Ontologi Filsafat Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologis; cabang ini menguak wacana objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana kekerabatan antara objek tadi dengan daya tangkap insan (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Objek telaah ontologi yaitu yang ada. Studi wacana yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan dikala kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas wacana yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas wacana yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi yaitu hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi wacana kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para hebat selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi yaitu abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi alasannya dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, tubuh itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sehabis realitas kesimpulan; dan term tengah menyampaikan jawaban realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi alasannya dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi jawaban dari realitas dalam kesimpulan.[2]
B. EPISTIMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah potongan paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi yaitu bagaimana kau mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan wacana apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga wacana bagaimana (how) kita hingga mengetahuinya (the process). Para epistemolog yaitu para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau sanggup mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka yaitu para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita sanggup dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu mempunyai beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga sanggup mengetahui. Mereka oke dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang niscaya dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim keberadaan premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon anutan ini seolah menenggelamkan insan kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita sanggup mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan niscaya sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya menyampaikan mungkin (possible), bukan niscaya (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang sanggup diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang meliputi suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berafiliasi dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja anutan ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melaksanakan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang sanggup mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide yaitu produk budi (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya yaitu analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari budi mengurai isyarat pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita wacana dunia eksternal hadir melalui pikiran sehat terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita sanggup selalu bersandar pada budi kita dan percayalah bahwa pengetahuan niscaya itu ada, kebenaran diktatorial itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab biar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak yaitu orang yang bisa mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan yaitu bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi yaitu bidang kiprah filsafat yang meliputi identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini yaitu kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik lantaran sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang meliputi pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan wacana konsep pendidikan:
1. Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan yaitu suatu proses untuk mengakibatkan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
2. Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk menyebarkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
3. Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah kerikil (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan yaitu proses memberi dan mendapatkan (give and take) antara insan dengan lingkungannya. Di sana seseorang menyebarkan atau membuat kemampuan yang diharapkan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibuat sikap dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi insan dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing yaitu alat sekaligus simpulan bagi yang lainnya. Mereka yaitu proses dan juga produk.
4. Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai acara berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya yaitu aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan acara identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) penilaian (the evaluative), berkaitan dengan acara kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berafiliasi dengan pelahiran budi gres dari budi yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
5. Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk dari acara berfilsafat yaitu pemahaman (understanding), yakni penjelasan kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan sanggup dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital yaitu suatu berdiri pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.
C. AXIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara historis, istilah yang lebih umum digunakan yaitu adat (ethics) atau moral (morals). Tetapi remaja ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih dekat digunakan dalam obrolan filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian wacana baik dan jelek (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta wacana cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk sikap etis. Ia bertanya ibarat apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara wacana moralitas, yakni menggunakan kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis wacana kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka membuat atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada insan (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau diktatorial itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi lantaran ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam kekerabatan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada keberadaan atau sikap manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur sikap individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari pikiran sehat insan dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melaksanakan sesuatu yang benar dikala ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melaksanakan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Makara dengan budi atau kiprah Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, diktatorial yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan insan bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing sikap manusia. Pendekatan naturalis meliputi teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak diktatorial atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga anutan sebelumnya memilih konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan adat bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan verbal emosi-emosi atau tingkah laris (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi potongan penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan yaitu sebuah axiological tragicomedy.
BAB III
KESIMPULAN
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang mempunyai pandangan yang bersifat ontologis dikenal ibarat Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales populer sebagai filsuf yang pernah hingga pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) yaitu cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, contohnya wacana apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan berafiliasi dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh insan melalui budi dan panca indera dengan banyak sekali metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan wacana kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
DAFTAR BACAAN
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.
Wikipedia. Epistemologi. http//wikipedia/epistemologi/ontologi