Hukum Waris Beda Agama

HUKUM WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.    Pendahuluan
Hukum kewarisan islam intinya berlaku untuk umat islam dimana saja di dunia ini. Corak suatu negara islam dan kehidupan masyarakat di negara atau tempat tersebut memberi imbas atas aturan pewarisan di tempat itu. Dasar pokok dari semuanya ialah aturan kewarisan islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, kemudian diterapkan pada masyarakat indonesia.
Hukum waris Islam juga merupakan lisan penting bagi aturan keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki insan sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari aturan waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki insan yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim semenjak masa awal Islam sampai masa pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Hukum kewarisan dalam islam menerima perhatian besar lantaran pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh pewarisnya. Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa dikalangan jago waris mengenai harta peninggalannya. Hal ibarat ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang memungkinkan terjadinya sengketa waris ialah perbedaan agama antara pemilik harta dan peserta harta dalam keluarga.
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari duduk kasus kontemporer dalam pemikiran aturan Islam kontemporer. Di satu sisi, Al-Qur’an tidak menjelaskan perihal kepingan jago waris untuk non muslim, sedangkan hadits juga tidak memperlihatkan klarifikasi sedikitpun kepingan harta bagi jago waris non muslim, namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya.
Seiring dengan berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi dalam aturan kewarisan beda agama ini semakin marak. Salah satu faktor penyebabnya ialah ketidak-setujuan jago waris (non-muslim) terhadap pembagian harta yang dinilai tidak adil. Atas pertimbangan masalah inilah maka Mahkamah Agung terdorong untuk mengeluarkan putusan-putusan gres dalam aturan kewarisan beda agama. Namun, putusan Mahkamah Agung disini dinilai tidak sesuai dengan apa yang ada dalam aturan islam perihal kewarisan beda agama.
Selanjunnya dalam makalah ini, pemakalah akan membahas mengenai aturan kewarisan beda agama serta putusan-putusan Mahkamah Agung terkait dengan aturan kewarisan beda agama.
B.     Pengertian Waris
Secara bahasa kata waris berasal dari bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya ialah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada jago warisnya.[1]
Sedangkan secara terminologi, mirats berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada jago warisnya. Mirats (waris) berdasarkan syari’ah ialah member undang-undang sebagai pedoman antara orang yang meninggal dunia dan jago waris, dan apa saja yang berkaitan dengan jago waris tersebut.[2]
Pengertian aturan waris berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 Ayat 1, yang dimaksud dengan Hukum Waris ialah aturan yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, memilih siapa-siapa yang berhak menjadi jago waris dan berapa kepingan masing-masing.[3]
Hukum waris berdasarkan KUH Perdata ialah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur perihal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban perihal kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[4]
Adapun pewarisan harta mencakup semua harta yang dimiliki berkaitan dengan harta kekayaan dan hak-hak lain yang tergantung kepadanya, contohnya utang piutang, hak ganti rugi. Ada pula beberapa kewajiban yang sanggup diwariskan, yang sanggup diwarisi di luar harta peninggalan. Apa yang ditinggalkan setelah kebutuhan terakhir orang yang meninggal yang harus diselesaikan oleh jago waris, yakni setelah pelunasan biaya pemakaman, wasiat dan utang piutang yang harus diselesaikan sesuai dengan aturan waris berdasarkan pedoman Al-Qur’an.[5]
C.    Rukun dan Syarat Waris
1.      Syarat-syarat waris ada 3 macam, yaitu :
a.       Meninggalnya orang yang mewariskan, baik meninggal berdasarkan hakikat maupun berdasarkan hukum.
b.      Ahli waris betul-betul masih hidup, dikala orang yang mewariskan meninggal dunia.
c.       Diketahui jahatnya dalam mewarisi, atau posisi peserta warisan diketahui dengan jelas.
2.      Rukun-rukun waris juga ada 3 macam, diantanya yaitu :
a.       Adanya orang yang mewariskan yaitu si pewaris itu sendiri, baik konkret maupun dinyatakan mati secara hukum, ibarat orang hilang dan dinyatakan mati, sehingga orang lain berhak mendapatkan warisan darinya apa saja yang ditinggalkan setelah matinya.
b.      Ada pewaris yaitu orang yang mempunyai relasi penyebab kewarisan dengan si pewaris, sehingga beliau memperoleh warisan. Misalnya relasi kekerabatan, pernasaban, perkawinan, dan sebagainya.
c.       Adanya harta yang diwariskan yang disebut juga peninggalan atau tirkah, yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.[6]
D.    Sebab-sebab mendapatkan waris
Hal-hal yang menimbulkan seseorang sanggup mewarisi terbagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Karena relasi kekerabatan atau relasi nasab
hubungan kekerabatan atau relasi nasab ibarat kedua orang tua, anak, cucu, saudara serta paman dan bibi. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Orang-orang yang mempunyai relasi kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.[7]
2.      Karena relasi pernikahan
Hubungan Pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya pernikahan yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami-istri yang melaksanakan pernikahan tidak sah tidak menimbulkan adanya hak waris.
3.      Karena Wala’
Wala’ ialah pewarisan lantaran jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak menerima warisan.[8]
E.     Yang Berhak Menerima Waris
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan atau harta warisan (mewarisi) orang yang meninggal disebut jago waris.[9] lantaran seseorang menjadi jago waris ialah lantaran relasi keluarga, pernikahan, maupun lantaran memerdekakan hamba sahaya (wala’).
Adapun yang berhak mendapatkan waris tersebut terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.      Ashabul Furudh
Ashabul furudh ialah para jago waris yang mempunyai kepingan tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Alqur’an), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi dalam radd atau ‘aul.[10]
2.      Ashabah
Ashabah ialah jago waris yang mendapatkan harta sisa setelah diambil oleh jago waris ashabul furudh. Ashabah terbagi menjadi tiga, yaitu : Ashabah bin Nafsi, Ashabah bil Ghairi dan Ashabah Ma’al Ghairi.[11]
3.      Dzawil Arham
Dzawil arham ialah Semua jago waris yang mempunyai relasi kekerabatan lantaran relasi darah dengan si mati. Dzawil arham dipakai untuk menunjuk jago waris yang tidak termasuk ke dalam jago waris ashabul furudh dan ashabah.[12]
F.     Waris Beda Agama
1.      Menurut Hukum Islam
Ada tiga yang menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda agama ialah apabila antara jago waris dan pewaris salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama Islam.
Apabila seseorang yang meninggal dunia dan mempunyai harta untuk dibagi kepada jago waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi pewarisan antara keduanya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya ialah Sabda Rasulullah Saw, yaitu :
ﻻ ﻴﺮﺙ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﻭﻻ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ (ﻤﺗﻔﻕ ﻋﻠﻴﻪ)
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)[13]
Dalam pandangan konsep fiqih konvensional seorang muslim tidak sanggup mewarisi harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak sanggup mewarisi harta seorang muslim.[14]
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama menyampaikan bahwa jago waris muslim tetap menerima harta warisan dari pewaris yang kafir. Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal ra, yang menyampaikan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi dihentikan mewariskan hartanya kepada orang kafir.
Sebagian ulama lainnya menyampaikan tidak sanggup mewariskan. Jumhur ulama termasuk yang beropini demikian ialah keempat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.[15]
Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau jago waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun aturan waris Islam tidak memperlihatkan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa santunan harta antar orang berbeda agama hanya sanggup dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005 perihal Kewarisan Beda Agama, yang memutuskan bahwa :
a.       Hukum Waris Islam tidak memperlihatkan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim).
b.      pemberian harta antar orang berbeda agama hanya sanggup dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.[16]
2.      Yurisprudensi Hakim (Putusan Mahkamah Agung)
Terdapat dua putusan Mahkamah Agung perihal status jago waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa jago waris non muslim mendapatkan kepingan dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar kepingan jago waris muslim, dalam putusan iniahli waris non demam isu tidak dinyatakan sebagai jago waris.
Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa jago waris non muslim dinyatakan sebagai jago waris dari pewaris muslim dan mendapatkan kepingan yang sama dengan jago waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa jago waris non muslim dianggap sebagai jago waris.
Dari dua putusan di atas sanggup ditarik suatu kesimpulan bahwa melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melaksanakan pembaharuan aturan waris Islam dari tidak memperlihatkan harta bagi jago waris non muslim menjadi memperlihatkan harta bagi jago waris non muslim, dan dari tidak mengakui jago waris non muslim sebagai jago waris dari pewaris muslim menuju legalisasi bahwa jago waris non muslim juga dianggap sebagai jago waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memperlihatkan status jago waris bagi jago waris non muslim dan memperlihatkan kepingan harta yang setara dengan jago waris muslim.
Dengan munculnya dua putusan tersebut terang Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c bahwa tidak memperlihatkan harta bagi jago waris non muslim dan tidak mengakui jago waris non muslim sebagai jago waris dari pewaris muslim.[17]
G.    Kesimpulan
Dari uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa seorang non muslim tidak sanggup mewarisi harta peninggalan orang muslim, hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw yaitu : Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 Huruf c juga disebutkan bahwa : yang berhak menjadi jago waris harus beragama Islam, sehingga dengan demikian apabila antara pewaris dengan jago waris tidak seagama, maka tidak saling mewaris atau bukan jago waris dari pewaris yang beragama Islam.
Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau jago waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun aturan waris Islam tidak memperlihatkan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa santunan harta antar orang berbeda agama hanya sanggup dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 perihal Kewarisan Beda Agama.
Sedangkan Mahkamah Agung RI telah memutuskan perihal status jago waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa jago waris non muslim mendapatkan kepingan dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar kepingan jago waris muslim. Dalam putusan ini, jago waris non demam isu tidak dinyatakan sebagai jago waris.
Sedang dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa jago waris non muslim dinyatakan sebagai jago waris dari pewaris muslim dan mendapatkan kepingan yang sama dengan jago waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa jago waris non muslim dianggap sebagai jago waris.
Dengan munculnya dua putusan tersebut terang Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c bahwa tidak memperlihatkan harta bagi jago waris non muslim dan tidak mengakui jago waris non muslim sebagai jago waris dari pewaris muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Digital
Haries, Akhmad. Hukum Kewarisan Islam, Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010.
Khairul Umam, Dian. Fiqih Mawaris Cet.1. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Rahman I. Doi, Abdur. Hudud dan Kewarisan, Cet.1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994.
Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UU aturan Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
www.hukumonline.com


[1] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris Cet.1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
[2] Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan, Cet.1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996)
[3] Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008)
[4] Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UU aturan Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
[5] Abdur Rahman I. Doi, Op. Cit.
[6] Dian Khairul Umam, Op. Cit.
[7] Al-Qur’an Digital, QS. Al-Anfal : 75
[8] Dian Khairul Umam, Op. Cit.
[9] Ibid,
[10] Akhmad Haries, Hukum Kewarisan Islam, (Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010)
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994)
[16] Ibid,
[17] Ibid,

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel