Konsep Agama Dalam Alquran

PEMBAHASAN
Konsep Hubungan Antar Agama dalam Al-Quran
   A.    Sikap Al-Qur’an/ muslim terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non muslim)
Surah Ali-Imran ayat 64
أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ قُلْ يَا
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad): "Wahai Ahli Kitab, marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka),  "Saksikanlah, bahwa kami yaitu orang muslim.” (QS. Ali-Imran: 64)[1]
Tafsir Surat Ali-Imran ayat 64
Katakanlah: ”Hai hebat kitab, marilah kepada kata yang sama antara kami dan kamu.”
Yaitu, katakanlah: ”Wahai hebat kitab, marilah dan pikirkanlah kalimat yang telah sama disepakati oleh para Rasul dan Semua Kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Begitu pulalah yang diperintahkan melalui Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.” Kemudian Allah jelaskan maksud dari kalimat ini dengan Firman-Nya:
“(Yaitu) bahwa tiada yang kita sembah, kecuali Allah dan tiada kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan tiada sebagian kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
Yaitu kita jangan tunduk, kecuali hanya kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan mutlak di dalam menetapkan hukum, yang mempunyai wewenang menghalalkan dan mengharamkan. Dan kita jangan menyekutukan-Nya dengan apapun. Dan janganlah sebagian kita hingga menjadikan yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah.
Ayat ini berisikan pernyataan keesaan Tuhan dengan firman-Nya: ”Bahwa yang tiada kita sembah, kecuali Allah.” Dan pernyataan keesaan dalam sifat Rububiyah dengan firman-Nya:”Dan tiada sebagian kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
“Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka:”Saksikanlah bahwa kami yaitu orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Jika mereka menjauhi dakwah ini dan enggan menerimanya, bahkan tetap menyembah selain Allah, mengadakan sekutu, perantara (mediator), dan pendeta-pendeta yang menetapkan halal dan haram dengan kemauan sendiri, maka katakanlah kepada mereka: ”Kami ini yaitu orang-orang yang patuh kepada Allah secara ikhlas, tidak mau menyembah siapapun selain-Nya, tidak menengadahkan diri kepada yang lain guna meminta sesuatu yang mempunyai kegunaan atau menjauhkan sesuatu mala petaka. Kami hanya menghalalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan hanya mengaramkan sesuatu yang diharamkan Allah.
Ayat ini merupakan prinsip dan pokok yang diserukan Nabi Saw kepada Ahli Kitab, semoga diterapkan ketika mereka diajak masuk Islam, sebagaimana halnya sanggup dibuktikan dari surat-surat ia kepada beberapa Raja Kristen, contohnya Heraclius.[2]
B.   Cara Berdebat/ Berinteraksi dengan ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani / non muslim)
Surah Al-Ankabut ayat 46
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kau berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik,  kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu Tuhan kami dan Tuhan kau satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (taat).”  (Q.S Al-Ankabut : 64)
Penjelasan ayat
Seperti mengajak kepada allah dengan ayat-ayatnya dan mengingatkan hujjah-hujjahnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah orang-orang yang sehabis diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Ada pula yang menafsirkan perihal orang-orang yang zalim, yaitu orang-orang yang malah memerangi dan enggan membayar jizyah (pajak), maka bantah mereka dengan pedang (perang) hingga mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah. Sedangkan berdasarkan yang lain, bahwa ayat ini tetap berlaku hukumnya, yakni bagi orang yang ingin mengkaji lebih lanjut terhadap agama Islam dari kalangan mereka, maka dilakukan perdebatan dengan cara yang baik. Syaikh As Sa’diy berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mendebat Ahli Kitab jikalau pendebatnya tidak di atas ilmu atau tidak di atas kaidah yang diridhai, dan melarang mereka semoga tidak berdebat kecuali dengan cara yang baik menyerupai sopan santun yang baik, lembut dan tutur kata yang halus.
Yakni hendaknya perdebatan kau dengan Ahli kitab didasari atas dogma kepada kitab yang diturunkan kepada kau dan kitab yang diturunkan kepada mereka. Demikian juga di atas keimanan kepada rasul kau dan rasul mereka serta di atas dasar bahwa Tuhan yang berhak disembah hanya satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Janganlah perdebatan kau dengan mereka malah mencacatkan salah satu di antara kitab-kitab yang diturunkan atau salah seorang rasul sebagaimana yang dilakukan orang yang jahil terhadap lawannya sampai-sampai ia mencacatkan semua yang ada pada mereka, yang hak maupun yang batil. Ini yaitu kezaliman dan keluar dari yang wajib serta keluar dari adat berdebat. Karena yang wajib yaitu membantah kebatilan yang ada pada orang yang berdebat dan mendapatkan kebenaran yang ada padanya dan jangan hingga ia menolak yang hak lantaran ucapannya meskipun kafir. Di samping itu mendasari perdebatan dengan mereka di atas dasar ini menciptakan mereka mengakui Al Qur’an dan Rasul yang membawanya. Hal itu, lantaran apabila berbicara perihal dasar-dasar agama yang disepakati oleh para nabi dan rasul serta disepakati oleh semua kitab, kemudian dasar-dasar itu diakui semua pihak, di mana kitab-kitab yang diturunkan dan para rasul yang diutus mengambarkan sama dengan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al Qur’an, maka yang demikian menghendaki untuk membenarkan semua kitab dan semua rasul, dan inilah di antara keistimewaan Islam. Adapun jikalau dikatakan, “Kami beriman dengan kitab yang dibawa rasul ini, tidak rasul yang itu, padahal ia juga hak dan membenarkan kitab sebelumnya, maka ia berarti zalim dan berbuat tidak adil, dan secara tidak pribadi ia juga mendustakan kitab yang diturunkan kepada rasul yang ia sebutkan, lantaran barang siapa mendustakan Al Qur’an yang sama memperlihatkan menyerupai yang ditunjukkan kitab sebelumnya, bahkan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, maka sama saja ia mendustakan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Oleh lantaran itu, barang siapa yang beriman kepada-Nya, menjadikan-Nya sebagai Tuhannya yang disembah, beriman kepada semua kitab dan semua rasul, tunduk kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, maka dia yaitu orang yang berbahagia, dan barang siapa yang menyimpang daripadanya, maka dia yaitu orang yang celaka.
    C. Sikap Berbuat Baik/ Adil dan Keras terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non muslim)
Surah Al-Mumtahana ayat 7-9
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (7) لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
Terjemahan:
(7) Mudah-mudahan Allah akan mengakibatkan kasih-sayang diantara kau dengan orang-orang yang  pernah kau musuhi diantara mereka itu; Allah Maha Kuasa; dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(8) Allah tidak melarang kau berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kau dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah menyayangi orang-orang yang berlaku adil.
(9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu  menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kau dalam urusan agama dan mengusir kau dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.
Tafsiran Ayat:
            Sesungguhnya Islam yaitu agama yang tenang dan keyakinan yang penuh dengan cinta. Menghimpun insan sebagai sesama saudara yang saling mengenal dan mencintai. Sedangkan, apabila musuh-musuh orang Islam mengikat perjanjian damai, maka Islam tidak menganjurkan sama sekali untuk bermusuhan.[3]
            Allah SWT berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sehabis menyuruh mereka memusuhi orang-orang kafir, “mudah-mudahan Allah mengakibatkan kasih sayang antaramu dan orang-orang yang kau musuhi diantara mereka.” Yaitu cinta sehabis benci dan keterikatan hati sehabis keterasingannya. “Dan Allah yaitu Mahakuasa.” Mahakuasa untuk menyatukan perkara-perkara yang saling bertentangan, sehingga ia sanggup melunakkan hati yang sebelumnya terjadi permusuhan menjadi bersaudara. Selanjutnya, Allah berfirman, “Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,” yaitu Allah akan memperlihatkan ampunan kepada orang-orang kafir apabila mereka bertobat kepada Tuhan mereka dan tunduk kepada-Nya.[4]
Allah SWT berfirman, “ Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berbuat adil  terhadap orang-orang yang memerangimu kau lantaran agama, dan tidak (pula) mengusir kau dari negerimu. “Yaitu mereka sebetulnya dalam mengusirmu. Maksudnya, Allah tidak melarang kau berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu lantaran agama dan mengusir dari negerimu. Maka, kau diperbolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, asalkan mereka tidak memerangimu atas nama agama, tidak mengusirmu dari kampung halamanmu, tidak membantu musuh-musuh kita dengan tunjangan apapun, baik dengan ikut serta bermusyawarah, menyumbangkan pikiran, apalagi dengan tunjangan tenaga dan senjata. [5]
Allah SWT berfirman, “Sesungguhynya Allah hanya melarang kau menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu lantaran agama dan mengusirmu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.” Yaitu yang dihentikan Allah hanyalah berkawan dengan orang-orang yang telah menancapkan permusuhan kepadamu, kemudian mereka memerangi dan mengusirmu, dan meminta tunjangan orang lain untuk mengusirmu. Allah melarang berkawan dengan kaum menyerupai itu dan memerintahkan untuk memusuhi mereka.
            Kemudian Allah menegaskan mengancam bagi orang yang berkawan dengan mereka dalam firmann-Nya. “Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Penggalan ini menyerupai firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kawan. Dan barangsiapa di antara kau yang berkawan dengan mereka, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memperlihatkan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
    D. Sikap Bertoleransi dalam Keyakinan dan Ibadah dengan Orang Kafir atau Non Muslim
Surah Al-Kafirun ayat 1-6
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Terjemahan
  1. Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! 
  2. Aku tidak akan menyembah apa yang kau sembah.
  3. Dan kau bukan penyembah apayang saya sembah. 
  4. Dan saya tidak pernaah menjadi penyembah apa yang kau sembah
  5. Dan kau tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang saya sembah
  6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kosakata: ‘Abid عا بد (al-Kafirun/109: 4)
Kata abid merupakan bentuk fa’il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abadaa-ya’budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘abid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah SAW.Ada mufasir yang beropini bahwa antara kandungan ayat ke 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat ke dua. Pendapat ini terperinci tidak tepat, alasannya yaitu ada ke duanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat ke dua ungkapan yang di pergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi’il madhi) yang berfungsi mengambarkan sesuatu yang lalu, sedangkan kini atau yang akan tiba tidak menyerupai itu. Sedang pada ayat ke 4 yang di gunakan kata kerja bentuk kini (fi’il mudhari). Ini mengisyaratkan bahwa yang di sembah orang musyrik pada waktu yang kemudian ada kemungkinan berbeda dari yang di sembah dikala ini atau yang akan datang. Sedang ‘abid, yang terdapat pada ayat ke 4 ini menyatakan konsistensi nabi dalam beribadah, menyerupai yang di tunjukkan pada ayat ke 3dan 5, yang memakai bentuk sama, yaitufi’il mudhari ataukata kerja masa kini dan yang akan tiba (a’budhu).
Munasabah
Pada simpulan surat alkausar di jelaskan bahwa orang yang membenci nabi Muhammad akan terputus. Pada awal surah al-kafirun, Rasullullah SAW di perintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah.
Sabab nuzul
Telah di riwayatkan bahwa al-walin dan al-mughirah, al-‘As bin Wa’il As-sahmi, Al-Aswad bin Abdull muthalib dan Umayyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy tiba menemui nabi SAW dan menyatakan,” hai Muhammad ! marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua duduk masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat cuilan darinya, dan jikalau aliran yang ada pada kami itu benar, maka engka telah bersekutu pula dengan kami dan engkau akan mendapat cuilan pula daripadanya,” ia menjawab,” Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutu kanNya.” Lalu turunlah surat al-kafirun sebagai tanggapan terhadap undangan mereka
             Kemudian nabi SAW pergi ke masjidil haram menemui orang-orang qurais yang sedang berkumpul disana dan membaca surat al-kafirun ini, maka mereka berputus asa untuk sanggup bekerja sama dengan nabi SAW semenjak itu mulailah orang-orang quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada nabi dengan menyakiti Beliau dan para sahabatnya,sehingga tiba masanya hijrah ke madinah.
Tafsir
            (1-2) dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkanNabi Muhammad semoga menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah bukanlah Tuhan yang ia sembah, lantaran mereka menyembah ilahi yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau bermetamorfosis dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi SAW menyembah Tuhan yang tidak ada tandingannya dan tidak ada sekutu bagiNya, tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menduga bagaimana Dia, tidak di tentukan oleh daerah dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
            Maksud pernyataan itu yaitu terdapat perbedaan yang sangat besar antara Tuhan yang di sembah orang-orang kafir dengan Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad.mereka menyifati Tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi ilahi yang di sembah oleh Nabi.
            (3) selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang di perintahkan untuk di sampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang di dakwahkan Nabi Muhammad, lantaran sifat-sifatNya berlainan dengan sifat-sifat Tuhan yang mereka sembah dan mustahil di pertemukan antara kedua macam sifat tersebut.
            (4-5) Sesudah Allah menyatakan perihal mustahil ada persamaan dalam sifat antara Tuhan yang di sembah oleh Nabi SAW dengan yang di sembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad yaitu Tuhan yang maha suci dari sekutu dan tandingan, tidak bermetamorfosis menjadi seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan Tuhan yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah Nabi hanya untuk Allah saja, sedangkan ibadah mereka bercampur dengan syirik dan di campuri kelalaiaan dari Allah, maka yang demikian itu tidak di namakan ibadah.
            (6) kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firmannya yaitu,”Bagi kau akhir atas amal perbuatanmu dan bagiku akhir atas amal perbuatanku.”

  
 DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Jazairi, Abu Bakar. Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti. (Jakarta: Darus Sunnah Press). 2006.
Al-Maragi, Syekh Ahmad Mustafa. Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3, alih bahasa M. Thalib. (Bandung: CV. Rosda Bandung). 1987.
Al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4. (Jakarta: Gema Insani Press). 2000.
Kementerian Agama RI.  Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahnya. (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanlema). 2010
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani). 2004.


[1] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an  Tajwid dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanlema, 2010), hlm. 58
[2] Syekh Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3, alih bahasa M. Thalib, (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1987), hlm. 232-235
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 239.
[4] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 673.
[5] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 401-402.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel