Islam Larangan Banyak Bertanya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang pasti dalam fikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, baik dalam pelajaran, pekerjaan,maupun yang berhubungan  dengan agama, sebetulnya dalam bertanya ada batas-batasa nya, mana kala ada yang boleh ditanyakan dan apa yang boleh ditanyakan
A.    Rumusan masalah
1.      Apa saja yang boleh ditanyakan dalam islam  ?
2.      Mengapa tidak boleh bertanya dalam islam ?
3.      Hal-hal apa saja yang tidak boleh islam  dalam konsep bertanya ?
B.     Tujuan Masalah
1.      Untuk Mengetahui Apa saja yang boleh ditanyakan dalam islam
2.      Untuk Mengetahui Mengapa tidak boleh bertanya dalam islam
3.      Untuk Mengetahui Hal-hal apa saja yang tidak boleh islam  dalam konsep bertanya
C.      Manfaat Masalah
Untuk Memberikan gosip dan sanggup dipahani kepada penulis dan pembaca wacana otonomi daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak bertanya yaitu salah satu sifat dari Yahudi, mereka bertanya bukan untuk cita-cita untuk mengamalkan pertanyaan yang mereka tanyakan, mereka hanya sekedar bertanya dan untuk menciptakan orang yang mereka usikan menjadi bingung, sungguh ini yaitu sifat yang sangat di benci oleh Allah S.W.T.
Contoh yang boleh diambil dari kisah terdahulu dalam hal petanyaan yang tidak boleh :
 kita ambil yaitu sewaktu turunnya ayat yang memerintahkan kewajipan melaksanakan haji, maka ketika itu ada yang bertanya kepada Rasulullah S.A.W; Adakah haji itu pada tiap-tiap tahun ya Rasulullah? Rasulullah mendengar pertanyaan itu tetapi tidak diendahkannya, sehingga orang itu mengulang pertanyaannya sebanyak dua kali. Lalu baginda menjawab;
Hampir sahaja saya menjawab ya! Kalau saya berkata ya, tentulah jadi wajib tiap-tiap tahun. Kalau demikian, kau tiada sanggup mengerjakannya. Maka biarkanlah apa yang saya tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian yaitu kerana banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila saya melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila saya memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”
[Muttafaqun ’alaihi]
Kemudian sesudah itu, Allah S.W.T menurunkan ayat:
“Hai orang beriman! Janganlah kau bertanya dari sesuatu yang kalau dijelaskan kepada kamu, tentu akan menyusahkan kamu“
[Al-Ma'idah:101]
Lantaran itu, daripada hadis dan ayat al-Quran di atas, nyatalah bahawa seseorang Muslim itu hendaklah melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang tidak boleh dan jangan membangkitkan sesuatu yang tidak diterangkan atau perkara-perkara yang sulit untuk difahamkan, atau mengakibatkan duduk kasus yang menyusahkan. Hadis ini tidaklah bermakna bertanya itu tidak boleh sama sekali, tetapi bermakna larangan untuk bertanya kasus yang bukan-bukan dan merumitkan diri sendiri.
Banyak Bertanya Untuk Mengejek dan Bermegah-megah dengan Ilmu
Kembali semula kepada hadis kedua yang telah dinyatakan sebelum ini, pada ungkapan “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian yaitu kerana banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka“, kenyataan ini merujuk kepada golongan yang sengaja bertanya dengan tujuan untuk mengejek dan memperlihatkan kedegilan hatinya sepertimana yang telah dilakukan oleh kaum kuffar. Mereka telah bertanyakan kepada Rasulullah S.A.W wacana bilanya tiba hari Qiamat dengan tujuan mempersendakan kebenaran wahyu yang dibawa oleh baginda S.A.W sebagaimana yang telah diceritakan di dalam al-Quran, melalui surah al-Qiyamah ayat ke-6 yang bermaksud:
“Dia bertanya (secara mengejek): Bilakah datangnya hari kiamat itu?“
Malah di dalam al-Quran turut menceritakan bagaimana pertanyaan umat-umat terdahulu kepada nabi mereka yang kesannya pertanyaan itu telah kembali menyusahkan mereka. Antara kisah yang utama ialah kisah baqarah iaitu sapi betina yang diperintah kepada Bani Israel untuk disembelih atas tujuan tertentu yang telah diperintahkan. Namun mereka tidak mahu melaksanakan perintah itu selagi mana mereka tidak diberikan klarifikasi satu persatu sedangkan berdasarkan perintah asal, mereka boleh sahaja menyembelih mana-mana lembu yang mereka kehendaki. Tetapi mereka enggan melaksanakannya begitu sahaja malah ditanya pula wacana ciri-ciri lembu tersebut termasuklah umurnya, warnanya dan keadaannya. Maka lihatlah bagaimana mereka telah mengakibatkan urusan tersebut menjadi sukar kerana lembu yang kesannya dikehendaki (setelah mereka banyak sangat bertanya) tidak gampang didapati melainkan seekor sahaja dan harganya pula terlalu mahal namun terpaksa juga mereka membelinya untuk disembelih demi memenuhi perintah itu.
Termasuk juga dalam larangan “banyak bertanya” ini adalah, segala macam pertanyaan dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan yang mana orang yang menganjurkan pertanyaan itu bukanlah untuk menambah ilmunya atau untuk bersedekah bahkan tetapi untuk bermegah-megah atau bertengkar-tengkar (untuk menunjuk-nunjuk ilmu yang dia miliki). Dan jenis ini berdasarkan Saidina Ali R.A , yaitu sejenis fitnah yang akan terjadi pada kiamat dan saya rasa kita sendiri sudah banyak melihat situasi-situasi sebegini melanda masyarakat kita pada hari ini. Menurut riwayat, Saidina Umar R.A pernah bertanya kepada Saidina Ali; Bilakah fitnah itu akan berlaku? Maka jawab beliau: “Apabila seseorang mencar ilmu bukan kerana agama, bukan kerana amal, dan mencari dunia dengan amal darul abadi ” atau dalam erti kata lain, mempergunakan ilmu agama untuk kepentingan duniawi. Hakikatnya, inilah realiti yang kita hadapi pada hari ini.[1]
Dari Abu Hurairah ‘ abdurrahmadn bin shakhr radhiyallaahhu’anhu, ia berkata, “ saya mendengar Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘ aa yang saya larang darinya maka jauhilah, dan apa yang ku perintahkan kalian dengannya maka kerjakanlah semampu kalian. Karna sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian yaitu karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi para Nabi mereka.’”(HR. AL-BUKHARI dan Muslim)
Sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah
1.      karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar’i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara berdasarkan wahyu semata, maka datangnya balasan wacana duduk kasus yang dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita’ati), menyerupai pertanyaan wacana apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak?
Dalam sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad dan ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar dosanya yaitu orang yang bertanya wacana sesuatu yang tidak diharamkan maka karena pertanyaannya hal itu (kemudian) diharamkan “.
2.      ditakutkan bahwa dengan pertanyaan itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, menyerupai pertanyaan yang berkaitan dengan aturan Li’an ; yaitu pertanyaan seseorang kepada Nabi perihal sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin akan terjadi terhadap keluarganya dan ternyata karena pertanyaan itu hal tersebut benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan at-Turmuzi dan Shahih Ibnu Hibban).
Jadi, bila himmah/keinginan si pendengar begitu mendengar perintah dan larangan hanya diarahkan kepada penciptaan masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan terjadi dan kemungkinan tidak terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam larangan tersebut yang dibenci untuk bertanya-tanya tentangnya alasannya yaitu hal itu malah akan mematahkan semangat untuk mengikuti perintah tersebut.
Dan hal ini pula yang mengakibatkan Ibnu ‘Umar memarahi seseorang yang bertanya kepadanya wacana aturan menyalami hajar aswad, maka lantas hal itu dijawab oleh Ibnu ‘Umar, yang artinya : “aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya”. Orang tersebut berkata kepadanya : bagaimana kalau saya tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ? bagaimana kalau sedang dalam keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu ‘Umar menjawab :”jadikan ungkapanmu ‘bagaiman jika’ itu di negeri Yaman saja !(barangkali si penanya ini berasal dari negeri Yaman yang memang penduduknya suka menciptakan pernyataan semacam itu atau hal semacam itu merupakan kebiasaan yang ada di negeri Yaman-penj), saya telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya “. (dikeluarkan oleh at-Turmuzi).
Maksud Ibnu Umar dalam riwayat tersebut yaitu bahwa jadikanlah keinginanmu semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan bayangan-bayangan kemungkinan tidak sanggup melaksanakan hal itu atau karena sulitnya melaksanakan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. Bukankah tafaqquh (mendalami syari’at) hanya terdapat dalam agama dan bertanya wacana ilmu hanya dipuji bilamana hal itu untuk dilakukan/dipraktekkan bukan hanya untuk berdebat dan mencari muka?.[2]
Di antara pertanyaan yang baik yaitu pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang sebetulnya sudah tahu jawabannya, namun ia lontarkan pertanyaan di majelis supaya diketahui jawabannya oleh orang-orang yang hadir di majelis itu. Sebagaimana yang dilakukan Jibril yang menanyakan wacana Islam, Iman, Ihsan, dan gejala hari kiamat (H.R Muslim)
Adapun perilaku bertanya yang tercela, di antaranya yaitu :
1.      Banyak bertanya pada ketika masih turunnya wahyu, sehingga dikhawatirkan memberatkan kaum muslimin (Q.S al-Maidah:101)
2.       Bertanya-tanya wacana diam-diam di balik takdir, yang hanya Allah saja yang tahu. Contoh : bertanya mengapa si A ditakdirkan begini, sedangkan si B ditakdirkan demikian?
 وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا
Jika disebutkan wacana takdir, maka tahanlah (diamlah) (Shahihul Jaami’ no 546).
3.      Bertanya wacana kaifiyat Sifat Allah.
Seperti pertanyaan : Seperti apa Wajah Allah? Bagaimana bentuk istiwa’ Allah di atas ‘Arsy? Semua itu tidak ada yang tahu kecuali Allah.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
dan tidak ada yang tahu takwilnya (kaifiyat /makna secara menyeluruh) kecuali Allah… (Q.S Ali Imran:7)
4.      Sekedar bertanya tidak untuk mengamalkannya, atau tidak untuk memahami makna ayat dan hadits (menambah iman), hanya sekedar menguji ustadz atau Syaikh.
5.      Bertanya wacana permasalahan yang tidak akan pernah terjadi.
6.       Banyak bertanya pada ketika kondisi Ustadz atau Syaikh sudah capek, letih, dan semisalnya.
Para Sahabat Nabi menjaga adat untuk bertanya. Mereka tidak menambah pertanyaan karena merasa kasihan dengan Nabi.Simaklah adat dari perkataan Ibnu Mas’ud :
حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
demikianlah Nabi mengkhabarkan kepadaku, yang sebetulnya kalau saya minta tambah penjelasan, pasti dia akan menambahinya.. (H.R Muslim)
Nabi yaitu insan yang paling dermawan, termasuk dalam hal memberi jawaban. Sebenarnya, kalau Sahabat terus bertanya, akan terus dijawab oleh Nabi, namun hal itu tidak dilakukan Sahabat karena menjaga adat kepada Nabi.[3]
ADAB- ADAB DALAM ISLAM DALAM  BERTANYA :
Seorang penanya hendaklah mempunyai adab-adab dalam bertanya supaya dia bisa mengambil manfaat dari pertanyaan tersebut. Diantara adab-adab tersebut:
1.      Ikhlash dalam bertanya
Diantara ikhlash dalam bertanya yaitu bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita atau diri orang lain, bukan untuk berdebat kusir atau sombong dihadapan para ulama atau riya (supaya dikatakan orang yang bersemangat menuntut ilmu).
Rasulullah  bersabda:
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang ndeso atau untuk menarik perhatian insan maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” (HR. At-Tirmidzy 5/32 no.2654, dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany)
Berkata Ibnul Qayyim:
وقيل إذا جلست إلى عالم فسل تفقهاً لا تعنتاً
“Telah dikatakan: Jika anda duduk bersama seorang ‘alim (ahli ilmu) maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” (Miftah Daris Sa’adah 1/168)
2.      Memperbagus pertanyaan
Berkata Ibnul Qayyim:
وللعلم ست مراتب أولها حسن السؤال…فمن الناس من يحرمه لعدم حسن سؤاله أما لأنه لا يسأل بحال أو يسأل عن شيء وغيره أهم إليه منه كمن يسأل عن فضوله التي لا يضر جهله بها ويدع ما لا غنى له عن معرفته وهذه حال كثير من الجهال المتعلمين ومن الناس من يحرمه لسوء إنصاته فيكون الكلام والممارات آثر عنده وأحب اليه من الانصات وهذه آفة كامنة في أكثر النفوس الطالبة للعلم وهي تمنعهم علما كثيرا ولو كان حسن الفهم
“Ilmu mempunyai 6 tingkatan, yang pertama yaitu bagusnya pertanyaan… dan sebagian orang ada yang tidak mendapat ilmu karena jeleknya pertanyaan, mungkin karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya wacana sesuatu padahal disana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan menyerupai bertanya wacana sesuatu yang sebetulnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini yaitu keadaan kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh.( Miftah Daris Sa’adah hal:169)
Diantara pertanyaan yang elok yaitu pertanyaan wacana ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu yang memperlihatkan kita kepada kebaikan dan mengingatkan kita dari kejelekan. Adapun yang selainnya maka itu akan membawa mudharat atau tidak ada faidahnya.
Allah telah menyebutkan di dalam Al-Quran sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat menyerupai pertanyaan orang-orang musyrik wacana kapan hari kiamat (Al-A’raf:187) dan pertanyaan orang yahudi wacana ruh (Al-Isra': 85), Atau pertanyaan wacana sesuatu yang mustahil terjadi atau jarang sekali karena itu termasuk berlebih-lebihan dan berprasangka belaka.
3.      Menggunakan cara yang baik dalam bertanya
Diantaranya yaitu berlemah lembut dalam bertanya karena yang demikian itu akan menjadikan yang ditanya memperlihatkan ilmunya sebaik-baiknya.
Berkata Az-Zuhry:
وكان عبيد الله يلطفه فكان يعزه عزا
“Dahulu Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin ‘Utbah, seorang tabi’in) berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka dia (Ibnu ‘Abbas) memberinya ilmu yang banyak” (Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal di Al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal 1/186, dan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250)
Dan berkata Ibnu Juraij:
لم أستخرج الذي استخرجت من عطاء إلا برفقي به
” Tidaklah saya mengambil ilmu ‘Atha kecuali dengan kelembutanku kepadanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/423)
Diantara kebaikan dalam bertanya yaitu mencari situasi dan kondisi yang sempurna untuk bertanya.
4.      Berdiskusi dengan cara yang baik kalau ada yang tidak disetujui dari balasan orang yang ditanya.
5.      Tidak mengadu domba diantara hebat ilmu menyerupai mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) menyampaikan demikian, dan yang demikian termasuk kurang beradab. Namun kalau memang harus bertanya maka hendaklah mengatakan: Apa pendapatmu wacana ucapan ini? Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan. (Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syeikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syeikh ‘Utsaimin hal: 178 )[4]
BAB III
KESIMPULAN
Dalam uraian diatas pemakalah sanggup mnyimpulkan ada beberapa di dunia ini yang boleh di pertanyakan dan ada juga yang tidak boleh, apalagi yang menyangkut wacana wahyu allah, didalam alqur’an semua balasan atas pertanyaan-pertanyaan kita sudah tertera, sehingga jangan lah bertanya hal-hal yang akan mempersulit kita nantinya. Dan juga kita juga dianjurkan bertanya tapi dengan syarat, segala sesuatu yang kita tanyakan itu bertujuan untuk menambah ilmu dan mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Banyak Bertanya: Antara Larangan dan Tuntutan  diakses pada http://langitilahi.com/16461/
Anjuran melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Rosululloh () semampunya dan larangan banyak bertanya diakses pada http://abuzuhriy.com/anjuran-melakukan-perintah-dan-menjauhi-larangan-rosululloh-%EF%B7%BA-semampunya-dan-larangan-banyak-bertanya/
Sikap Terhadap Perintah dan Larangan Nabi (Hadist ke-9 Arbain Annawiyyah) diakses pada http://salafy.or.id/blog/2012/05/30/sikap-terhadap-pemerintah-dan-larangan-nabi-hadist-ke-9-arbain-annawiyyah/
ADAB DALAM BERTANYA diakses pada https://salafiyunpad.wordpress.com/2009/07/22/adab-di-dalam-bertanya/#more-2426



[1] Banyak Bertanya: Antara Larangan dan Tuntutan  diakses pada http://langitilahi.com/16461/
[2]Anjuran melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Rosululloh () semampunya dan larangan banyak bertanya diakses pada http://abuzuhriy.com/anjuran-melakukan-perintah-dan-menjauhi-larangan-rosululloh-%EF%B7%BA-semampunya-dan-larangan-banyak-bertanya/
[3]Sikap Terhadap Perintah dan Larangan Nabi (Hadist ke-9 Arbain Annawiyyah) diakses pada http://salafy.or.id/blog/2012/05/30/sikap-terhadap-pemerintah-dan-larangan-nabi-hadist-ke-9-arbain-annawiyyah/
[4]ADAB DALAM BERTANYA diakses pada https://salafiyunpad.wordpress.com/2009/07/22/adab-di-dalam-bertanya/#more-2426

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel