Makalah Sejarah Agama Hindu Buddha Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
SEJARAH AGAMA HINDU DAN BUDDHA DI INDONESIA
Agama Hindu dan Buddha merupakan Agama yang berasal dari negara India, yang pada perjalanannya menjadi salah satu agama-agama terbesar pengikutnya. Secara garis besar perkembangan agama Hindu dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap pertama berlangsung sekitar masa 1500-1000 SM yang dikenal dengan agama Weda. Tahap kedua ditandai dengan munculnya agama Brahman (1000-750 SM), tahap kedua ialah zaman agama Buddha yang berlangsung sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai corak berbeda dengan agama Weda. Tahap ketiga ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan yang berpusat di sekitar sungai Gangga (750-300 M), dan tahap yang ketiga ialah apa yang dikenal dengan agama Hindu yang berlangsung semenjak 300 M. hingga sekarang.[1] Agama Hindu berkembang hingga ke luar India termasuk Indonesia, yang dibawa oleh para Rsi atau para Brahman. Agama Hindu merupakan agama impor yang pertama kali masuk ke Indonesia dan berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang notabenenya sudah mempercayai Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai pembaharu dari agama Hindu yang dibawa oleh Sidharta Gautama. Yang pada perjalannya sang Buddha sendiri melaksanakan pengembaraan untuk mencari penerahan yang abadi. Berbeda halnya dengan agama hindu, agama Buddha lebih banyak berkembang di Cina di bandingkan dengan asal mulanya agama tersebut yaitu India.
Sedangakan Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar masa ke 7 M, yang dibawa oleh para Rsi maupun para Bikhhu. Harun Hadiwijono menyampaikan bahwa kira-kira masa ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia memasuki Indoneisa dari daratan Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu jalur utara dan barat. Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin, dan menyebrang di Sulawesi, Indoneisa cuilan Timur, Irian dan Melanesia, sedangakan jalur barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[2] Dan dari perjalan atau jalur tersebut, saya beropini ini merupakan salah satu cara masuknya atau berkembanganya efek agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
Dalam cuilan selanjutnya akan dibahas ihwal kedatangan awal agama Hindu-Buddha dan pembawanya berdasarkan analisis teori. Selanjutnya membicarakan bagaimana interaksi dengan kebudayaan Indonesia dan perkembangan Agama Hindu-Buddha di Indonesia yang ditandai dengan banyaknya peninggalan kerajaan atau berupa prasasti, bangunan dan segala aspek yang bercorakan Hindu-Buddha. Pada pembahasan selanjutnya kita membahas ihwal persamaan dan perbedaan Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali. Dan pada pembahasan terakhir kita membicarakan Hindu Dharma dan Buddha Dharma yang mana ini merupakan ciri khas agama Hindu-Buddha yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedatangan Awal Agama Hindu-Buddha di Indonesia dan Pembawanya (Analisis Teori)
Di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin kekerabatan ekonomi dan perdagangan yang baik dengan Negara-negara tetangga lainnya. Arus kemudian lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur kemudian lintas maritim yang dilewati India-Cina ialah Selat Malaka. Dan Indonesia terletak di jalur dua benua dan dua samudera, serta berada di bersahabat Selat Malaka.
Proses Masukknya Agama Hindu-Buddha ke Indonesia.
Peta Jalur Perdagangan Laut Asia Tenggara
Agama Hindu- Budha berasal dari India, yang kemudian menyebar ke Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan kawasan persimpangan kemudian lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan amati gambar peta jaringan perdagangan maritim Asia Tenggara di atas.
Awal masa Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak eksklusif perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat kekerabatan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau berbagi agama Hindu - Budha ke Indonesia, tidak sanggup diketahui secara pasti, walaupun demikian para mahir memperlihatkan pendapat ihwal proses masuknya agama Hindu - Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional tersebut mengakibatkan timbulnya percampuran budaya. Misalnya saja India, negara pertama yang memperlihatkan efek kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Para sejarawan menyampaikan bahwa banyak pendapat atau teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:[3]
1. Teori Brahman
Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur, beropini bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahman. Hanya kaum Brahmanalah yang berhak mempelajari serta mengajarkan agama Hindu lantaran hanya kaum Brahmanlah yang mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga lantaran usul Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja tiba untuk berbagi agama Hindu ke Indonesia. Beliau juga menyampaikan bahwa kaum Brahman sangat berperan dalam penyebaran agama dan kebudayaan agama Hindu ke Indonesia.
2. Teori Ksatria
Terdapat dua pendapat mengenai teori Ksatria yang pertama berdasarkan Prof.Dr.Ir.J.L.Moens beropini bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia ialah kaum ksatria atau golongan prajurit, lantaran adanya kekacauan politik/peperangan di India masa 4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia. Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, menyatakan bahwa adanya raja-raja dari India yang tiba menaklukan daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah menimbulkan penghinduan penduduk setempat.
3. Teori Wasiya
Yang dikemukakan oleh N.J. Krom, menyampaikan bahwa pengararuh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang dari kasta waisya yang menetap di Indonesai dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu.
4. Teori Sudra
Von van Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta sudra. Tujuan mereka ialah mengubah kehidupan lantaran di India mereka hanya hidup sebagai pekerja bernafsu dan budak. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
5. Teori Campuran
Teori ini beranggapan bahwa baik kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun golongan sudra gotong royong berbagi agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan kiprah masing-masing.
6. Teori Arus Balik
Teori arus blik ini tidak hanya berlaku untuk proses masuknya agamaHindu ke Indonesia saja melainkan untuk agama Buddha juga. Para mahir menyampaikan bahwa banyak cowok di Indonesia yang berguru agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Sedangakan berdasarkan pendapat FD. K. Bosh, teori arus balik ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melaksanakan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Buddha atau para biksu, yang berbagi agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha berguru agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan demikian kiprah aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang sudah menerima efek India masih menerangkan ciri-ciri Indonesia. Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh golongan Brahmana terutama pedoman Saiva-siddharta. Menurut pedoman ini seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun hingga sanggup ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan sanggup melaksanakan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
Pada dasarnya teori Brahmana, Ksatria dan Waisya mempunyai kelemahan yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta ialah bahasa sastra tertinggi yang digunakan dalam kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta tetapi berdasarkan kepercayaan Hindu terbelakang dihentikan menyebrangi laut.
Jadi kekerabatan dagang telah mengakibatkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa teori di atas menerangkan bahwa masuknya efek Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan masa 2 Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya inovasi arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai kawasan di Indonesia antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari masa 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Pada umumnya para mahir cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua efek budaya India di Indonesia ialah inovasi arca perunggu Buddha di kawasan Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibentuk di Amarawati (India). Para mahir memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada masa ke-7 Masehi.[4]
2. Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia ialah negara yang kaya akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak tutur insan dalam kehidupannya sehari-hari. Khususnya Pulau Jawa tradisi lokal pribumi Jawa sendiri semenjak dulu telah mewarnai kebudayaan setempat. Di tambah lagi dengan masuknya efek dari Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa lantaran memang banyak kesamaan dengan kepecayaan orisinil bangsa Indonesia. Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan Hindu-Buddha, diantaranya:
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Hindu
a. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai sendiri diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama bagi para mahir untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai ketika itu ialah Mulawarman.
Mulawarman ialah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan efek bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan ialah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman ialah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya mencakup hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
b. Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan. Namun, goresan pena pada beberapa prasati, ibarat pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi hingga ketika ini belum sanggup diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari goresan pena pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang sanggup menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara ialah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara ialah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, sanggup disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Buddha
a. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya didirikan ± masa ke-7 hingga tahun 1377.[5] Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra, tetapi pada perkembangannya wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga mencakup wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha dari Tiongkok yang berjulukan I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), sanggup diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan kawasan Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya ialah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan besar lengan berkuasa di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada masa ke-7 menuju ke arah selatan dan mencakup kawasan perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang masa ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung Malaya dan kawasan perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sejarah ihwal Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir ialah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, kekerabatan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut mengakibatkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
b. Sailendra di Mataram
Sekitar tahun ± 775-850 M di kawasan Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari Wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Dan pada kerajaan inilah Mataram mengalami masa keemasaan dan daerah-daerah yang berada dibawah pemerintahan Sailendra. Dan pada masa raja Sailenra lah banyak seniman-seniman Indonesia yang telah melahirkan karya-karya yang mengagumkan, contohnya candi Borobudur, candi paling besar yang dibangun pada masa pemerintahan raja Sailendra. Selain itu ada candi Pawon, Mendut, Kalasan dan Sewu[6].
c. Kerajaan Majapahit
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa ialah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura berjulukan Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh lantaran itu mereka menamakna permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan kawasan yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya ialah menantu Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada ketika Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari proteksi kepada Bupati Madura yang berjulukan Arya Wiraraja. Dengan dukungan orang-orang Madura, ia membangun pemuliman di Desa Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka ialah menghukum Raja Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.
Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak bisa menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu menciptakan pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyaka jikalau kesempatan itu digunakan oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada Cina kembali ketanah airnya. Sejak ketika itu Kerajaan Majapahit dianggap sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan menerima penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang berjulukan Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 lantaran dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang berjulukan Tanca. Oleh lantaran ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya berjulukan Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya ialah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu pemberontakan itu sanggup dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia sanggup menundukan Nusantara.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri sesudah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk sesudah Hayam Wuruk juga meninggal pada tahun 1389. Hayam Wuruk tidak mempunyai putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang berjulukan Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk bergotong-royong mempunyai putra yang berjulukan Bhre Wirabhumi. Namun, ia bukan anak dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan Majapahit.
Meskipun demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di wilayah Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut, kemungkinan perpecahan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah kembali timbul ketika tahta Kerajaan Majapahit kembali kosong sesudah Kusumawardhani meninggal dunia pada tahun 1400. Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya, Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg gres berakhir pada tahun 1406 dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit. Satu demi satu kawasan kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan bisa memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1500 yang didasarkan pada tahun bersimbol Sirna Ilang Kertaning Bhumi.
SEJARAH MASUKNYA AGAMA HINDU DI BALI
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal goresan pena untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi banyak sekali bukti ihwal kehidupan pada masyarakat pada masa itu sanggup pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga kini sudah tentu tidak sanggup memenuhi segala impian kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para mahir abnormal khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis berjulukan Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali ialah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memperlihatkan beberapa catatan antara lain ihwal nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga cuilan cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil goresan pena yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 mahir prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melaksanakan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini kini berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga kini di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali sanggup dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan semenjak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng cuilan timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat kerikil yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat kerikil yang dijumpai di kedua kawasan tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini ialah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah kawasan yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, lantaran pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala ancaman yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menuntaskan pekerjaan yang ringan contohnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga ketika ini belum ditemukan bukti-bukti apakah insan pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para mahir memperkirakan bahwa alat-alat kerikil dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat kerikil dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat gres dari Sambiran dihasilkan oleh insan jenis Pithecanthropus atau keturunannya.
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibentuk dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan insan pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di kawasan ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memperlihatkan suatu bukti ihwal kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari kerikil dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan populer pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya ialah lukisan kadal ibarat yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.
Masa Bercocok Tanam
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari perjuangan insan prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, lantaran pada masa ini beberapa inovasi gres berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) menjelma menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat kesannya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak kerikil persegi dalam banyak sekali ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai tiba di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di cuilan barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) ialah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan menggunakan jenis bahtera cadik yang populer pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat bekerjasama diharapkan adanya bahasa. Para mahir beropini bahwa bahasa Indonesia pada masa ini ialah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
Masa Perundagian
Gong, yang ditemukan pula di banyak sekali tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.
Dalam masa neolithik insan bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya berdasarkan kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan materi makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, insan berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis insan yang mendiami Indonesia sanggup diketahui dari banyak sekali inovasi sisa-sisa rangka dari banyak sekali tempat, yang terpenting di antaranya ialah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya memperlihatkan ciri-ciri manusia. Sedangkan inovasi di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah memperlihatkan ciri Mongoloid yang kuat ibarat terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka insan Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang insan ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan sanggup diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti jenazah atau sarkofagus yang dibentuk dari kerikil padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibentuk dari tanah liat ibarat ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka insan cukup umur dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara bernafsu saja untuk menerima bentuk yang diperlukan. di kawasan Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat cukup umur ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa kerikil berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang mempunyai ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang populer sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran sanggup dilihat pada akal-akalan yang dipuja penduduk setempat hingga cukup umur ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura memperlihatkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibentuk sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, kerikil berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan kerikil kali.
Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibentuk dari kerikil dengan penonjolan kelamin perempuan yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang sanggup memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu
Gua Gajah (sekitar masa XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan efek Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi hingga dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa efek Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia lantaran didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti masa ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno mencakup kurun waktu antara masa ke-8 Masehi hingga dengan masa ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang sanggup mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada semenjak zaman dahulu. Hal ini sanggup diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, ibarat prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung citra ihwal susunan pemerintahan pada masa itu ialah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, tubuh ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, gres pada zaman Raja Anak Wungsu, kita sanggup membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, efek zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang kerikil monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang ibarat dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman sesudah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan niscaya agama yang dianut pada masa itu. Hanya sanggup diketahui dari nama-nama biksu yang menggunakan unsur nama Siwa, sebagai pola biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada ketika itu ialah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua pedoman agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja