatan (ijab qabul)
4. Wali mempelai perempuan
Sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahan itu batal (tidak sah).“ (HR. Empat orang andal hadist kecuali Nasa’i).
5. Dua orang saksi
Sabda Rosulullah saw. yang artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan dua orang saksi yang adil.“

2.1.4. Akad Nikah
Ketika taaruf antara ikhwan dan akhwat sudah semua disepakati, maka disunahkan untuk segera mengkhitbahnya, dan segera dilangsungkan ijab kabul untuk menghindari fitnah. Perlu kita ketahui bahwa dalam ijab kabul hal-hal yang disyariatkan dan wajib ada yakni :
1. Adanya suka sama suka antara kedua calon mempelai 
2. Adanya Wali
3. Adanya Saksi
4. Adanya Mahar
5. Adanya Ijab Qabul 
Dan berdasarkan sunnah, sebelum ijab kabul dimulai, terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun nikah”. 
Suka sama suka antara kedua calon mempelai yakni sebuah keharusan, lantaran mereka berdua yang akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara keduanya. Maka taaruf sebelum pernikahan dan melihat calon sebelum pernikahan sangat dianjurkan.

Wali sebagaimana kita tahu yakni ayah dari calon mempelai perempuan yang seagama, kalau tidak ada maka bisa digantikan oleh abang tertua yang laki-laki, atau kalau memang sudah tidak ada sama sekali orang yang bisa dijadikan wali, maka diambilah wali hakim Wali hakim yakni wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dengan syarat sudah tidak ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi calon mempelai wanita.

Saksi berfungsi sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang mencurigai perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak. Syarat sebagai saksi nikah yakni laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara eksklusif kesepakatan nikah, menandatangani sertifikat nikah pada waktu dan daerah ijab kabul dilangsungkan.
Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh.
Dalam problem mahar, wajib hukumnya seorang lelaki memuliakan perempuan dan memperlihatkan sesuatu yang paling cantik berdasarkan kemampuannya, dan bagi perempuan boleh meminta mahar kepada calon yang akan menikahinya, namun lebih baik kalau mahar yang diminta itu yang gampang di sanggup dan tidak memberatkan calon suaminya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita yang paling agung barakahnya, yakni yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih).

Namun kalau calon suami ingin memberi lebih kepada calon istrinya, itu tidak menjadi masalah, asal ia rela dan tulus dengan pemberian tersebut, mirip yang tertulis dalam Al Qur’an.

“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kau nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab yakni ungkapan pertama kali yang diucapkan wali perempuan dan Qobul yakni ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang tujuannya diketahui untuk menikah. Hasil dari ijab kabul ini kemudian dicatat oleh penghulu (KUA) untuk dicatatkan dalam info kegiatan pernikahan dan masing-masing akan diberikan buku nikah suami dan istri.

2.2. Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan gres dalam soal perkawinan yaitu wacana sahnya ijab kabul yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada pola kasus yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan ijab kabul yang dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan lantaran rukun nikah sudah terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil yaitu ijab kabul dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan ijab kabul ulang.

Menentukan sah atau tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon sanggup memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, kalau dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, sepertinya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya kendala untuk kawin (baik lantaran adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan problem ini lewat telepon sebelum ijab kabul yakni cukup sukar. Demikian pula pengecekan wacana identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul eksklusif dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan pinjaman mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di daerah yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan mirip antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.

Oleh lantaran itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan berdasarkan Hukum Islam, lantaran selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :

1. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh lantaran itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum: 
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam problem ibadah, insan dihentikan membuat-buat (merekayasa aturan sendiri). 

2. Nikah merupakan bencana yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan kesepakatan yang mengandung sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21.
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kau Perjanjian yang kuat.”

3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar atau khida’), dan sanggup pula menjadikan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.

لا ضرر ولا ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”

Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang mencurigai engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak mencurigai engkau.”

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas perjuangan menarik (mencari) maslahah”

Peristiwa ijab kabul lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi ijab kabul jarak jauh Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas mencar ilmu di kegiatan Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan calon istri yakni Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah usang berkenalan semenjak sama-sama mencar ilmu dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah menerima restu dari orang renta kedua belah pihak.

Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya biar tidak terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) biar diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam ijab kabul (ijab qobul) nantinya di Jakarta. 

Setelah waktu pelaksanaan ijab kabul tinggal sehari belum juga tiba surat taukil itu, padahal surat seruan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara ijab kabul pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras bunyi (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras bunyi itu dimaksudkan biar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di daerah kediaman calon suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara ijab kabul dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua daerah yang terpisah jauh itu sanggup mendengarkan dengan terang pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya ijab kabul pada hari itu.

Setelah ijab kabul dilangsungkan lewat telepon, tetapi lantaran surat taukil dari calon suami belum juga tiba pada ketika ijab kabul dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memperlihatkan surat nikah, lantaran menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.

Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka sanggup membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memperlihatkan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menjadikan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara tepat berdasarkan aturan Islam.

Ada ulama yang beropini bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua insan yang berlainan jenis kelaminnya itu melaksanakan kekerabatan sek s ual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.

Proses pernikahan dalam Islam memiliki aturan-aturan yang ketat. Sebuah kesepakatan pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya yakni ijab dan qabul,  sedang syaratnya yakni ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan terang dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh lantaran itu calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di daerah untuk menyaksikan kesepakatan pernikahan.

Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam kesepakatan nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menimbulkan kesepakatan pernikahan tersebut menjadi tidak sah.

Seandainya ia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam kesepakatan ini, tetap saja kesepakatan pernikahan tidak sah lantaran kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum tentu bunyi calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa kesepakatan pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.

Dalam syariat Islam, ijab kabul tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang perempuan dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada ijab kabul kalau tidak melibatkan keduanya bersama.

Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan
pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya
boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.

Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' eksklusif dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar gambaran yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang perempuan yakni barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menuntaskan kesepakatan dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
 
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan, sanggup  penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
  1. Nikah lewat telepon dihentikan dan tidak sah, lantaran bertentangan dengan ketentuan aturan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
  2. Penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang jelek bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, lantaran melawan arus dan berlawanan dengan pendapat dominan dari dunia Islam.
  3. Penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .

3.2. Saran
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel