Masyarakat Madani Dalam Pandangan Islam
I. MASYARAKAT MADANI DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti harfiahnya yaitu kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni:agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota yaitu hasilnya.
Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun ataumadaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dancivilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun secara terminologis, masyarakat madani yaitu komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin eksklusif oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil society, lantaran secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, lantaran masyarakat Islam kala itu telah melaksanakan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melaksanakan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama,membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya.Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh NabiMuhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang berpengaruh dan solid. Peristiwa hijrah telah membuat keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain.Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, lantaran dalam struktur masyarakat Madinah yang gres dibangun terdapat bermacam-macam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan doktrin yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasilainnya.
Selain itu, masyarakat pada ketika itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada ketika itu merupakan kepingan dari komunitas masyarakat yang beragam atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi dilema tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara nyata meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan relasi antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat beragam di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan aturan di dunia.
Dalam dokumen itulah umat insan untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW bisa mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai daerah untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka mendapatkan Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari banyak sekali kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadiummah wahidah. Oleh lantaran itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana persaudaraan dan hening dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapatmendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat secara umum dikuasai dalam kehidupan insan sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa umat yang dibuat Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, lantaran Nabi bisa menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang mendapatkan risalah tauhid ia maupun yang menolak.
Perbedaan doktrin atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh lantaran itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari banyak sekali golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk gres yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur relasi sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antarsesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, relasi antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau mendasar dalam mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal lainnya, menyerupai konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin relasi sosial-kemasyarakatan yang meliputi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, tugas kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian menjelma “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang mempunyai kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu intinya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian forum masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besaryang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulaiterbangunnya masyarakat madani. Mereka melaksanakan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, sesudah masaal-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, tugas masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi menurut pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya forum masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidunsampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani final era ke-19, umat Islam telah mempunyai struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni forum legislatif dipegang oleh ulama. Mereka mempunyai kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa bahwasanya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun sesudah Nabi Muhammad SAW melaksanakan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan aturan pada masa Nabi SAW.
Posisi Piagam Madinah yaitu sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi aturan dasar sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah ketika itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah yaitu perjanjian masyarakat. Pemerintah mempunyai kekuasaan, karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun NabiSAW itu sebenarnya identik dengan civil society, lantaran secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada ketika itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara sikaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapanhukum.
Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalamkonteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil yaitu hasil dari peradaban Barat, menyerupai telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, lantaran komunitas masyarakat dipimpin eksklusif oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat tugas masyarakat sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu,masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan tugas masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh alasannya yaitu itu, ketiga prinsip yang dikemukakan di atas, sanggup dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat sanggup berdiri diatas kaki sendiri secara kultural-politik-ekonomi, mempunyai pemerintahan sipil, mempunyai prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
Timbul pertanyaan, nilai substansial menyerupai apakah yang sanggup mewakili kecenderungan masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat meliputi tiga pilar utama, yakni: musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society) bermula dari semangat dan pergumulan fatwa masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) dalam kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa pada era pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para sejarahwan Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan insan dianggap sebagai sentra segalanya (antrophosentris).
Dengan demikian, ada konsep gres yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity), alasannya yaitu yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi insan sanggup menentukan konsep hidup tertentu atau doktrin tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun dan oleh siapa pun. Negara gres yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah terperinci jalan yang benar dari jalan yang sesat.”
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar gres dan orisinil, lantaran negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-Saba’:15, Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Sebuah negeri yang kondusif sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya."
PENUTUP
Banyak faktor yang turut menentukan dalam pemberdayaan masyarakat madani, citra masyarakat berdaya yang diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan strategis dan operasionalnya. Oleh alasannya yaitu itu, seluruh sektor masyarakat terutama gerakan, kelompok, dan individu-individu independen yang concered dan committed padademokratisasi dan masyarakat madani seyogyanya mengambil strategi yang lebih stabil, lebih halus, bukan mengambil jalan konfrontasi langsung yang tidak tidak mungkin akan mengorbankan aktor-aktor masyarakat madani
itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Din Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah. http: // rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Februari 2012.
Rahardjo,M. Dawam. 1996. Masyarakat Madani: Agama , Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet. ke.1.
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.
Yusuf, Y.1998. Azas-azas Teologi dan filosofis Masyarakat Madani, Makalah Seminar Pembanguan Akhlak Bangsa dalam Reformasi Menuju Masyarakat Madani.Padang: 28-29 November 1998.