Dampak Ancaman Ekonomi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri terutama industri menengah dan kecil. Dengan adanya ACFTA, hal in menjadi monster yang menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai banyak sekali pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin bermacam-macam dan meningkat. Maka dari itu, efek akan perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China harus lebih diperhatikan. Hal ini perlu adanya solusi, anutan dan sikap/ mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan global ini.
B. Maksud dan Tujuan
• Tujuan diadakannya penyusunan makalah in ialah guna memenuhi salah satu kiprah mata kuliah Perekonomian Indonesia.
• Maksud dari adanya penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
a) menilai efek positif dan negatif dari adanya ACFTA
b) mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
c) Menganalisis seni administrasi persiapan Indonesia yang dilakukan sebelum terlaksananya perjanjian ACFTA
C. Metode Penelaahan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis memakai metode pustaka, banyak sekali tumpuan dari artikel koran serta pencarian situs website.
BAB II
PERSIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA
ACFTA merupakan salah satu bentuk kolaborasi liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China? Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan bisa memberi bantuan positif memperkuat daya saing global.
Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia (Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini berperan menampung keluhan terkait kendala pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA yang dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin eksklusif oleh Menko Perekonomian, Deputi Menko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi Putra ini menyoroti kebijakan, potensi gangguan ekspor impor dan pemanfaatan peluang.
Dengan adanya tim ini sanggup dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa digunakan untuk mengidentifikasi banyak sekali problem yang perlu ditangani demi memperkuat daya saing industri nasional di ajang kompetisi ACFTA. Namun, pada kenyataannya, pembentukan tim tersebut kurang cukup membantu dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan masih minimnya daya saing produk Indonesia yang menjadi tombak perekonomian. Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya ialah kiprah dari seni administrasi perdagangan dan industri. Tanpa seni administrasi industri dan perdagangan, suatu negara mustahil membangun industri yang kompetitif dan produktif.
Apabila dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi persaingan, sedikitnya ada 14 sektor perjuangan yang harus dirundingkan ulang (renegoisasi) untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun kedepan (Media Indonesia, edisi 19 Januari 2010). Maka dari itu, kalangan industri harus melaksanakan pembenahan lantaran persaingna terbuka tidak bisa dihindari.
BAB III
ABSENSINYA STRATEGI INDONESIA
Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang sempurna dan efisien diharapkan guna memenangkan persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia mangkir seni administrasi dibandingkan dengan China. Hal ini sanggup kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai berikut :
1) sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China menentukan untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk membuat daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China menentukan memanfaatkan kerikil bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain tanggapan kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi lantaran PLN tidak menerima pertolongan pasokan energi murah baik kerikil bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia mempunyai kekayaan energi alam yang tidak kalah jikalau dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih menentukan menjadikan kerikil bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan seni administrasi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
2) Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai seni administrasi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada dikala krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility yakni memperlihatkan fasilitas pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk menjaga ajakan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk menentukan nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing banyak sekali produk ekspor. Tanpa seni administrasi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter karenanya memang tidak terarah dan karenanya meguntungkan sektor keuangan daripada riil.
3) Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya mempunyai industri perakitan (hulu) untuk produk elektro dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektro yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah materi baku.
BAB IV
DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Dalam hal ini, terdapat efek positif dan negatif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia.
a) Dampak Negatif
Pertama: serbuan produk ajaib terutama dari Cina sanggup mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, kiprah industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra perjuangan strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar sampai Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk ajaib dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah perjuangan dari produsen di banyak sekali sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% sampai 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup ialah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jikalau diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai tampak semenjak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat bahagia dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
Ketiga: abjad perekomian dalam negeri akan semakin tidak berdikari dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” menyerupai jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
Keempat: jikalau di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia mempunyai kemampuan andal bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data memperlihatkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina semenjak 2004 sampai 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang ialah ekspor materi mentah, bukannya hasil olahan yang mempunyai nilai tambah menyerupai ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” materi mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja gres bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
b) Dampak Positif dari adanya ACFTA
Pertama: ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut sanggup diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA
Kedua : dengan adanya ACFTA sanggup meningkatkan voume perdagangan. Hal ini di motivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir sanggup meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi
Ketiga : ACFTA akan kuat positif pada proyeksi keuntungan BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor keuntungan bersih, prosentase pay out ratio atas keuntungan juga menentukan besarnya dividen atas keuntungan BUMN. Keoptimisan tersebut, lantaran dengan adanya AC-FTA, BUMN akan sanggup memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan sanggup menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula ( pemaparan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI dewan perwakilan rakyat di Gedung dewan perwakilan rakyat RI, Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas keuntungan BUMN dikala ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan sanggup menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
BAB V
TESTIMONI ACFTA
Dengan adanya ACFTA terjadilah Pros dan cons diantara para pelaku ekonom, maka dari itu terdapat beberapa testimoni mengenai ACFTA yang berdampak bagi perekonomian Indonesia.
1) Ketua Komisi VI dewan perwakilan rakyat F-Partai Golkar, Airlangga Hartarto :
“Kita minta kepada pemerintah secepatnya membuat kebijakan yang sempurna untuk menyambut ACFTA, lantaran kita paham tak semua sektor riil itu siap menghadapi ACFTA, jadi memang ada beberapa yang belum siap, bahkan tak siap,” katanya,.
2) Jakarta, 19 Januari 2010 (Business News) :
”Dengan dibukanya perdagangan ASEAN - China Free Trade Agreement (AC-AFTA) cukup mengerikan bagi Indonesia”, ujar Benny A. Kusbini selaku Ketua Harian Dewan Hortikultura Indonesia, dalam perbincangannya dengan Business News, Senin (19/1) mengatakan, lantaran tanpa ada FTA saja, produk China sudah banyak melanglang buana di Indonesia.
3) Harga menentukan kualitas begitu bukan pak Erias, “You Get What You Pay For”.
Barang2 China mungkin cocok untuk masyarakat kita yang daya belinya rendah, sedangkan dengan harga dan kualitas produk lokal yang tinggi bisakah kita “menggempur” pasar luar yang memang mempunyai selera tinggi? (Herdy FN, mahasiswa Trisakti)
4) Uki Masduki Mahasiswa STIE Ahmad Dahlan, Jakarta :
Dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain, Indonesia diharapkan sanggup meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Bukan lantaran dilatarbelakangi ketakutan terhadap efek trade diversion, yaitu ketakutan kehilangan potensi ekspor ke negara tertentu. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan tingkat tarif relatif rendah, ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar Negeri Tirai Bambu itu.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.
2) Kalahnya seni administrasi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.
3) ACFTA dipandang terlalu garang untuk melaksanakan liberalisasi ekonomi Indonesia yang menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.
4) ACFTA mengakibatkan efek Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dipungkiri efek negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara ini.
B. Saran
1) Pemerintah sepatutnya melaksanakan langkah antisipatif untuk memperlihatkan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta kanal intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
2) UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini sanggup dilakukan dengan cara memperlihatkan dispensasi terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
3) Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan materi baku lokal untuk banyak sekali sektor infrastruktur
DAFTAR PUSTAKA