Hubungan Insan Dengan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Manusia, Agama dan Islam merupakan persoalan yang sangat penting, lantaran ketiganya mempunyai imbas besar dalam pelatihan generasi yang akan datang, yang tetap beriman kepada Allah dan tetap berpegang pada nila-nilai spiritual yang sesuai dengan agama- agama samawi (agama yang tiba dari langit atau agama wahyu). Agama merupakan sarana yang menjamin kelapangan dada dalam individu dan menumbuhkan ketenangan hati pemeluknya.
Agama akan memelihara insan dari penyimpangan, kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laris yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati insan menjadi jernih, halus dan suci. Disamping itu, agama juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi banyak sekali aliran sesat. Agama juga mempunyai peranan penting dalam pelatihan keyakinan dan susila dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang individu-individunya terikat oleh rasa persaudaraan, cinta kasih dan tolong menolong.
Islam dengan banyak sekali ketentuannya sanggup menjamin bagi orang yang melaksanakan hukum-hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi.
1.2       Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep insan di dalam Al-Quran?
2. Kenapa insan perlu beragama?
3. Apakah tujuan dari penciptaan manusia?
4. Apa korelasi insan dengan agama?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Konsep dan Pengertian Manusia dalam Al Quran
            Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sulit dimengerti meskipun oleh dirinya sendiri. Manusia yaitu mahluk yang tidak bisa ditebak, namun rasional. Manusia juga mempunyai fisik yang baik ibarat halnya mahluk hidup lainnya. Manusia juga mempunyai kecerdikan sehingga ia sanggup membuat hal-hal yang luar biasa meskipun secara fisik ia tidak bisa melakukannya. Manusia melaksanakan hal-hal hebat dengan tunjangan mesin-mesin yang dibuatnya. Dengan begitu, insan bukanlah hewan, tapi ibarat dengan binatang lantaran punya kecerdikan dan perasaan. Sehingga insan tidak mempunyai konsep definisi yang terang akan dirinya.
            Dalam Al Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Dari ayat-ayat yang berkenaan dengan manusia, Al-Qur’an menyebut insan dalam beberapa nama, berikut yaitu penjelasannya :
a.         Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata insan yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud insan basyar yaitu anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar meliputi anak turun Adam secara keseluruhan.Kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna. 
Berdasarkan konsep basyr, insan tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan insan terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis ibarat berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, ibarat binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan insan sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.        Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan insan berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. Al Mu’minuun: 12-14)
Dan sesungguhnya Kami telah membuat insan dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢
12
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam kawasan yang kokoh (rahim).
 ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣
13
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, kemudian segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
14
2.        Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, bakir balig cukup akal dan usia lanjut sebagaimana dalam surat Al Mu’min: 67:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ يُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡ ثُمَّ لِتَكُونُواْ شُيُوخٗاۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوٓاْ أَجَلٗا مُّسَمّٗى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦٧
Artinya: Dia-lah yang membuat kau dari tanah kemudian dari setetes, air mani, setelah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kau sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kau hingga kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kau hidup lagi) hingga tua, di antara kau ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kau hingga kepada kematian yang ditentukan dan supaya kau memahami (nya).
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa insan dinamai basyar lantaran kulitnya yang tampak terang dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada insan dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk badan yang sama, makan dan minum dari materi yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan balasannya ajalpun menjemputnya.
Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa insan dalam konsep al-Basyr ini sanggup berubah fisik, yaitu semakin renta fisiknya akan semakin lemah dan balasannya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga sanggup tergambar perihal bagaimana seharusnya kiprah insan sebagai makhluk biologis.Bagaimana ia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya.Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
b.        Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin.Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara insan dengan kemampuan penalarannya. Manusia sanggup mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, sanggup mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta sanggup meminta izin saat akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa insan mampunyai potensi untuk dididik.
Potensi insan berdasarkan konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong insan untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, insan sanggup menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.Kemudian melalui kemampuan berinovasi, insan bisa merekayasa temuan-temuan gres dalam banyak sekali bidang.Dengan demikian insan sanggup menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
c.         Konsep Al-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi insan sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24).Tentunya sebagai makhluk sosial insan harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri.Karena insan tidak bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya insan yang bermula dari pasangan pria dan perempuan (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya legalisasi terhadap spesis di dunia ini, menyampaikan bahwa insan harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah bekerjsama fungsi insan dalam konsep an-naas.
d.        Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, dipakai untuk menyatakan insan bila dilihat dari asal keturunannya. Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat. Penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti insan secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, tawaran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya yaitu dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam biar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu yaitu merupakan tawaran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin menyampaikan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh yaitu mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa insan dalam konsep Bani Adam, yaitu sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta.Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13):
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami membuat kau dari seorang pria dan seorang perempuan dan menjadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kau di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
e.         Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin (2003: 28) memaparkan al-Isn yaitu homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab menyampaikan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka insan yaitu makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin yaitu makhluk halus yang tidak tampak.
Sisi kemanusiaan pada insan yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang terang bahwa insan yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang berdasarkan dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas
Dari pendapat di atas sanggup dikatakan bahwa dalam konsep al-ins insan selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin yaitu makhluk bukan insan yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan.Sedangkan insan terang dan sanggup beradaptasi dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
f.         Konsep Abdu Allah (Hamba Allah)
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang mempunyai potensi berperasaan dan berkehendak yaitu Abd Allah dalam arti dimiliki Allah.Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri.
Menurut M. Quraish memandang ibadah sebagai dedikasi kepada Allah gres sanggup terwujud bila seseorang sanggup memenuhi tiga hal, yaitu:
1.        Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya yaitu milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah.
2.        Menjadikan segala bentuk perilaku dan kegiatan selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

3.        Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.

Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, insan merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah.Yaitu dengan menta’ati segala aturan-aturan Allah.
Sehingga dalam banyak sekali konsep tersebut insan merupakan mahluk hidup yang perlu diberikan suatu kawasan sendiri lantaran ia merupakan mahluk hidup yang istimewa lantaran selain mempunyai fisik, insan mempunyai akal, bersosialisasi, dan teratur. Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang paling tepat lantaran selain mempunyai unsur fisik insan mempunyai kecerdikan yang membedakan dengan mahluk hidup lain.
2.2       Fitrah Manusia
            Dalam setiap diri insan selalu ada pertanyaan yang selalu muncul dalam dirinya yaitu “dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi saat saya sudah mati?”. Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadikan insan selalu mencari jawabannya. Mencari jawaban dan selalu ingin tahu merupakan fitrah insan yaitu hal yang sudah ada dan berdasar di dalam hidup manusia.  Para jago teologi Islam menyampaikan bahwa fitrah yaitu satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri yaitu tidak dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial dan masa, dan tidak akan pernah hilang. Hal-hal dasar yang menjadikan insan sering mencari disebabkan lantaran berdasarkan Al-Qur’an insan terdiri atas:
1.        Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para jago sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari watak Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri insan berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber susila yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa yaitu sumber susila tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping mempunyai daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga mempunyai daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, berdasarkan para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia sanggup mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri insan tidak hanya mempunyai jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) insan mejadi sentra kawasan tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa insan mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa mengalah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan permintaan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah,
"Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu sanggup menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, alasannya yaitu ia selalu mencela insan yang melaksanakan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya:
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa sanggup terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang damai (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan,
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melaksanakan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah eksklusif masuk surga. Jiwa muthmainnah yaitu jiwa yang selalu bekerjasama dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan,
"Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, lantaran itu jiwa terletak pada usaha baik dan buruk.
2.        Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris yaitu daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" yaitu daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan kecerdikan (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, kecerdikan yang telah mencapai tingkatan tertinggi kecerdikan perolehan (akal mustafad) ia sanggup mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (Jannah). Namun, jikalau kecerdikan yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun kecerdikan yang tidak tepat dan tidak mengenal kebahagiaan, maka berdasarkan al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan berdasarkan para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan insan berdasarkan para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan kecerdikan dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu saat akan hingga ketingkat kecerdikan perolehan.
3.        Hati (Al-Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb yaitu jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita menggunakan kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati yaitu segumpal daging yang berbentuk bundar panjang dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, lantaran hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, contohnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini yaitu hati dalam arti yang halus, hati-nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, sanggup kita ambil kesimpulan sementara, bahwa berdasarkan para filsuf dan sufi Islam, hakekat insan itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan insan diperoleh melalui pengetahuan kecerdikan (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jikalau hati telah higienis dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia sanggup menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan watak terpuji yaitu sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani alasannya yaitu penyakit anggota badan luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan bermetamorfosis hati dhulmani hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat insan (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil usaha antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan yaitu pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani higienis dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah lantaran mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari banyak sekali pesonanya, dan mendapatkan Allah segenap hati. Dan barangsiapa mempunyai Allah pasti Allah yaitu miliknya. Setiap pesan yang tersirat muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari inspirasi Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menarik hati insan untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan insan (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
Karenanya insan memerlukan Agama sebagai jawaban atas ketidaktahuannya dan keingintahuannya atas dirinya sendiri dan tujuan hidupnya. Agama dalam hal ini Agama Islam dibutuhkan insan berhasil memenuhi kebutuhannya dan menaati Agama Islam, sesuai dengan firman Allah Surat Ar-Rum: “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah membuat insan sesuai dngan fitrah itu”. (QS.Al-Rum: 30).
           
2.3       Tujuan Penciptaan Manusia
  Ajaran Islam memperkenalkan insan dengan menjelaskan fungsinya di dunia ini. Manusia diciptakan di dunia ini adalah:
1.        Untuk menyembah kepada-Nya berdasarkan Firman Allah Q.S. Adz Dzaariyaat: 56:dan saya tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Menyembah Allah SWT. Berarti memusatkan penyembahan kepada semata-mata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya saja.
2.        Khalifah Allah di bumi. Manusia yaitu makhluk yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban memakmurkannya sebagai amanah dari Allah SWT. Berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al an’am 165:
dan Dia lah yang menjadikan kau penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kau atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu perihal apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.4       Hubungan Manusia dengan Agama
Agama berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang bekerjasama dengan pergaulan insan dan insan serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini yaitu religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
            Menurut agama Islam, insan diciptakan di bumi untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, insan diciptakan di bumi sebagai khalifah atau pemimpin di bumi. Dengan kiprahnya tersebut, insan dibutuhkan untuk:
1.        Sadar sebagai mahluk individu yaitu mahluk hidup yang berfungsi sebagai mahluk yang paling utama di antara mahluk-mahluk lain. Sebagai mahluk utama di muka bumi, insan diingatkan kiprahnya sebagai khaifah dibumi dan mahluk yang diberi derajat lebih daripada mahluk lain yang ada di bumi. Sesuai dengan firman Allah:
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan bawah umur Adam dan Kami angkat mereka itu melalui daratan dan lautan serta Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas kebanyakan mahluk yang kami ciptakan (Q.S. Al-Isra: 70)
2.        Sadar bahwa insan yaitu mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, insan harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya. Itulah sebabnya Islam mengajarkan perasamaan
“Berpeganglah kau semuanya dalam tali Allah dan janganlah kau berpecah belah…” (Q.S. Ali Imran: 103)
“Sesungguhnya semua orang mukmin yaitu bersaudara.”(Q.S. Al Hujarat: 10)
3.        Sadar insan yaitu hamba Allah SWT. Manusia sebagai mahluk yang berketuhanan, mempunyai perilaku dan watak religius yang perlu dikembangkan. Manusia harus selalu beribadah keapada Allah lantaran merupakan tugasnya untuk beribadah kepada Allah sesauai dengan firman Allah:
“(Yang mempunyai sifat-sifat) demikian itu yaitu Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia yaitu pemelihara segala sesuatu, Dia tidak sanggup dijangkau oleh daya penglihatan mata, sedang Dia sanggup melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Mengetahui.”(Q.S. Al An’aam: 102
Untuk menjalankan tujuan-tujuan tersebut, dalam hal ini Agama Islam, mengajarkan 3 hal yang merupakan dasar dari agama yaitu:
1.        Aqidah
Beberapa ulama Islam juga menafsirkan perihal aqidah. Hasan al-Banna dalam Majmu’ ar-Rasaail menafsirkan bahwa:
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) yaitu beberapa masalah yang wajib diyakini dalam hati, mendatangkan ketentraman jiwa dan tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.”
Abu Bakar Al-jazairi dalam kitab Aqidah Al-Mukmin menafsirkan bahwa:
“Aqidah merupakan sejumlah kebenarannya yang sanggup diterima secara gampang oleh insan berdasarkan akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati dan ditolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu.”
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka aqiadah merupakan keyakinan dalam hati yang benar-benar mantab dan tidak akan goyah walaupun banyak hal yang berusaha menentang hal tersebut. Aqidah atau sistem aqidah merupakan sistem keyakinan yang sering disebut rukun keyakinan yaitu:
·           Iman kepada Allah
·           Iman kepada malaikat dan mahluk mistik lainnya
·           Iman kepada kitab-kitab Allah
·           Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
·           Iman kepada Hari Kiamat
·           Iman kepada Qada dan Qadar
Aqidah merupakan suatu keyakinan yang harus dimiliki setiap mukmin dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Keyakinan tersebut membuat mukmin makin gampang menjalankan ibadah dalam kehidupan sehari-harinya
2.        Syariat
Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa yaitu sumber air mengalir yang didatangi insan atau binatang untuk minum.  Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya tiba ke sumber air mengalir atau tiba pada syari’ah.
Kemudian kata tersebut dipakai untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti menggunakan syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman,
 “Untuk setiap umat di antara kau (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kau berada di atas suatu syari’at (peraturan) perihal urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kau ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
Sedangkan arti syari’at berdasarkan istilah yaitu “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, biar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam yaitu hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat insan melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.

Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap insan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu Tauhid, yaitu aturan atau peraturan-peraturan yang bekerjasama dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang bekerjasama dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus keyakinan kepada-Nya, keyakinan kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan keyakinan kepada hari final termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta keyakinan kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang bekerjasama dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada proteksi keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, ibarat kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dihentikan berdusta dan berkhianat.
Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur korelasi insan dengan Tuhannya dan korelasi insan dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan perihal hukum-hukum korelasi insan dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah contohnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu potongan yang menjelaskan perihal hukum-hukum korelasi antara insan dengan sesamanya. Ilmu Fiqh sanggup juga disebut Qanun (undang-undang).
3.        Ahlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laris seseorang yang didorong oleh suatu impian secara sadar untuk melaksanakan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tiga pakar di bidang susila yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa susila yaitu perangai yang menempel pada diri seseorang yang sanggup memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Ahlak-ahlak yang baik adalah:
·           Jujur (Ash-Shidqu)
·           Berprilaku baik (Husnul Khuluqi)
·           Malu (Al-Haya')
·           Rendah hati (At-Tawadlu')
·           Murah hati (Al-Hilmu)
·           Sabar (Ash-Shobr)

Sedangkan ahlak-ahlak yang buruk adalah:

·           Mencuri/mengambil bukan haknya

·           Iri hati

·           Membicarakan kejelekan orang lain (bergosip)

·           Membunuh

·           Segala bentuk tindakan yang tercela dan merugikan orang lain (mahluk lain)

Dasar-dasar Islam diatas telah menandakan dan mengatur perihal bagaimana insan melaksanakan kewajibannya di muka bumi. Agama dalam hal ini agama Islam, merupakan suatu pengatur kehidupan yang harus dijalankan setiap pemeluknya biar sanggup melaksanakan tugas-tugasnya di muka bumi ini dengan baik. Sehingga, korelasi antara insan dan agama sebagai pengatur kehidupannya diharapakan menjadikan insan menjadi insan yang lebih baik bagi  sesamanya, bagi alam sekitarnya dan bagi dirinya sendiri.


BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Yaitu Konsep Al-Basyr, Konsep Al-Insan, Konsep Al-Nas, Konsep Bani Adam, Konsep Al-Ins, Konsep Abdu Allah (Hamba Allah). Manusia merupakan mahluk Tuhan yang paling tepat lantaran insan mempunyai segala unsur dari mahluk hidup lainnya ditambah dengan kecerdikan pikiran.
Manusia membutuhkan agama lantaran hal tersebut merupakan fitrah manusia. Fitrah tersebutlah yang menimbulkan insan bekerjasama dengan agama untuk mencari jati dirinya.
Tujuan penciptaan insan yaitu untuk menyembah kepada Allah dan menjadi khalifah fil ardi.
Agama mempunyai tujuan untuk menjadikan insan melakasankan segala kiprah yang diperintahkan Allah. Sehingga agama mengatur segala sendi kehidupan insan dan sanggup dikatakan agama merupakan pengatur insan untuk menjalankan kiprahnya di muka bumi.
3.2       Saran
 Perlu dilakukan telaah lebih lanjut mengenai korelasi insan dengan agama baik secara aqli maupun naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher.
Anonim, 2011. Konsep Manusia dalam Al Quran
(http://majelispenulis.blogspot.com diakses tanggal 26 September 2012)
Arifin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Mudah Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Azra, Prof. Dr.  Asyurmudi, dkk. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi dan Umum. Jakarta : Departemen Agama RI
https://kanntongilmudunia.blogspot.com//search?q=412/mengenal-syariat-islam-bagian-1/" target="_top" title="Hubungan Manusia dengan Agama">Mengenal Syariat Islam (Bagian 1) (diakses tanggal 12 Oktober 2012)
http://ramdhangaduhrara.blogspot.com/ramdhan gaduh rara: korelasi insan dengan agama (diakses tanggal 11 Oktober 2012)
Mubarak, Zakky, dkk. 2008. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI.
Wahyudin,2009.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
https://id.scribd.com/doc/143906012/Hubungan-Manusia-Dengan-Agama-II#download.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel