Makalah Aqidah Hadist Dan Sunnah
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
istilah Hadits dan Sunnah sudah sering digunakan dalam masyarakat muslim. Pada umumnya kebanyakan dari mereka mengartikan hadits dan sunnah ialah sama yaitu sebagai sumber aturan islam setelah Al-Qur’an. Namun sebenarnya hadits dan sunnah masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Hal ini menawarkan bahwa masyarakat belum memahami secara utuh wacana pengertian antara hadits dan sunnah beserta perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Para ulama dari masing-masing disiplin ilmu juga memperdebatkan perbedaan antar hadits dengan sunnah ini. Tetapi ada pula ulama yang mempersamakan antara hadits dan sunnah. Dengan demikian, dengan adanya makalah ini dibutuhkan masyarakat pembaca sanggup mengerti wacana perbedaan antara hadits dan sunnah dari banyak sekali sudut pandang para ulama dari banyak sekali disiplin ilmu.
Selain itu, masyarakat telah banyak berpikir rasional wacana keeksisan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat bertanya-tanya apakah Nabi Muhammad itu insan biasa menyerupai insan ketika ini, bilamana Nabi Muhammad SAW berperan sebagai Rasulullah dan sebagai insan biasa. Maka dengan adanya realita ini, penulis mencoba untuk memaparkan bilamana Nabi Muhammad berperan sebagai Rasulullah dan berperan sebagai insan biasa yang dikaji berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
B. TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat wacana perbedaan antara hadits dan sunnah dari sudut pandang para ulama dari banyak sekali disiplin ilmu maupun sudut pandang dari para ulama yang menyebutkan bahwa di antara keduanya ialah sama. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengenalkan kepada para pembaca kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan sebagai insan biasa.
PEMBAHASAN
PENGERTIAN HADITS
Kata Hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits ialah al-ahadits. Masyarakat Arab di zaman jahiliyah telah memakai kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”.
Pengertian hadits berdasarkan bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan kata dari qadim (sesuatu yang lama). Dalam hal ini dimaksudkan bahwa qadim sebagai kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata yang dimaksudkan denganhadits berdasarkan pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan hal itu seperti sebagai bandingan Al-Qur’an ialah Qadim.
Hadits juga sering disebut sebagai Al-Khabar (berita) yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Berdasarkan tinjauan dari sudut pendekatan kebahasaan, kata hadits dipergunakan dalam Al-Qur’an dan hadits itu sendiri[1]. Hal ini sanggup dilihat dalam QS. Al-Kahfi ayat 6 yang berbunyi:
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفاً ﴿٦﴾
“Maka (apakah) barangkali kau akan membunuh dirimu lantaran bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an).”
Sedangkan dalam pengertian hadits secara terminologis terdapat perbedaan pendapat antara mahir hadits dan mahir ushul.
Menurut para mahir hadits, hadits ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan Nabi muhammad SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Pengertian hadits lainnya berdasarkan mahir hadits ialah:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
Sebagian Muhaditsin beropini bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW (Hadits Marfu’) saja, tetapi juga yang disandarkan kepada para sahabat (Hadits Mauquf), dan juga yang disandarkan kepada para Tabi’in (Hadits Maqtu’). Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Tirmisi:
“Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan sanggup juga untuk sesuatu yang Mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada para Tabi’in.”
Sedangkan berdasarkan para ulama Ushul, hadits berdasarkan terminologis ialah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan, taqrirnya yang berkaitan dengan aturan syara’ dan ketetapannya.”
Berdasarkan pengertian hadits berdasarkan mahir ushul ini terperinci bahwa hadits ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berafiliasi dnegan aturan atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Sealain itu, tidak sanggup dikatakan sebagai hadits. Hal ini mengisyaratkan bahw apara mahir ushul telah membedakan tugas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dan sebagai insan biasa. Yang dikatakan sebagai hadits ialah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan fatwa Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan menyerupai cara berpakaian dan cara tidur tidak sanggup dikategorikan sebagai hadits.
B. PENGERTIAN SUNNAH
Menurut bahasa, “sunnah” mempunyai arti jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek. Bisa juga diartikan dengan “jalan yang lurus”. Menurut M.T. Hasbi Ash-Shiddieqy, penmgertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani baik yang trepuji maupun yang tidak. Hal ini sesuai dengan tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah walapun tidak baik. Pengertian sunnah berdasarkan sabda Rasulullah SAW ialah sebagai berikut:
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan sampai hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa menciptakan sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat” (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).”
Sedangkan pengertian sunnah berdasarkan istilah (terminologis) terdapat perbedaan pendapat antar para ulama. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang mereka masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Para ulama ini secara garis besar terbagi menjadi 3 golongan yaitu Ahli hadits, Ahli Ushul, dan Ahli Fiqih.
a. Pengertian sunnah berdasarkan mahir hadits yaitu:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعده
Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkatan, perbuatan, taqrir (ketetapan), tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun setelah diangkat menjadi Rasul.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah berdasarkan Muhadditsin ialah sama dengan kata hadits. Para Muhadditsin memandang diri Rasul SAW sebagai Uswatun Hasanah atau qudwah (contoh atau suri tauladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Oleh lantaran itu, mereka mendapatkan dan meriwayatkannya secara utuh segala informasi yang diterima wacana diri Rasul SAW tanpa membedakan apakah isinya berkaitan dengan aturan syara’ atau tidak. Mereka juga tidak membedakan ucapan atau perbuatan yang dilakukan sebelum diangkat menjadi Rasul dan setelah diangkat menjadi Rasul. Hal ini berarti Ahli Hadits mendefinisikan bahwa cakupan sunnah lebih luas dibandingkan dengan hadits.
b. Pengertian sunnah berdasarkan Ahli Ushul adalah:
Sunnah ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berafiliasi dengan aturan syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Berdasarkan pengertian tersebut, sanggup ditarik definisi sunnah berdasarkan Ahli Ushul yaitu:
“segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’anul Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi aturan syara.” Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan sunnah dalam sabda Nabi sebagai berikut:
“Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kau sesat selama kau berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.” (HR.Malik)
Latar belakang para Ahli Ushul dalam mendefinisikan sunnah yaitu bahwa Rasulullah SAW adalh penentu atau pengatur undang-undang yang pertanda kepada insan wacana aturan-aturan kehidupan (dustur al-hayat) dan meletakkan dasar-dasar metodologis atau kaidah-kaidah bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya dalam menjelaskan dan menggali syariat islam. Sehingga segala sesuatu wacana Rasul yang tidak mengandung aturan syara’ tidak sanggup disebut sebagai sunnah.[2] Sudut pandang menyerupai ini berdasarkan QS. Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka ialah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, bawah umur yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, semoga harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
c. Pengertian sunnah berdasarkan Ahli Fiqih
“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain yang difardlukan dan diwajibkan dan termasuk aturan (taklifi) yang lima.”
Para Fuqoha[3] apabila mereka berkata kasus ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa pekerjaan itu mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada setiap orang yang baligh dan berilmu dengan tuntutan yang tidak mesti. Dengan kata lain, tuntutan tersebut tidak fardlu dan tidak wajib.
Dalam hal ini dimaksudkan sunnah ialah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak dituntut (tidak berdosa) apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah pertanda bahwa sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua, atau tiga perawi dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah ialah praktek faktual yang dikarenakan telah usang ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah ialah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara faktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup usang tidak hanya dipandang sebagai praktek yang faktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, jikalau kata sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah aturan syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW baik beruipa perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah maka yang dimaksudkannya ialah Al-Qur’an dan Hadits.