Makalah Sumpah Dalam Islam



Kalimat “syahadah” diambil dari مشهَد yaitu obyek yang terlihat terperinci dengan kasat mata, adapun مشهد atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran. Berkaitan dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang menerima gelar akademis ibarat M.A. atau Dr. dengan hamba-Nya yang tidak bisa membaca dan menulis ialah sama, sehingga sanggup disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî: 1215)

Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena, ia melihat wanita tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berafiliasi dengan keuangan, tetapi wanita dikala ini lebih banyak yang bergelut dengan perkara kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan beropini lain.

Harus dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti potongan final ayat ini menjelaskan “Janganlah kau jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar hingga batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih sanggup menguatkan persaksian dan lebih bersahabat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali kalau muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”. 

Sesuatu yang perlu diperhatikan yaitu, ayat itu menunjukkan satu saksi pria digantikan dua saksi perempuan, hanya salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, lantaran pada masa turunnya ayat itu selalu ada kemungkinan saksi wanita melaksanakan kesalahan dalam perkara keuangan, bukan lantaran rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang pengalaman dalam perkara keuangan.

Pendapat Aminah Wadud bahwa, berdasarkan susunan kata ayat ini, kedua wanita itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, lantaran satu wanita ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan wanita itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada dilema lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, lantaran ada 7 (tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an, yang menyebutkan perihal kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang pria digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107, Al-Nisâ`/4:15, Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6, Al-Nûr/24:8, Al-Talâq/65: 2.

Berdasar ketentuan tersebut, sanggup diambil kesimpulan bahwa, saksi wanita diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya, khusus perkara keuangan, kalau wanita menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada wanita lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang seakan-akan menunjukkan pria mempunyai kelebihan dibanding perempuan.

عن عبد الله بن عمر عن رسول الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين اغلب لذى لب منكن قا لت يارسول الله ومانقصان العقل والدين قال اما نقصان العقل فشهادة امراتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالى ما تصلى وتفطر فى رمضان فهذا نقصان الدين. رواه مسلم

“…Aku tidak melihat yang kekurangan logika dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian, wanita itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan logika dan agama itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan logika ialah penyaksian dua orang wanita sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga wanita tidak mengerjakan sholat pada malam-malam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan bulan mulia lantaran haid. Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)

Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berafiliasi dengan faktor budaya, maka sanggup saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi logika bagi perempuan, lantaran pembatasan budaya di dalam masyarakat.

Namun sangat disayangkan perkiraan memposisikan wanita pada titik marjinal, wanita kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, lantaran kandungan hadis menjelaskan huruf wanita berdasarkan struktur fisik dan psikis berdasarkan kodratnya sangat intens dengan perasaan. Hal ini bukan merupakan kekurangan, namun sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi wanita yang sangat sesuai dengan kiprah keperempuanan, lantaran fitrah wanita memang senantiasa memakai perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit.

Kendati demikian, perasaan wanita tidak bermakna ia tidak bisa bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya ialah perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di dikala itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa binatang korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan menahan langkah mereka, karenanya pertempuran masbodoh ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang populer dengan perjanjian Hudaibiyah.

Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.

Adapun wanita yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih binatang dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat menciptakan mereka marah, lantaran menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami pesan tersirat yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan perluasan wilayah Islam hingga tanah Mekkah.

Andaikata mereka lebih menentukan untuk menuntaskan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini sanggup dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, lantaran tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.

Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih binatang dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, karenanya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak. 

Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi membisu seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, saya memerintahkannya untuk menyembelih binatang dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, lantaran mereka sedang mengalami insiden yang dilematis akhir isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya sanggup dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih binatang korbannya dan bertahallul ibarat Nabi. (Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336) 

Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menuntaskan permasalahan yang rumit. Jika pendapat wanita diklaim sangat tidak proporsional dan logika wanita tidak sebanding dengan logika laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang diambil oleh pria dan wanita sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat terperinci pada perilaku kesehariannya, sanggup dibandingkan solusi yang digunakan oleh kedua pihak dalam tataran praktis. pria dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, lantaran kiprah yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan logika tanpa campur tangan perasaan. kalau seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, terperinci dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan berkata lain kalau anak meminta uang kepada ibunya, sanggup dipastikan ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis ialah frekuensi penggunaan logika pada wanita sangat rendah, dalam arti wanita dalam skala lebih banyak didominasi sering memakai perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.

Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi ada hadis qudsi yang seakan-akan berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:

عن ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم اعرابيا قاكرمه فقال له: ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل حاجتك قال ناقة تركبها واعنز يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه انضبوا هذا الماء فأنضبوه فقالت احتفروا فاحتفروا فاستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوه الى الارض فاذا الطريق مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu dia berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau naiki, saya bermaksud semoga keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian ibarat wanita bani Israil. ”Para teman bertanya:”Wahai Rasul, siapa wanita bani Israil itu? Rasul menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir, mereka tersesat jalan. 

Maka Musa berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika janjkematian Yusuf tiba. Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin menjawab:”Perempuan renta dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan) pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah saya kuburan Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya saya bersama kau di surga”. Maka Musa menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) usul wanita itu. Maka wanita itu pergi bersama mereka ke danau, daerah menggenangnya air. Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan ibarat cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib: 149-151.).
                       HALAMAN SELANJUTNYA   HAL..1,    HAL...2,    HAL..3

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel