Pengertian, Ciri-Ciri, Dan Karakteristik Model Pembelajaran Inovasi (Discovery Learning)
Pengertian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Metode Discovery Learning yaitu teori mencar ilmu yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diperlukan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar inspirasi Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam mencar ilmu di kelas.
Bruner menggunakan metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi materi yang dipelajari dengan suatu bentuk final (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning yaitu memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk karenanya hingga kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri yaitu the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai taktik belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery duduk kasus yang diperhadapkan kepada siswa semacam duduk kasus yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam duduk kasus itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menuntaskan masalah. Akan tetapi prinsip mencar ilmu yang nampak terperinci dalam Discovery Learning yaitu materi atau materi pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai penerima didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang sanggup meningkatkan kemampuan inovasi diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi mencar ilmu yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya mendapatkan informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.
Ciri-ciri Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) mempunyai tiga ciri utama, yaitu:
1. mengeksplorasi dan memecahkan duduk kasus untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;
2. berpusat pada penerima didik;
3. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan gres dan pengetahuan yang sudah ada.
Karakteristik Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Karakteristik dari Model Pembelajaran Penemuan atau Discovery Learning yaitu sebagai berikut.
1. Peran guru sebagai pembimbing;
2. Peserta didik mencar ilmu secara aktif sebagai seorang ilmuwan;
3. Bahan didik disajikan dalam bentuk informasi dan penerima didik melaksanakan kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat kesimpulan.
Konsep Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam Konsep Belajar, bahu-membahu metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang sanggup memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner ihwal kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery yaitu pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi mempunyai lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
1) Nama;
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak;
4) Rentangan karakteristik;
5) Kaidah
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori mencakup mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses mencar ilmu perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa sanggup melaksanakan eksplorasi, penemuan-penemuan gres yang belum dikenal atau pengertian yang menyerupai dengan yang sudah diketahui. Lingkungan menyerupai ini bertujuan biar siswa dalam proses mencar ilmu sanggup berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses mencar ilmu yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi materi pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melaksanakan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, contohnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak mencar ilmu melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah bisa mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan ajaib yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak mencar ilmu melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin lebih banyak didominasi sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic yaitu anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau denah dan karenanya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk mencar ilmu secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus sanggup membimbing dan mengarahkan kegiatan mencar ilmu siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi menyerupai ini ingin merubah kegiatan mencar ilmu mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memperlihatkan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau hebat matematika. Dalam metode Discovery Learning materi didik tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melaksanakan aneka macam kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan materi serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus sanggup menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam mencar ilmu yang lebih mandiri. Bruner menyampaikan bahwa proses mencar ilmu akan berjalan dengan baik dan kreatif kalau guru memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada karenanya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning berdasarkan Bruner yaitu hendaklah guru memperlihatkan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau hebat matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling terperinci mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sehabis tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memperlihatkan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk mencar ilmu sendiri.
Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran mempunyai kelebhihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan.
1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha inovasi merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh lantaran menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa bahagia pada siswa, lantaran tumbuhnya rasa menilik dan berhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini sanggup membantu siswa memperkuat konsep dirinya, lantaran memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun sanggup bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) lantaran mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan berbagi ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
n. Situasi proses mencar ilmu menjadi lebih terangsang.
o. Proses mencar ilmu mencakup sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa mencar ilmu dengan memanfaatkan aneka macam jenis sumber belajar.
r. Dapat berbagi talenta dan kecakapan individu.
2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Metode ini menjadikan perkiraan bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan ajaib atau berpikir atau mengungkapkan korelasi antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menjadikan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, lantaran membutuhkan waktu yang usang untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan duduk kasus lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini sanggup buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara mencar ilmu yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk berbagi pemahaman, sedangkan berbagi aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang menerima perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, contohnya IPA kurang akomodasi untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa alasannya sudah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
1. Persiapan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan mencar ilmu yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
kiprah dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
positif ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik hingga ke simbolik.
g. Melakukan evaluasi proses dan hasil mencar ilmu siswa
2. Pelaksanaan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menjadikan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, biar timbul keinginan untuk menilik sendiri. Disamping itu guru sanggup memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, tawaran membaca buku, dan kegiatan mencar ilmu lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi mencar ilmu yang sanggup berbagi dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
b. Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda duduk kasus yang relevan dengan materi pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
c. Data collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau mengambarkan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) aneka macam informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melaksanakan uji coba sendiri dan sebagainya.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, kemudian ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melaksanakan investigasi secara cermat untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification berdasarkan Bruner, bertujuan biar proses mencar ilmu akan berjalan dengan baik dan kreatif kalau guru memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, hukum atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan yaitu proses menarik sebuah kesimpulan yang sanggup dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua insiden atau duduk kasus yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi
Sistem Penilaian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning sanggup menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat menggunakan contoh-contoh format evaluasi menyerupai tersebut di bawah ini.
1. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya. Ada dua bentuk soal tes tertulis, yaitu berikut ini
1. Soal dengan menentukan jawaban.
a. pilihan ganda
b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
c. menjodohkan
2. Soal dengan mensuplai-jawaban.
a. isian atau melengkapi
b. balasan singkat
c. soal uraian
Dari aneka macam alat evaluasi tertulis, tes menentukan balasan benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda sanggup dipakai untuk menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan, yaitu penerima didik tidak berbagi sendiri jawabannya tetapi cenderunghanya menentukan balasan yang benar dan kalau penerima didik tidak mengetahui balasan yang benar, maka penerima didik akan menerka.
Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat evaluasi ini kurang dianjurkan pemakaiannya dalam evaluasi kelas lantaran tidak menggambarkan kemampuan penerima didik yang sesungguhnya.
Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari, dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini sanggup menilai berbagai jenis kemampuan, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan terbatas.
Dalam menyusun instrumen evaluasi tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. materi, contohnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;
b. konstruksi, contohnya rumusan soal atau pertanyaan harus terperinci dan tegas.
c. bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang menimbulkanpenafsiran ganda.
2. Penilaian Diri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau contoh yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap
Proses evaluasi dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis evaluasi tertulis dan penilian diri, sanggup juga dilakukan melalui evaluasi kinerja, evaluasi produk dan evaluasi sikap.
***
Sumber: Model Pembelajaran Penemuan - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Metode Discovery Learning yaitu teori mencar ilmu yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diperlukan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar inspirasi Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam mencar ilmu di kelas.
Bruner menggunakan metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi materi yang dipelajari dengan suatu bentuk final (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning yaitu memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk karenanya hingga kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri yaitu the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai taktik belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery duduk kasus yang diperhadapkan kepada siswa semacam duduk kasus yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam duduk kasus itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menuntaskan masalah. Akan tetapi prinsip mencar ilmu yang nampak terperinci dalam Discovery Learning yaitu materi atau materi pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai penerima didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang sanggup meningkatkan kemampuan inovasi diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi mencar ilmu yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya mendapatkan informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.
Ciri-ciri Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) mempunyai tiga ciri utama, yaitu:
1. mengeksplorasi dan memecahkan duduk kasus untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;
2. berpusat pada penerima didik;
3. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan gres dan pengetahuan yang sudah ada.
Karakteristik Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Karakteristik dari Model Pembelajaran Penemuan atau Discovery Learning yaitu sebagai berikut.
1. Peran guru sebagai pembimbing;
2. Peserta didik mencar ilmu secara aktif sebagai seorang ilmuwan;
3. Bahan didik disajikan dalam bentuk informasi dan penerima didik melaksanakan kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat kesimpulan.
Konsep Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam Konsep Belajar, bahu-membahu metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang sanggup memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner ihwal kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery yaitu pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi mempunyai lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi:
1) Nama;
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak;
4) Rentangan karakteristik;
5) Kaidah
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori mencakup mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses mencar ilmu perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa sanggup melaksanakan eksplorasi, penemuan-penemuan gres yang belum dikenal atau pengertian yang menyerupai dengan yang sudah diketahui. Lingkungan menyerupai ini bertujuan biar siswa dalam proses mencar ilmu sanggup berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses mencar ilmu yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi materi pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melaksanakan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, contohnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak mencar ilmu melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah bisa mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan ajaib yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak mencar ilmu melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin lebih banyak didominasi sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic yaitu anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau denah dan karenanya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk mencar ilmu secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus sanggup membimbing dan mengarahkan kegiatan mencar ilmu siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi menyerupai ini ingin merubah kegiatan mencar ilmu mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memperlihatkan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau hebat matematika. Dalam metode Discovery Learning materi didik tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melaksanakan aneka macam kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan materi serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus sanggup menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam mencar ilmu yang lebih mandiri. Bruner menyampaikan bahwa proses mencar ilmu akan berjalan dengan baik dan kreatif kalau guru memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada karenanya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning berdasarkan Bruner yaitu hendaklah guru memperlihatkan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau hebat matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling terperinci mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sehabis tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memperlihatkan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk mencar ilmu sendiri.
Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran mempunyai kelebhihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan.
1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha inovasi merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh lantaran menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa bahagia pada siswa, lantaran tumbuhnya rasa menilik dan berhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini sanggup membantu siswa memperkuat konsep dirinya, lantaran memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun sanggup bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) lantaran mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan berbagi ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
n. Situasi proses mencar ilmu menjadi lebih terangsang.
o. Proses mencar ilmu mencakup sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa mencar ilmu dengan memanfaatkan aneka macam jenis sumber belajar.
r. Dapat berbagi talenta dan kecakapan individu.
2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Metode ini menjadikan perkiraan bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan ajaib atau berpikir atau mengungkapkan korelasi antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menjadikan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, lantaran membutuhkan waktu yang usang untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan duduk kasus lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini sanggup buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara mencar ilmu yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk berbagi pemahaman, sedangkan berbagi aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang menerima perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, contohnya IPA kurang akomodasi untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa alasannya sudah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Langkah-langkah Penerapan Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
1. Persiapan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan mencar ilmu yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
kiprah dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
positif ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik hingga ke simbolik.
g. Melakukan evaluasi proses dan hasil mencar ilmu siswa
2. Pelaksanaan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menjadikan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, biar timbul keinginan untuk menilik sendiri. Disamping itu guru sanggup memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, tawaran membaca buku, dan kegiatan mencar ilmu lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi mencar ilmu yang sanggup berbagi dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
b. Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda duduk kasus yang relevan dengan materi pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
c. Data collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau mengambarkan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) aneka macam informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melaksanakan uji coba sendiri dan sebagainya.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, kemudian ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melaksanakan investigasi secara cermat untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification berdasarkan Bruner, bertujuan biar proses mencar ilmu akan berjalan dengan baik dan kreatif kalau guru memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, hukum atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan yaitu proses menarik sebuah kesimpulan yang sanggup dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua insiden atau duduk kasus yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi
Sistem Penilaian Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning sanggup menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat menggunakan contoh-contoh format evaluasi menyerupai tersebut di bawah ini.
1. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya. Ada dua bentuk soal tes tertulis, yaitu berikut ini
1. Soal dengan menentukan jawaban.
a. pilihan ganda
b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
c. menjodohkan
2. Soal dengan mensuplai-jawaban.
a. isian atau melengkapi
b. balasan singkat
c. soal uraian
Dari aneka macam alat evaluasi tertulis, tes menentukan balasan benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda sanggup dipakai untuk menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan, yaitu penerima didik tidak berbagi sendiri jawabannya tetapi cenderunghanya menentukan balasan yang benar dan kalau penerima didik tidak mengetahui balasan yang benar, maka penerima didik akan menerka.
Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat evaluasi ini kurang dianjurkan pemakaiannya dalam evaluasi kelas lantaran tidak menggambarkan kemampuan penerima didik yang sesungguhnya.
Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari, dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini sanggup menilai berbagai jenis kemampuan, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan terbatas.
Dalam menyusun instrumen evaluasi tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. materi, contohnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;
b. konstruksi, contohnya rumusan soal atau pertanyaan harus terperinci dan tegas.
c. bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang menimbulkanpenafsiran ganda.
2. Penilaian Diri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau contoh yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap
Proses evaluasi dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis evaluasi tertulis dan penilian diri, sanggup juga dilakukan melalui evaluasi kinerja, evaluasi produk dan evaluasi sikap.
***
Sumber: Model Pembelajaran Penemuan - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan