Qira'at Alqur'an Dalam Islam



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusunmampumenyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat, tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang menawarkan pinjaman baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan. Oleh lantaran itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini sanggup bermanfaat. Amiin.
Makassar, 10 November 2012
Penyusun,















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………..………...1
DAFTAR ISI…………………………………...……………………………2
BAB I PENDAHULUAN……..……………………………………………..3
LATAR BELAKANG………….…………………………………….3
RUMUSAN MASALAH…………………………………………….3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….5
Pengertian Qiraat…….……………………...………………………..5
Sejarah Perkembangan Qiraat….….………………………………….6
Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya…………………....
Mengenal Imam-Imam Qiraat………………..………………………9
Syarat-syarat Sahnya Qiraat………………………………………….13
Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum…………………………..14
Manfaat Perbedaan Qiraat……………………………………………17
BAB III PENUTUP………………………………………………….………19
KESIMPULAN…………………...………………………………….19
SARAN-SARAN…….……………………………………………….19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….….20
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menimbulkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berafiliasi pribadi dengan kehidupan dan muamalah insan sehari-hari; tidak ibarat ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang sanggup dikatakan berafiliasi pribadi dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara pribadi dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting yaitu pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam aneka macam seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan aneka macam macam qiraat dan para perawinya yaitu hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan aneka macam “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para andal qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi membuatkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur abnormal yang sanggup merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global perihal ilmu Qira’at al-Qur’an, sanggup dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.

RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.     Pengertian Qiraat.
2.     Sejarah Perkembangan Qiraat.
3.     Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya.
4.     Mengenal Imam-Imam Qiraat.
5.     Syarat-syarat Sahnya Qiraat.
6.     Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum.
7.     Manfaat Perbedaan Qiraat.

















BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Qiraat
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) yaitu bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  berdasarkan istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang digunakan oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at berdasarkan istilah.
Qira’at berdasarkan al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, sepertinya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang mempunyai perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu sanggup terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
Ada pengertian lain perihal qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at berdasarkan pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani menawarkan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut yaitu qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at yaitu bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; ibarat qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat yaitu bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah yaitu bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

Sejarah Perkembangan Qira’at
Pembahasan perihal sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang  waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat perihal hal ini;
Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya yaitu bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an yaitu Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini memperlihatkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan semenjak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sehabis insiden Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut memperlihatkan perihal waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh abjad yaitu sehabis Hijrah, alasannya sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di bersahabat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, lantaran ada hadis yang menceritakan perihal adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi terang bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya sanggup menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani meliputi ahruf sab’ah dan aneka macam qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika mendapatkan qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke aneka macam kota Islam, ia menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat andal qira’at, antara lain yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat lalu menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menimbulkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di aneka macam kota. Para Tabi’in andal qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , yaitu Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam yaitu : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para andal sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  yaitu Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat yaitu Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai ketika itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu sanggup dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis problem qiraat dalam bentuk prosa yaitu al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis perihal qira’at sab’ah dalam bentuk puisi yaitu Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang sanggup dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  yaitu qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid dikarenakan telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melaksanakan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu yaitu ahruf sab’ah ibarat dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik bila Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, semoga tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya yaitu :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain perihal qira’at yang membahas qiraat dari aneka macam segi secara luas, hingga ketika ini.

Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
Perkembangan ilmu qiraat demikian pesatnya, sehingga memunculkan banyak tokoh-tokoh andal qira’at yang mengabadikan ilmunya dalam bentuk karya tulis. Berikut ini dipaparkan beberapa tokoh andal qira’at dengan karya-karyanya, sebagai berikut :
1.        Makki bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H.
Beliau menyusun kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi al-Qiraati al-Sab’i wa ‘Ilaaliha  
2.        Abdurrahman bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat pada tahun 665 H. Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani dan  Syarah Kitab al-Syatibiyah
3.        Ahmad bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun kitab : Itafu Fudalai al-Basyari fi al- qira’at al-Arba’i ‘Asyar
4.        Imam Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H. Beliau menyusun kitab :Tahbir al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi al-Syatibiyah wa al-Durrah
5.        Imam Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar  dan Al-Nasyar fi  al-Qira’at al-‘Asyar
6.        Husain bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H. Beliau menyusun kitab : al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi al-Qur’an
7.        Imam Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H. Beliau menyusun kitab : Kitab al-Sab’ah
8.        Imam Syatibi, wafat pada tahhun  548 H. Beliau menyusun kitab : Harzu al-Amani wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qira’at al-Sab’i
9.        Syaikh Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’ fi al-Qira’atial-Sab’i
10.   Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun 444 H. Beliau menyusun kitab :  al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.

Mengenal Imam-Imam Qiraat
Berikut ini yaitu para imam qira’at yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah dan Qiraat ‘Asyarah , serta qira’at Arba’ ‘Asyara :
Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya yaitu Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H.
Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua mendapatkan qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad, Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan Sulaiman bin Jamaz.
Perawi qira’at Imam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu  Qaaluun (w. 220 H) dan Warasy (w.197 H).

Ibn Kasir al-Makki
Nama lengkapnya yaitu Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada    bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di     Makkah tahun 120 H.
Beliau mempelajari qira’at dari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas). Mereka semua masing-masing mendapatkan dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Umar bin Khattab; ketiga Sahabat ini menerimanya pribadi dari Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi qiraatnya yang terkenal ada dua orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w. 251 H).

Abu’Amr al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang menyampaikan bahwa namanya yaitu Yahya. Beliau yaitu imam Bashrah sekaligus andal qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, lalu bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H.
Beliau mencar ilmu qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini mendapatkan qira’at pribadi dari Rasulullah SAW.
Murid ia banyak sekali, yang terkenal yaitu Yahya bin Mubarak bin Mughirah al-Yazidi (w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi qiraat Abu ‘Amr mendapatkan qiraatnya, yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w. 261 H).

Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya yaitu Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama panggilannya yaitu Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in. Beliau yaitu imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun 118 H di Damsyik.
Ibn ‘Amir mendapatkan qira’at dari Mugirah bin Abu Syihab, Abdullah bin Umar bin Mugirah al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal yaitu Hisyam (w. 145 H) dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).


‘Ashim al-Kufi
Nama lengkapnya yaitu ‘Ashim bin  Abu al-Nujud. Ada yang menyampaikan bahwa nama ayahnya yaitu Abdullah, sedang Abu al-Nujud yaitu nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri yaitu Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.
Beliau mendapatkan qira’at dari Abu Abdurrahman bin Abdullah al-Salami, Wazar bin Hubaisy al-Asadi dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani. Mereka bertiga menerimanya dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal yaitu Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).

Hamzah al-Kufi
Nama lengkapnya yaitu Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau yaitu imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau mencar ilmu dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal yaitu Khalaf  (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).

Al-Kisa’i al-Kufi
Nama lengkapnya yaitu Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i lantaran ia mulai melaksanakan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
Beliau mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya yaitu Hamzah bin Habib al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang dikenal sebagai perawi qira’at-nya yaitu al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh  al-Duuri (w. 246 H).

Untuk melengkapi jumlah qira’at menjadi qira’at ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam qira’at berikut ini :
Abu Ja’far al-Madani
Nama lengkapnya yaitu Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Nama panggilannya Abu Ja’far. Beliau salah seorang Imam Qiraat ‘Asyarah dan termasuk golongan Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 130 H.  
Beliau mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid Imam Abu Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya yaitu Isa bin Wardaan (w. 160 H) dan Ibn Jammaz (w. 170 H).

Ya’qub al-Bashri
Nama lengkapnya yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau seorang imam qiraat yang besar, banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau merupakan sesepuh utama para andal qiraat sehabis Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau wafat pada bulan Zul Hijjah tahun 205 H.
Beliau mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman al-Muzanni, Syihab bin Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab Ja’far bin Hibban al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung kepada Abu Musa al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid sekaligus perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal yaitu Ruwas (w. 238 H) dan Ruh (w. 235 H).

Khalaf al-‘Asyir
Nama lengkapnya yaitu Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Asdi al-Baghdadi. Nama panggilannya Abu Muhammad. Beliau lahir tahun 150 H. dan wafat pada bulan Jumadil simpulan tahun 229 H. di Bagdad.
Beliau tampil dengan qiraat tersendiri yang berbeda dengan qiraat dari gurunya Imam Hamzah, oleh lantaran itu ia terhitung masuk ke dalam kelompok Imam Qiraat ‘Asyarah
Murid-murid yang merawikan qiraat Imam Khalaf ini yang terkenal yaitu Ishaq (w. 286 H) dan Idris (w. 292).
Untuk melengkapi jumlah qiraat menjadi Qiraat Arba’ ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam qiraat berikut ini :



Hasan al-Basri
Nama lengkapnya yaitu Hasan bin Abu al-Hasan Yasar Abu Said al-Bashri. Seorang pembesar Tabi’in yang terkenal zuhud, wafat pada tahun 110 H. Dua perawinya adalah  Syuja’ bin Abu al-Nashr al-Balkhi dan al-Duri.
Ibn Muhaisin
Nama lengkapnya yaitu Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Beliau yaitu guru dari Abu ‘Amr al-Dani, wafat pada tahun 123 H. Dua perawinya yaitu al-Bazzi dan Abu al-Hasan bin Syambudz
Al-Yazidi
Nama lengkapnya yaitu Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Beliau yaitu guru dari al-Duri dan Al-Susi, wafat pada tahun 202 H. Dua perawinya yaitu Sulaiman bin al-Hakam dan Ahmad bin Farh.
Al-A’masy
Nama lengkapnya yaitu Sulaiman bin Mahram al-A’masy. Beliau termasuk golongan Tabii., wafat pada tahun 148 H. Dua perawinya yaitu al-Hasan bin Said al-Mathu’I dan Abu al-Farj al- Syambudzi al-Syatwi.



Syarat-syarat Sahnya Qiraat
Para ulama tetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1.     Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2.     Sesuai dengan goresan pena pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3.     Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi  qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mensugesti maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan yaitu qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu goresan pena pada mushaf Usmani” yaitu sesuainya qiraat itu dengan goresan pena pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibuat oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih yaitu qiraat yang shahih sanadnya hingga kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya tepat berdasarkan kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan goresan pena pada salah satu mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar..
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah lantaran membawa akhir tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an.
Akan tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk diterimanya qiraat yang shahih, ibarat disebutkan pada kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin.  Jadi, mungkin yang dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini yaitu Mutawatir.
Menurut Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir yaitu pendapat yang baru, bertentangan dengan ijma’ para andal fiqih, andal hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an berdasarkan jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka yaitu kalamullah yang diriwayatkan  secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini niscaya mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, berdasarkan para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara terang menandakan pendapat ini ibarat Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah, al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah menjadi ijma’ para andal qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”

Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat sanggup membantu tetapkan aturan secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mensugesti makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya besar lengan berkuasa terhadap istimbat aturan dan adakalanya tidak.
1.    Perbedaan qira’at yang besar lengan berkuasa terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, contohnya qira’at  membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam tetapkan hal-hal yang membatalkan wudu ibarat dalam  Q.S Al-Nisa’  (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْمِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءًفَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورً
Terjemahnya:
"….. Dan bila kau sakit atau sedang dalam musafir atau tiba dari kawasan buang air atau kau telah menyentuh perempuan, lalu kau tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kau dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْالنِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْالنِّسَاءَ
Para ulama berbeda pendapat perihal makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat perihal maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah beropini bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada  sebuah  pendapat  yang  menyatakan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan  (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) yaitu sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (امَسْتُمْ) yaitu berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat  sholat  tanpa  berwudhu  lagi. Jadi  yang  dimaksud dengan   kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini yaitu berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari tumpuan di atas sanggup diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu yaitu berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat yaitu yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya yaitu menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa intinya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at  (لمَسْتُمْmakna hakikinya yaitu saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  
2. Perbedaan  Qiraat  yang  Tidak  Berpengaruh  terhadap  Istinbat Hukum
Berikut ini yaitu tumpuan dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak besar lengan berkuasa terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْعَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kau menikahi perempuan-perempuan yang beriman, lalu kau ceraikan mereka sebelum kau mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kau minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah yaitu masa menunggu bagi seorang perempuan yang diceraikan suaminya, sebelum perempuan tersebut dibolehkan kawin lagi dengan pria lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ, sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّPerbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan aturan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang sanggup dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh digunakan untuk membantu tetapkan aturan syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad yaitu boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak mendapatkan dan tidak menjadikan Qiraat  Syaz sebagai dasar penetapan aturan dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang menyampaikan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar aturan yaitu sebagai berikut :
1.    Memotong ajun pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah ajun keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2.    Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
………. Barangsiapa tidak sanggup melaksanakan demikian, maka kafaratnya  puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan bahwasanya dari Qiraat Syaz yaitu merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan klarifikasi mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada kawasan tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal  yang sangat baik.
Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang lalu menjadi potongan dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan aturan dari penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini yaitu suatu pengejawantahan yang sanggup dipertanggung jawabkan.”

Manfaat Perbedaan Qiraat
Adanya bermacam-macam qiraat ibarat telah disebutkan di atas, mempunyai aneka macam manfaat, yaitu :
1.    Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari aneka macam kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan bunyi dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi sanggup membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِفَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini yaitu bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.    Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, lantaran setiap qiraat memperlihatkan suatu aturan syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5.    Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, contohnya dalam penafsiran perihal sifat-sifat nirwana dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di alam abadi nanti.
6.    Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad  SAW atas umat-umat pendahulunya, lantaran kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qiraat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan perihal qiraat di atas sanggup diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.     Qira’at  Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan potongan dari Sab’atu Ahruf.
2.     Qira’at ‘Asyarah yaitu shahih dan sanadnya bersambung hingga kepada Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu yaitu Qiraat Syadz serta dihentikan digunakan untuk membaca al-Qur’an.
3.     Qira’at, baik shahih maupun syadz, sanggup digunakan untuk tetapkan aturan syar’i, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4.     Umat Islam sangat mementingkan problem al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab perihal qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
5.     Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil aturan dari al-Qur’an.

Saran-Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak  dosen yang membawakan mata kuliah ini.
Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini kami hanya menawarkan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasiswa lantaran ibarat yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk mengadakan penemuan dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.



DAFTAR PUSTAKA

Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al-Islamiyah.
Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel