Zakat Mengentas Kemiskinan

Peran Zakat
Dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia
A.   Pendahuluan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu momok dalam kehidupan baik bagi individu maupun bagi masyarakat dan Negara khususnya di Indonesia.
Kemiskinan sanggup digolongkan dalam kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik lantaran kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kongkalikong antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi lantaran faktor-faktor buatan manusia. Adapun kemiskinan kultural muncul lantaran faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, menyerupai sikap malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada harapan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural ialah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya insan dan terbatasnya sumber daya alam.
Dari ketiga katagori kemiskinan tersebut, intinya kemiskinan berpangkal pada problem distribusi kekayaan yang timpang dan tidak adil. Karena itu Islam menekankan pengaturan distribusi ekonomi yang adil supaya ketimpangan di dalam masyarakat sanggup dihilangkan. Firman Allah SWT: “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr : 7).
Dari pemahaman diatas, zakat ikut andil dalam mengentaskan permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Yaitu peranan zakat itu sendiri ialah tugas yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, baik dalam kehidupan muslim ataupun dalam kehidupan lainnya. Khalayak umum hanya mengetahui gotong royong tujuan dari zakat ialah mengentaskan kemiskinan dan juga membantu para fakir miskin, tanpa mengetahui gambarannya secara gamblang.
Kenyataanya, zakat dalam pandangan Islam bulanlah satu-satunya cara untuk sanggup mengentaskan kemiskinan. Masih banyak cara lain yang masih bisa diupayakan secara individu ataupun pemimpin masyarakat untuk sanggup memenuhi dan menutupi kebutuhan seoarang fakir dan juga keluarganya, sampai ia tidak perlu lagi bergantung kepada orang lain.
Perlu digarisbawahi, bahwa tugas zakat[1] tidak hanya terbatas kepada pengentasan kemiskinan[2]. Akan tetap bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kemasyarakatan lainnya. Dapat, diketahui bahwa salah satu peranan zakat ialah membantu Negara muslim di Indonesia dalam menyatukan hati para warganya untuk sanggup loyal kepada Islam dan juga membantu segala permasalahan yang ada di dalamnya. Termasuk permasalahan yang ada dalam tubuh orang Islam itu sendiri. Sebagaimana membantu Negara muslim di Indonesia dalam menegakkan kalimatullah, dan memotivasi orang yang berhutang untuk sanggup berbuat baik serta membantunya istiqomah dalam kebaikan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka pemakalah mencoba untuk membahas problem tersebut dengan rumusan problem sebagai berikut, yaitu pertama: mengentaskan kemiskinan dengan mengentaskan penyebabnya, kedua: kadar zakat yang dikeluarkan untuk fakir miskin, ketiga: banyaknya problem dalam pengentasan kemiskinan.
Dalam sistematika penulisan ini pemakalah telah memaparkan bahwa sanggup dijelaskan penulisan ini di dahulukan dengan pendahuluan, rumusan masalah, pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka.
B.   Mengentaskan Kemiskinan Dengan Mengentaskan Penyebabnya
Sudah semestinya supaya seseorang sanggup menunaikan zakatnya untuk mengentaskan kemiskinan, diketahui penyebab kemiskinan terhadap individu atau kemiskinan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat maupun yang menimpa pada suatu daerah. Sesungguhnya setiap penyakit mempunyai obat yang berbeda-beda sesaui dengan penyebab yang menyertainya. Suatu obat tidak akan manjur apabila tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Dan mustahil menciptakan spesifikasi suatu obat, apabila tidak diketahui penyebab datangnya penyakit tersebut, sehingga menciptakan obat itu tidak berfungsi terhadap penyembuhan penyakit yang ada. Karena itu dalam mengentaskan kemiskinan yang disebabkan oleh pengangguran[3], rasa malas, dan kurangnya upaya dalam mencari pekerjaan, tentunya tidak sama formulanya dengan kemiskinan yang disebabkan banyaknya anggota keluarga yang ditanggung, sehingga minimnya pemasukan bulanan.
Kemiskinan yang disebabkan lantaran ketidakmampuan dalam menutupi dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dimana ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh salah satu dari dua alasannya ialah sebagai berikut:
Pertama; kemiskinan yang disebabkan oleh kelemahan fisik yang menjadi penghalang diriya dalam mendapat penhasilan yang besar. Termasuk dalam cakupan lemahnya fisik ialah umur yang masih kecil sedang ia tidak mempunyai keluarga menyerupai yang dialami oleh para anak yatim. Atau umur yang terlalu renta sebagaimana yang dialami oleh para kakek renta yang sudah lemah. Selain itu, bisa jadi lantaran kehilangan salah satu anggota badannya atau panca indranya. Ataupun, lantaran ia menderita penyakit yang mengakibatkan tidak bisa berbuat banyak selayaknya orang normal, dan penyebab-penyebab fisik lainnya yang diderita dan ia tidak bisa mengatasi hal tersebut. Orang yang ditimpa kemiskinan lantaran hal ini berhak mendapat zakat, lantaran kelamahan fisik yang dideritanya dan juga sebagai rasa tenggang rasa atas kekurangan yang ada padanya sampai ia tidak harus selalu menjadi beban masyarakat.
Kedua; kemiskinan[4] yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mencari pekerjaan lantaran ditutupnya pintu-pintu pekerjaan yang halal sesuai dengan keadaan para fakir miskin tersebut. Waaupun mereka telah mengupayakan dengan sekuat tenaga dan mencarinya dengan gigih serta giatnya perjuangan para pemimpin masyarakat dalam memperlihatkan kesempatan pada meraka dalam membuka lowongan pekerjaan. Mereka tidak diragukan lagi berada dalam posisi yang sangat lemah secara hukum, namun tidak secara kekuatan. Karena kekuatan tubuh tidak memperlihatkan makanan dan juga tidak menghilangkan kelaparan selama tidak didapati suatu pengahsilan. Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dan yang lainnya perihal cerita dua orang pria yang dating kepada Rasulullah Saw dan meminta darinya sadaqah (zakat). Rasulullah menatap keduanya kemudian menurunkan pendangannya. Ia mendapati keduanya orang tersebut masih kuat, kemudian ia berkata: “Apabila kalian menginginkannya, saya akan memberinya. Zakat tidak diperuntukkan untuk orang yang bisa (kaya) dan juga orang yang bisa bekerja.”[5] Seseorang yang bisa bekerja tidak berhak mendapat zakat. Namun apabila ternyata orang yang bisa bekerja tapi tidak mendapat pekerjaan atau ia menemukan pekerjaan, namun bukan pekerjaan yang diperbolehkan atau bisa jadi ia menemukan pekerjaan, namun pekerjaannya itu tidak sesuai dengan kedudukannya di mata masyarakat atau ia mendapat pekerjaan namun membebaninya di luar batas kemampuannya, maka ia boleh mendapat zakat.
Ketiga; kemiskinan yang ketiga ini bukan disebabkan lantaran pengangguran atau lantaran ia tidak menemukan pekerjaan yang sesuai, tetapi pada kenyataanya ia bekerja dan mendapat penghasilan tetap. Namun sayangnya penghsailan dan pemasukan tidak seimbang dengan pengeluaran. Pendapatannya tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya dan tidak bisa mewujudkan kecukupan, sebagaimana yang banyak dialami oleh para buruh, petani dan juga pekerja rendahan ataupun wiraswata kecil. Atau seseorang yang sedikit uangnya tetapi mempunyai keluarga yang banyak, dimana ia harus menanggung semua kehidupan keluarganya tersebut. Mereka yang berada dalam kondisi tersebut boleh mendapat zakat.
Jawaban atas semua permasalahan kemiskinan ini ialah sesuatu yang positif dan membangun. Sesungguhnya Rasulullah Saw telah menjelaskan penggolongan di atas dengan terperinci dan menciptakan sesuatu yang menarik perhatian para sahabtnya di ketika Rasulullah menggambarkan akan definisi miskin yang sesungguhnya. Dimana masyarakat memperdulikannya, di ketika mereka membutuhkan pertolongan dan bantuan. Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah dianggap seorang itu miskin, apabila ia duberi satu butir atau dua butir kurma, ataupun apabila ia diberi selembar atau dua lembar roti. Sesungguhnya orang miskin ialah orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal.”
Dan allah Swt berfirman: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak sanggup (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya lantaran memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kau nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273).
Dimaksud dengan tidak meminta secara mendesak adalah, tidak mendesak akan sesuatu hal, serta tidak membebani orang lain akan apa yang mereka tidak butuhkan. Maka bagi siapa yang telah meminta sesuatu hal namun ia sendiri belum membutuhkannya, maka sesungguhnya ia telah mendesak dan membebani orang. Inilah pensifatan yang digambarkan dan dilekatkan pada fakir miskin dari kaum Muhajirin yang lebih mengkonsentrasikan diri untuk taat kepada Allah dan Rasulnya padahal mereka tidak mempunyai uang ataupun pekerjaan yang memenuhi kebutuhan mereka.[6] 
Mereka dan orang sejenis merekalah yang sebenarnya lebih pantas untuk dibantu, sebagaimana sabda Rasulullah Saw mengarahkan dan menjelaskannya dalam hadits di atas. Dalam satu riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda;
“Bukanlah dianggap miskin, seorang yang mendatangi banyak orang, kemudian ia diberikan satu-dua potong roti ataupun satu-dua butir kurma. Sesungguhnya orang yang miskin ialah orang yang tidak membutuhkan orang lain ataupun mencari orang lain untuk memperlihatkan sedekah padanya, juga tidak meminta belas kasihan orang lain.”[7]
Merekalah sebenarnya orang-orang miskin yang pantas mendapat bantuan, walaupun banyak orang yang lupa dan tidak begitu memperduikan keadaan mereka. Jumlah mereka sangat banyak namun tidak tampak di permukaan. Karena mereka ialah orang-orang yang sangat menjunjung kemuliaan diri untuk untuk tidak meminta dukungan orang lain ataupun untuk memperlihatkan kebutuhan mereka yang belum terpenuhi.
Imam Hasan Basri pernah ditanya perihal seorang lelaki yang mempunyai rumah dan seorang budak, apakah ia diperbolehkan mengambil zakat? Lalu ia menjawab: “Ia boleh mengambilnya apabila ia membutuhkannya, dan tidak ada problem dalam hal ini.”[8]
Imam Ahmad pun bertanya perihal seorang lelaki yang mempunyai sebuah rumah yang ia kontrakan dan juga uang sekitar sepuluh ribu dirham; namun kesemuanya itu belum mencukupi untuk kebutuhannya. Lalu ia menjawab: “ Maka ia boleh mengambil zakat.”[9]
Para ulama Mazhab Syafi’i beropini gotong royong apabila seseorang mempunyai suatu bangunan namun penghasilan  yang di sanggup darinya belum mencukupi kebutuhannya, maka ia pun disebut sebagai fakir atau miskin. Dan ia berhak diberikan zakat sesuai dengan kebutuhannya dan tidak membebaninya untuk menjual bangunan yang dimilikinya.[10]
Para ulama Mazhab Maliki beropini gotong royong boleh untuk mengambil zakat bagi seseorang yang mempunyai nishab (batas waktu dan ukuran) dalam membayar zakat. Sedangkan ia mempunyai keluarga besar dimana ia harus menanggung kehidupan mereka walaupun ia mempunyai rumah dan juga budak yang sesuai dengan kehidupannya.[11]
Para ulama dari Mazhab Hanafi beropini bahwa seseorang yang mempunyai rumah baik berfurniture ataupun tidak, budak, kuda, senjata, pakaian, dan buku-buku ilmu pengetahuan, tidak menghalanginya untuk bisa memperoleh zakat. Pendapat mereka ini berdasar atas riwayat dari Hasan Basri yang berkata: “Bahwasanya mereka memperlihatkan zakat kepada orang yang mempunyai sepuluh ribu dirham dalam bentuk kuda, senjata, budak, dan juga rumah.”
C.   Kadar Zakat yang Diberikan Untuk Fakir Miskin
Para ulama berbeda pendapat terhadap kadar zakat yang harus dikeluarkan untuk golongan fakir miskin, tergantung kondisi yang dialami. Setiap pendapat tersebut dilandasi dengan dalilnya masing-masing.
Imam Abu Hamid Ghazali beropini bahwa mazhab-mazhab ulama beerbeda pendapat dalam memilih kadar yang diberikan kepada peserta zakat ataupun sadaqah. Sebagian dari mereka ada yang mengambil minimalnya yaitu dengan memperlihatkan makanan yang cukup untuk sehari dan semalam, sedang sebagian lainnya memberikannya sampai batasan kayanya seseorang. Batasan tersebut dilihat dari nishab harta.  Karena sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat kecuali bagi orang-orang yang kaya.
Sedangkan sebagian ulama lainnya memilih kadar yang sangat maksimal. Dikatakan: “Diberikan pecahan zakatnya sesuai dengan harga barang yang dibutuhkan, sampai ia bisa untuk berdikari selama sisa hidupnya atau disediakan baginya barang-barang dagangan untuk diperjualbelikan. Dengan manfaatnya ia menafkahi hidupnya selama sisa hidup; lantaran inilah yang disebut dengan kaya.
D.   Banyaknya Masalah Dalam Pengentasan Kemiskinan
Permasalahan penyebaran penyakit berkaitan akrab dengan problem kemiskinan. Semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang, maka semakin tinggi pula jaminan kesehatannya, yang ditunjang dengan lingkungan yang hygienis, gizi tercukupi, dan kemampuan untuk berobat di ketika tertimpa penyakit. Sesungguhnya suatu penyakit akan bisa bertahan pada diri seseorang dalam keadaan yang sempit.
Secara umum problem kebodohan pun merupakan implikasi dari adanya problem kemiskinan. Seorang yang fakir umumnya tidak bisa berguru ataupun mengajarkan dan menyekolahkan belum dewasa mereka. Bagaimana hal ini terjadi? Karena hal inilah, pendidikan merupakan urgensitas yang harus dipenuhi oleh kaum fakir pada masa ini, dengan mendayagunaka zakat yang ada untuk berguru dan menyekolahkan belum dewasa mereka demi kepentingan duniawi dan ukhrawi.
E.   Kesimpulan
 Tak bisa dipungkiri bahwa tugas ‘sejumlah kecil’ zakat begitu ‘besar’ artinya bagi fakir miskin. Melalui zakat, fakir miskin dan mustahik yang lain dijamin kelangsungan hidupnya sebagai pecahan dari masyarakat. Namun dalam implementasinya, zakat tidak bisa berjalan sendirian dalam upaya menuntaskan banyak sekali permasalahan umat terutama di bidang perekonomian. Untuk bisa optimal, pelaksanaan zakat harus sesuai dengan posisinya dalam perspektif ekonomi Islam.
Kemiskinan yang disebabkan oleh adanya pengangguran, baik itu lantaran keterpaksaan ataupun lantaran suatu pilihan.
Kemiskinan yang disebabkan lantaran ketidakmampuan dalam menutupi dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Daftar Bacaan
Qardhawi Yusuf.Dr, Spektrum Zakat, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Al-Ba’ly Mahmud Al-Hamid Abdul. Dr, Ekonomi Zakat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1991
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1
Bada’I Shana’I, Kasani, Jilid 2
Mughni Kharsy, Hasyiatan Al-‘Adwy Khalil, Jilid 2
Amwal, Abu Ubaid,
Majmu’ Jilid 6
Lu’buil Marjan

[1] Al-Ba’ly Mahmud Al-Hamid Abdul. Dr, Ekonomi Zakat, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1991.
[2] http://ukasbaik.wordpress.com/2007/11/28/zakat-dan-upaya-pengentasan-kemiskinan-di-indonesia/
[3] Qaradhawi Yusuf, Dr, Spektrum Zakat, Zikrul Hakim, Jakarta, 2005. [4] http://ukasbaik.wordpress.com/2007/11/28/zakat-dan-upaya-pengentasan-kemiskinan-di-indonesia/
[5]  HR. Ahmad dan Abu Daud. Ahmad berkata: Hadis ini ialah hadis terbaik dalam periwayatannya. Nawawy berkata: “Lihat; Majmu’ Jilid 6. [6]  Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1.  
[7]  HR. Abu Hurairah. Lihat Lu’buil Marjan,hadits 616, Shahih Muslim (hadits ke 101, 102)
[8]  Amwal, Abu Ubaid.
[9] Majmu’ Jilid 6.
[10] Bada’I Shana’I, Kasani, Jilid 2.
[11] Mughni Kharsy, Hasyiatan Al-‘Adwy Khalil, Jilid 2.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel