Cinta, Akhlak, Amal Shaleh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam yakni satu-satunya agama yang tiba dari Allah SWT, untuk menusia, fungsinya sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupannya. Islam yakni agama yang lintas zaman, geografi, budaya dan sejenisnya. Islam mengajarkan kita untuk saling menghargai dan mengasihi diri, mengasihi sesama mengasihi lingkungan dan yang niscaya mengasihi Allah SWT.
Kata “cinta” cukup umur ini terkesan milik kristen. Padahal nabi di utus ke dunia ini justru untuk membangun “akhlak”. Sedangkan etika dibangun untuk atas dasar keyakinan dan cinta. Dikalangan sufi, cinta yakni prinsip tertinggi moralitas (akhlak). “Amal shaleh” sebagai wujud konkrit etika dan buah keyakinan malah syarat dengan verbal cinta.
B. Tujuan
ini dibentuk untuk memenuhi salah satu syarat mata pelajaran agama.
BAB II
PEMBAHASAN
CINTA, AKHLAK, AMAL SHALEH
A. Cinta Sebagai Wujud Iman dan Akhlak
Kata cinta cukup umur ini tampaknya milik umat Kristian kata “cinta”, kasih kristus, kasih Bapak di Surga, dan ungkapan cinta lainnya begitu banyak diungkapkan oleh pendeta di gereja.
Sementara kata bernada kekerasan, menyeramkan dan membebani ditimpakan kepada Islam. Bahkan saat para mahasiswa ditanyakan ihwal qishash, aturan cambuk dan aturan potong tangan, mereka menjawab bahwa itu semua kejam dan melanggar HAM.
Islam memang bicara wajib, haram, rajam, cambuk qishash, jihad, perang dan neraka tapi Al-Qur’an pun bicara ihwal ruhshah (dispensasi), taysir (kemudahan), basyir (memberi kebar gembira), perhiasan, maaf, syafa’at, nirwana tak terkecuali al-hubungan (cinta).
Al-Qur’an menyebutkan bahwa dalam qishash yakni eksekusi mati, tampaknya Al-Qur’antara lain : ini menegaskan bahwa memang qishash itu eksekusi mati. Tapi dengan cara ini umat insan akan terselamatkan dari tindakan saling bunuh diantara anak cucu dan kerabat sang terbunuh sekaligus sebagai pelajaran bagi kita sehingga berfikir ribuan kali saat hendak membunuh.
Dikalangan sufi, cinta yakni prinsip etika dan moralitas. Dengan kata lain, etika dan moral tidak akan ada tanpa cinta. Menurut sufi beribadah dan bersedekah saleh yang kita kerjakan hendaknya dalam rangka “cinta” kepada Allah, bukannya mengharapkan nirwana atau takut neraka. Bila mengharapkan nirwana atau takut neraka berarti kita telah terjerumus ke dalam kemusyrikan kerena hanya mengejar, “makhluk” Tuhan, bukannya menuju Tuhan yang Maha Esa.
Maqam (tingkatan) “cinta” (mahabah) sebagai maqam tertinggi sufi tidak sanggup di kejar dengan pengetahuan dan peribadatan. Sebelum maqam mahabah ini terlebih dahulu kita harus mengejar maqam ma’rifat (mengenal Allah dengan ilmu yakin. Dengan pengkajian mendalam) dan maqam-maqam di bawahnya, diantaranya menghilangkan segala perilaku egois dan cinta dunia, kemudian mengisinya dengan ilmu yakin, peribadatan yang ikhlas, dan amal shaleh alasannya yakni dan untuk menuju ke abadian Allah SWT.
Untuk menggapai “cinta” abadi, terlebih dulu kita perlu mengenali apa saja penyebab adanya cinta :
1. Cinta “diri” masing-masing kita begitu cinta terhadap diri sendiri sehingga kita begitu egois dan mementingkan diri sendiri cinta harta, kedudukan, kehormatan dan apa saja yang melekat pada diri kita tidak ada apa-apanya sama sekali tanpa ditempel pada cinta Illahi.
2. Cinta pada orang lain. Kita biasanya memperlihatkan cinta kepada orang lain alasannya yakni orang lain itu memperlihatkan cinta dan kebaikan pada kita, semakin besar dan banyak kebaikan yang diberikan, maka semakin besar pula cinta kita kepada orang itu.
Imam Ghazali menerangkan 2 cara mengasihi Allah yaitu :
1. Melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, bukan berarti melepas diri sama sekali dengan dunia melainkan justru menguasai dunia
2. Mengeluarkan kotoran-kotoran hati
· Tanpa Cinta Berarti Tiada Iman
Cinta di sebut-sebut Nabi sebagai verbal keimanan. Tadi keyakinan bukanlah sebuah keyakinan “nol” melainkan suatu keyakinan yang disertai cinta, sedangkan tinggi-rendahnyacinta sanggup diukur dari seberapa besar tinggi –rendahnya pengorbanan.
Para nabi teladan- pola umat itu justru mengekspresikan keimanan mereka dalam bentuk cinta. Allah menghendaki didatangkannya para Nabi itu untuk memperlihatkan pola dalam keimanan dan kecintaan.
B. Apa dan Bagaimana Ahlak
· Tindakan Akhlaki
Ungkapan etika dimaksudkan untuk menyebutkan “akhlak al-karimah” (akhlak mulia) atau etika al-mahmudah san sebagai lawannya yakni etika jelek atau etika yang biasa-biasa
Dalam arti yang luas etika didefinisikan sebagai segala tindakan yang baik, yang mendatangkan pahala bagi orang yang mengerjakannya, atau segala tindakan yang didasarkan pada perintah syara yang wajib, surat yang haram atau makruh.
Adapun untuk pengertian yang terbatas etika hanya dimaksudkan untuk tindakan yang baik, etis dan pelakunya memang patut di puji.
· Ciri-ciri Perbuatan Akhlak yaitu :
1. Akhlak merupakan suatu tindakan yang baik
2. Akhlak merupakan suatu tindakan ikhtian yang patut dipuji, tindakan ikhtian, suatu tindakan yang digerakan oleh usaha
3. Akhlak merupakan buah dari keimanan
4. Akhlak bersifat fitri
5. Akhlak bersifat ta’abbudi, misi utama kenaban yakni untuk menyempurnakan akhlak
6. Akhlak merupakan moral dan etika universal
7. Pelanggaran terhadap etika akan dikutuk masyarakat
8. Pelanggaran terhadap etika dikutuk hati nurani
· Faktor yang Memperkuat dan memperlemah Akhlak
o Faktor yang memperkuat
1. Mantapnya keimanan
2. Terbimbing oleh seorang guru yang shaleh
3. Memiliki pengetahuan agama yang cukup dan benar
4. Memiliki filosofah hidup yang baik yang sesuai dengan substansi anutan islam
5. Memiliki lingkungan pergaulan yang baik
6. Visioner seorang yang mempunyai wawasan ke depan akan mempertimbangkan segala perilaku dan tindakannya
7. Memiliki pekerjaan dan aktivitas
8. Terpenuhinya kebutuhan pokok
o Faktor yang memperlemah etika :
1. Hidup mewah
2. Miskin
3. Lingkungan pergaulan yang buruk
4. Menganggur
5. Minim pengetahuan agama
6. Negative thinking
C. Amal Shaleh
Nabi Muhammad SAW mendefinisikan keyakinan dengan sejumlah amal shaleh
Talaludin Rakhmat mengungkapkan bahwa sering kali keyakinan di tandai dengan bentuk amal sosial dari pada amal shaleh yang bersifat ritual
Ibadah ritual tolong-menolong tidak banya contohnya shalat, shaum, zakat, haji dan lain-lain, yang dimaksudkan secara eksklusif “menyembah Allah”. Kebanyakan ibadah ini mengandung dimensi sosial. Seperti zakat dan aqiqah, membagikan harta dan mengundang makan tetangga.
Masih berdasarkan Talaluddin Rakhmat. Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosialnya lebih besar daripada dimensi ritual. Alasannya :
1. Al-Qur’an mengemukan ciri-ciri orang mukmin. Misalnya berbahagialah orang yang beriman yaitu orang yang khusyu dalam shalat, yang mengeluarkan zakat dan lain-lain
2. Bila mengerjakan ibada ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial kita diberi pelajaran untuk mendahulukan kepentingan sosial contohnya , saat nabi sedang shalat sunat dia berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang
3. Kalau ibadah ritual itu tercatat, kita di anjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Contohnya saat melanggar chaum kita dianjurkan membayar fidyah (memberi makan kepada pakir miskin).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Islam bukan hanya mengajarkan ihwal kekerasan, hukum-hukum dan kewajiban yang sifatnya mengekang tapi juga mengajarkan kita bagaimana mencintai, kasih sayang terhadap sesama dan mencar ilmu menyebarkan dengan sesama
Dengan adanya cinta akan tercipta juga amal shaleh
B. Saran
Hendaknya kita sebagai muslim berakhlak yang baik, mengasihi dan mengasihi sesama.