Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu, Buddha, Dan Islam Di Indonesia
Sebelum datangnya dampak Hindu–Buddha dan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah mengenal kehidupan religius yang dijadikan pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupannya. Hampir setiap kegiatan selalu dilandasi dengan upacara religius, baik dalam kegiatan mata pencaharian, budbahasa istiadat perkawinan, tata cara penguburan, selamatan-selamatan (Jawa=slametan), maupun dalam kehidupan lainnya. Mereka patuh menjalankan pranata-pranata yang berbau religius dan magis tersebut lantaran mereka beranggapan bahwa apabila terjadi pelanggaran akan mendapat kutukan dari arwah nenek moyang yang dampaknya akan mendatangkan tragedi terhadap warga masyarakatnya.
Tradisi kehidupan religius ini semula bentuknya masih sangat sederhana (sebelum dampak Hindu–Buddha merupakan tradisi lokal) sehingga saat dampak Hindu–Buddha masuk ke Indonesia, tradisi lokal ini tidak musnah melainkan justru makin berkembang. Hal ini dikerenakan dampak Hindu–Buddha juga menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat, hanya saja cara-cara dan upacara religusnya bersumberkan pada anutan Hindu–Buddha.
Demikian juga saat dampak Islam masuk juga ikut mewarnai kehidupan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia. Segala kegiatan kehidupan masyarakat yang menganut agama Islam, bersumber pada anutan agama Islam. Dengan demikian dari masa Purba hingga dengan masuknya dampak Islam, kehidupan tradisi-tradisi tersebut masih tetap berlangsung dan mendapat tempat sendiri-sendiri di kalangan masyarakat sesuai dengan kondisi tempat dan tingkat iman masyarakat yang bersangkutan. Bentuk-bentuk perpaduan antara tradisi lokal, Hindu–Buddha, dan Islam di dalam kehidupan masyarakat, antara lain sebagai berikut.
1. Pertunjukan Wayang
Salah satu bentuk tradisi warisan nenek moyang kita ialah pertunjukan wayang yang bisa bertahan berabad-abad lamanya dan mengalami perubahan serta perkembangan hingga dengan bentuknya yang sekarang. Fungsi pertunjukan wayang sepanjang perjalanan sejarahnya tidaklah tetap dan bergantung pada kebutuhan tuntutan.
Pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara pemujaan arwah nenek moyang. Setelah dampak Hindu-Buddha masuk maka pertunjukan wayang mengalami perkembangan. Pertunjukan wayang kemudian banyak menyadur dari dampak Hindu-Buddha dengan mengambil kisah dari Mahabarata dan Ramayana. Ketika dampak Islam masuk, pertunjukan wayang makin berkembang dan bersumberkan pada anutan agama Islam. Para Wali Sanga, khusus Sunan Kalijaga memakai pertunjukan wayang sebagai media dakwah.
Jadi, pertunjukan wayang di samping sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan hiburan rakyat juga dipakai untuk berbagi agama Islam. Bahkan, hingga zaman modern kini ini dengan banyak sekali peralatan yang canggih, pertunjukan wayang masih tetap eksis sebagai sarana pendidikan, hiburan, dan komunikasi yang efektif untuk menunjang pembangunan.
Catatan:
Jenis wayang, antara lain wayang kulit, wayang orang (Jawa = wong), wayang klithik, wayang gedhog, wayang golek, dan wayang beber.
Perlengkapan untuk pertunjukan wayang, antara lain dalang, warangggana (pesinden), blencong (lampu), kotak tempat wayang, kepyak, gamelan, rebab, dan suling.
2. Upacara Penguburan
Adat dan tata cara penguburan di Indonesia berbeda di setiap tempat sehingga banyak sekali ragamnya. Hal ini masuk akal mengingat bangsa Indonesia terdiri atas banyak sekali suku bangsa, agama, dan iman dengan budbahasa istiadat yang berbeda pula.
Ada banyak sekali cara perawatan mayat selain penguburan, contohnya mayat dibakar (dikremasi), dibiarkan hancur di alam terbuka, atau disimpan di bangunan khusus dan sebagainya. Ada yang memilih mayat segera dikuburkan pada hari ajal menyerupai yang dilakukan di kalangan penganut agama Islam. Ada juga yang mengharuskan orang menanti berminggu-minggu, bahkan bulanan sebelum mayat dikuburkan.
Dalam hal ini upacara penguburan memiliki beberapa tahapan. Suatu upacara biasanya disertai dengan mengorbankan sejumlah binatang ternak sesuai dengan tingkat sosial ekonomi pada masyarakatnya. Adat penguburan menyerupai ini dikenal pada suku Nias, Batak, Sumba, dan Toraja. Penyelenggaraan budbahasa ajal dan upacara penguburan menyerupai itu menelan biaya yang besar sehingga beban itu dipikul oleh segenap keluarga dan dibantu oleh para tetangganya. Berbagai budbahasa dan tatacara penguburan yang ada di Indonesia , antara lain sebagai berikut.
a. Tradisi Penguburan Suku Toraja
Menurut iman suku Toraja, jikalau seseorang meninggal (untuk masuk ke alam baka) diselenggarakan upacara sesuai dengan kedudukan di masa hidupnya. Itulah sebabnya penguburan orang terpandang selalu diselenggarakan secara besar-besaran dengan upacara lengkap dan disertai menyembelih kerbau dan babi hingga puluhan ekor jumlahnya.
Kuburan orang Toraja berupa lubang yang dipahatkan pada dinding watu di lereng gunung yang terjal. Dengan meniti tangga bambu sederhana yang disandarkan di tebing empat hingga dengan enam orang membawa peti itu merayap ke atas menuju liang kubur yang telah disiapkan. Sesampainya di lubang kubur mayat diletakkan dalam posisi berdiri dengan wajah menghadap lembah yang indah.
b. Pada Masyarakat Purba
Sebelum terkena dampak Hindu–Buddha maka budbahasa dan tata cara penguburan orang meninggal sangat sederhana, yakni mayat hanya diletakkan di peti mayat atau kubur batu. Untuk tokoh masyarakat atau kepala suku sebagai orang yang dihormati dan disegani dibuatkan arca atau tugu sebagai peringatan yang dikenal dengan istilah arca nenek moyang. Untuk selanjutnya muncullah tradisi pemujaan terhadap roh nenek moyang.
c. Upacara Ngaben
Pada zaman Hindu–Buddha banyak upacara budbahasa yang kemudian dikombinasikan dengan upacara keagamaan. Pada masyarakat Bali yang sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, upacara ajal didasari oleh iman bahwa insan yang mati sanggup menitis kembali. Untuk mempercepat proses kesempurnaan jasad orang yang meninggal maka mayat harus dibakar. Upacara pembakaran mayat tersebut dikenal dengan nama Ngaben. Setelah pembakaran selesai, bubuk mayat dihanyutkan dalam sungai atau laut.
d. Masyarakat Jawa
Pada masyarakat Jawa yang sebagian besar beragama Islam, upacara budbahasa ajal dan penguburan masih diwarnai oleh tata cara Hindu, Buddha, dan kebudayaan orisinil kejawen. Sebagian penduduk yang menganut anutan Islam Muhammadiyah menghilangkan tata upacara selain yang diajarkan dalam agama Islam. Namun, secara umum adonan banyak sekali tata upacara itu masih berlaku hingga sekarang.
Seperti halnya pada kelahiran, khitanan, dan perkawinan maka pada ajal pun tata cara upacara diikuti rangkaian selamatan dan sesaji. Misalnya, pada hari ajal disebut hari geblag, selanjutnya sesaji terus diadakan pada hari ketiga (nelung dina), hari ketujuh (mitung dina), hari keempat puluh (matang puluh dina), hari ke seratus (nyatus), satu tahun (mendak pisan), dua tahun (mendak pindo), dan seribu hari (nyewu). Pada setiap upacara selamatan dilakukan tahlilan atau pemanjatan doa untuk memohonkan ampun bagi orang yang telah meninggal.
3. Upacara Labuhan
Tradisi upacara labuhan dilaksanakan setiap tahun sekali oleh kerabat Keraton Yogyakarta yang biasanya dilaksanakan pada hari penobatan dan pada waktu ulang tahun penobatan raja (tingalan dalem). Upacara labuhan diselenggarakan di empat tempat yakni di Parangkusumo, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Dlepih.
Hal ini dilatar belakangi bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram untuk bertapa dan bekerjasama dengan roh halus. Upacara ini merupakan tradisi turun temurun semenjak Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati hingga sekarang.
Catatan:
Labuhan yakni upacara mengirimkan (melabuh) barang-barang dan sesaji ke tempat-tempat yang dianggap keramat dengan maksud sebagai penolak balak dan untuk keselamatan masyarakat.
4. Tradisi Garebeg dan Sekaten
Garebeg atau anggerebeg berarti pengawalan terhadap seorang pembesar yang penting, menyerupai seorang raja. Pada upacara tersebut Raja Yogyakarta dan Raja Surakarta menampakkan diri di Sitinggil dan dikelilingi oleh pengikut-pengikutnya (kerabat-kerabatnya) yang berada di Pagelaran untuk menunjukkan penghormatan kepada penguasa.
Upacara Gerebeg dilakukan tiga kali setiap tahun oleh Keraton Yogayakarta dan Keraton Surakarta, yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam. (Gerebeg Maulud) pada tanggal 12 Maulud), hari raya Idul Fitri (Gerebeg Pasa) pada tanggal 1 Syawal dan hari raya Idul Adha (Gerebeg Besar) pada tanggal 10 Besar.
Dari tiga Garebeg tersebut yang terbesar ialah Garebeg Maulud yang kemudian dirangkaikan dengan Sekaten.
a. Garebeg Maulud
Gerebeg maulud yakni pesta yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam pada tanggal 12 Rabiul Awal. Dalam hal ini ada tiga macam perayaan, yaitu, Sekaten (pasar malam), upacara Sekaten itu sendiri, dan Garebeg Maulud.
b. Perayaan Sekaten
Sekaten yakni perayaan yang berbentuk pasar malam yang biasanya berlangsung selama 1–2 minggu, bahkan 1 bulan sebelum upacara Gerebeg Maulud dilaksanakan.
Tradisi kehidupan religius ini semula bentuknya masih sangat sederhana (sebelum dampak Hindu–Buddha merupakan tradisi lokal) sehingga saat dampak Hindu–Buddha masuk ke Indonesia, tradisi lokal ini tidak musnah melainkan justru makin berkembang. Hal ini dikerenakan dampak Hindu–Buddha juga menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat, hanya saja cara-cara dan upacara religusnya bersumberkan pada anutan Hindu–Buddha.
Demikian juga saat dampak Islam masuk juga ikut mewarnai kehidupan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia. Segala kegiatan kehidupan masyarakat yang menganut agama Islam, bersumber pada anutan agama Islam. Dengan demikian dari masa Purba hingga dengan masuknya dampak Islam, kehidupan tradisi-tradisi tersebut masih tetap berlangsung dan mendapat tempat sendiri-sendiri di kalangan masyarakat sesuai dengan kondisi tempat dan tingkat iman masyarakat yang bersangkutan. Bentuk-bentuk perpaduan antara tradisi lokal, Hindu–Buddha, dan Islam di dalam kehidupan masyarakat, antara lain sebagai berikut.
1. Pertunjukan Wayang
Salah satu bentuk tradisi warisan nenek moyang kita ialah pertunjukan wayang yang bisa bertahan berabad-abad lamanya dan mengalami perubahan serta perkembangan hingga dengan bentuknya yang sekarang. Fungsi pertunjukan wayang sepanjang perjalanan sejarahnya tidaklah tetap dan bergantung pada kebutuhan tuntutan.
Pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara pemujaan arwah nenek moyang. Setelah dampak Hindu-Buddha masuk maka pertunjukan wayang mengalami perkembangan. Pertunjukan wayang kemudian banyak menyadur dari dampak Hindu-Buddha dengan mengambil kisah dari Mahabarata dan Ramayana. Ketika dampak Islam masuk, pertunjukan wayang makin berkembang dan bersumberkan pada anutan agama Islam. Para Wali Sanga, khusus Sunan Kalijaga memakai pertunjukan wayang sebagai media dakwah.
Jadi, pertunjukan wayang di samping sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan hiburan rakyat juga dipakai untuk berbagi agama Islam. Bahkan, hingga zaman modern kini ini dengan banyak sekali peralatan yang canggih, pertunjukan wayang masih tetap eksis sebagai sarana pendidikan, hiburan, dan komunikasi yang efektif untuk menunjang pembangunan.
Catatan:
Jenis wayang, antara lain wayang kulit, wayang orang (Jawa = wong), wayang klithik, wayang gedhog, wayang golek, dan wayang beber.
Perlengkapan untuk pertunjukan wayang, antara lain dalang, warangggana (pesinden), blencong (lampu), kotak tempat wayang, kepyak, gamelan, rebab, dan suling.
2. Upacara Penguburan
Adat dan tata cara penguburan di Indonesia berbeda di setiap tempat sehingga banyak sekali ragamnya. Hal ini masuk akal mengingat bangsa Indonesia terdiri atas banyak sekali suku bangsa, agama, dan iman dengan budbahasa istiadat yang berbeda pula.
Ada banyak sekali cara perawatan mayat selain penguburan, contohnya mayat dibakar (dikremasi), dibiarkan hancur di alam terbuka, atau disimpan di bangunan khusus dan sebagainya. Ada yang memilih mayat segera dikuburkan pada hari ajal menyerupai yang dilakukan di kalangan penganut agama Islam. Ada juga yang mengharuskan orang menanti berminggu-minggu, bahkan bulanan sebelum mayat dikuburkan.
Dalam hal ini upacara penguburan memiliki beberapa tahapan. Suatu upacara biasanya disertai dengan mengorbankan sejumlah binatang ternak sesuai dengan tingkat sosial ekonomi pada masyarakatnya. Adat penguburan menyerupai ini dikenal pada suku Nias, Batak, Sumba, dan Toraja. Penyelenggaraan budbahasa ajal dan upacara penguburan menyerupai itu menelan biaya yang besar sehingga beban itu dipikul oleh segenap keluarga dan dibantu oleh para tetangganya. Berbagai budbahasa dan tatacara penguburan yang ada di Indonesia , antara lain sebagai berikut.
a. Tradisi Penguburan Suku Toraja
Menurut iman suku Toraja, jikalau seseorang meninggal (untuk masuk ke alam baka) diselenggarakan upacara sesuai dengan kedudukan di masa hidupnya. Itulah sebabnya penguburan orang terpandang selalu diselenggarakan secara besar-besaran dengan upacara lengkap dan disertai menyembelih kerbau dan babi hingga puluhan ekor jumlahnya.
Kuburan orang Toraja berupa lubang yang dipahatkan pada dinding watu di lereng gunung yang terjal. Dengan meniti tangga bambu sederhana yang disandarkan di tebing empat hingga dengan enam orang membawa peti itu merayap ke atas menuju liang kubur yang telah disiapkan. Sesampainya di lubang kubur mayat diletakkan dalam posisi berdiri dengan wajah menghadap lembah yang indah.
b. Pada Masyarakat Purba
Sebelum terkena dampak Hindu–Buddha maka budbahasa dan tata cara penguburan orang meninggal sangat sederhana, yakni mayat hanya diletakkan di peti mayat atau kubur batu. Untuk tokoh masyarakat atau kepala suku sebagai orang yang dihormati dan disegani dibuatkan arca atau tugu sebagai peringatan yang dikenal dengan istilah arca nenek moyang. Untuk selanjutnya muncullah tradisi pemujaan terhadap roh nenek moyang.
c. Upacara Ngaben
Pada zaman Hindu–Buddha banyak upacara budbahasa yang kemudian dikombinasikan dengan upacara keagamaan. Pada masyarakat Bali yang sebagian besar rakyatnya menganut agama Hindu, upacara ajal didasari oleh iman bahwa insan yang mati sanggup menitis kembali. Untuk mempercepat proses kesempurnaan jasad orang yang meninggal maka mayat harus dibakar. Upacara pembakaran mayat tersebut dikenal dengan nama Ngaben. Setelah pembakaran selesai, bubuk mayat dihanyutkan dalam sungai atau laut.
d. Masyarakat Jawa
Pada masyarakat Jawa yang sebagian besar beragama Islam, upacara budbahasa ajal dan penguburan masih diwarnai oleh tata cara Hindu, Buddha, dan kebudayaan orisinil kejawen. Sebagian penduduk yang menganut anutan Islam Muhammadiyah menghilangkan tata upacara selain yang diajarkan dalam agama Islam. Namun, secara umum adonan banyak sekali tata upacara itu masih berlaku hingga sekarang.
Seperti halnya pada kelahiran, khitanan, dan perkawinan maka pada ajal pun tata cara upacara diikuti rangkaian selamatan dan sesaji. Misalnya, pada hari ajal disebut hari geblag, selanjutnya sesaji terus diadakan pada hari ketiga (nelung dina), hari ketujuh (mitung dina), hari keempat puluh (matang puluh dina), hari ke seratus (nyatus), satu tahun (mendak pisan), dua tahun (mendak pindo), dan seribu hari (nyewu). Pada setiap upacara selamatan dilakukan tahlilan atau pemanjatan doa untuk memohonkan ampun bagi orang yang telah meninggal.
3. Upacara Labuhan
Tradisi upacara labuhan dilaksanakan setiap tahun sekali oleh kerabat Keraton Yogyakarta yang biasanya dilaksanakan pada hari penobatan dan pada waktu ulang tahun penobatan raja (tingalan dalem). Upacara labuhan diselenggarakan di empat tempat yakni di Parangkusumo, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Dlepih.
Hal ini dilatar belakangi bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja Mataram untuk bertapa dan bekerjasama dengan roh halus. Upacara ini merupakan tradisi turun temurun semenjak Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senopati hingga sekarang.
Catatan:
Labuhan yakni upacara mengirimkan (melabuh) barang-barang dan sesaji ke tempat-tempat yang dianggap keramat dengan maksud sebagai penolak balak dan untuk keselamatan masyarakat.
4. Tradisi Garebeg dan Sekaten
Garebeg atau anggerebeg berarti pengawalan terhadap seorang pembesar yang penting, menyerupai seorang raja. Pada upacara tersebut Raja Yogyakarta dan Raja Surakarta menampakkan diri di Sitinggil dan dikelilingi oleh pengikut-pengikutnya (kerabat-kerabatnya) yang berada di Pagelaran untuk menunjukkan penghormatan kepada penguasa.
Upacara Gerebeg dilakukan tiga kali setiap tahun oleh Keraton Yogayakarta dan Keraton Surakarta, yaitu pada hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam. (Gerebeg Maulud) pada tanggal 12 Maulud), hari raya Idul Fitri (Gerebeg Pasa) pada tanggal 1 Syawal dan hari raya Idul Adha (Gerebeg Besar) pada tanggal 10 Besar.
Dari tiga Garebeg tersebut yang terbesar ialah Garebeg Maulud yang kemudian dirangkaikan dengan Sekaten.
a. Garebeg Maulud
Gerebeg maulud yakni pesta yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam pada tanggal 12 Rabiul Awal. Dalam hal ini ada tiga macam perayaan, yaitu, Sekaten (pasar malam), upacara Sekaten itu sendiri, dan Garebeg Maulud.
b. Perayaan Sekaten
Sekaten yakni perayaan yang berbentuk pasar malam yang biasanya berlangsung selama 1–2 minggu, bahkan 1 bulan sebelum upacara Gerebeg Maulud dilaksanakan.