Pendidikan Di Indonesia
 BAB I
  PENDAHULUAN
     Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia.  Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi  insan berdasarkan ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah  sangat serius menangani bidang pendidikan, alasannya yaitu dengan sistem  pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang  berkualitas dan bisa beradaptasi untuk hidup bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap  perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan  sistem pendidikan yang bisa berbagi sumber daya insan untuk  memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi  pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memperlihatkan  jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi insan untuk berbagi  seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup  di masa depan.
  Guru yaitu salah satu unsur insan dalam proses pendidikan. Dalam  proses pendidikan di sekolah, guru memegang kiprah ganda yaitu sebagai  pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan  sejumlah materi pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai  pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik biar menjadi  insan susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah  beropini bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan kiprah dan  tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional biar menjadi insan  susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah beropini  bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan kiprah dan tanggung jawab  guru sebagai tenaga profesional2. Oleh alasannya yaitu itu, kiprah yang berat dari  seorang guru ini intinya hanya sanggup dilaksanakan oleh guru yang  mempunyai kompetensi profesional yang tinggi.
  Guru memegang peranan sentral dalam proses berguru mengajar, untuk itu  mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang  dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya.
  Menurut Aqib guru yaitu faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di  sekolah, lantaran guru merupakan sentral serta sumber kegiatan berguru  mengajar3. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang  kuat dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah4. Hal ini  memperlihatkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang  guru sangat menentukan mutu pendidikan.
  Kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika Sekolah Menengah Pertama Negeri di  wilayah Kabupaten Pandeglang masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes  Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan Nasional  Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan  Lanjutran Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan  pada Tahun 2003, memperlihatkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru  matematika di Kabupaten Pandeglang hanya mencapai 42,25 %. Angka ini  masih relatif jauh di bawah standar nilai kompetensi minimal yang  diharapkan yaitu 75 %. nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75  %.
  Pada dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh  faktor dari dalam guru itu sendiri yaitu bagaimana guru bersikap  terhadap pekerjaan yang diemban. Sedangkan faktor luar yang diprediksi  kuat terhadap kompetensi profesional seorang guru yaitu  kepemimpinan kepala sekolah, lantaran kepala sekolah merupakan pemimpin  guru di sekolah.
  Sikap guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai  pekerjaan yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan  memperlihatkan dasar kepada guru tersebut untuk membuat respons atau  berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap guru terhadap  pekerjaan mensugesti tindakan guru tersebut dalam menjalankan  acara kerjanya. Bilamana seorang guru mempunyai sikap positif  terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan  fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di sekolah  dengan penuh rasa tanggung jawab. Demikian pula sebaliknya seorang guru  yang mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya, pastilah beliau hanya  menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu  amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif guru terhadap pekerjaan,  mengingat kiprah guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah  amatlah sentral.
  Sikap guru terhadap pekerjaan sanggup dilihat dalam bentuk persepsi dan  kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang  ditampilkan. Guru yang mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan, sudah  barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap  pekerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan  mencerminkan seorang guru yang bisa bekerja secara profesional dan  mempunyai kompetensi profesional yang tinggi kinerjaanya maupun motivasi  kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru  yang bisa bekerja secara profesional dan mempunyai kompetensi  profesional yang tinggi. Sikap positif maupun negatif seorang guru  terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi  lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri seseorang  dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan  psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi  individu, normanorma, dan aneka macam hambatan maupun dorongan yang ada  dalam masyarakat.
  Sekolah sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang  masingmasing baik secara perseorangan maupun kelompok melaksanakan relasi  keja sama untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain  yaitu sumber daya insan yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru,  staf, penerima didik atau siswa, dan orang renta siswa. Tanpa  mengenyampingkan kiprah dari unsur-unsur lain dari organisasi sekolah,  kepala sekolah dan guru merupakan personil intern yang sangat berperan  penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah.
  Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan  efektivitas penampilan seorang kepala sekolah. Sedangkan Sekolah sebagai  forum pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan  proses berguru mengajar dalam perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi kiprah untuk  memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya  tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator  di sekolah. Oleh alasannya yaitu itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah yaitu  signifikan bagi keberhasilan sekolah. bertanggung jawab atas tercapainya  tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator  di sekolah. Oleh alasannya yaitu itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah yaitu  signifikan bagi keberhasilan sekolah.
  Wahjosumidjo mengemukakan bahwa: Penampilan kepemimpinan kepala sekolah  yaitu prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang  kepala sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur  dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan  kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan  keterampilan, sikap maupun fleksibilitas pemimpin. Menurut  Wahjosumidjo, biar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil  memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai  dengan situasi, dibutuhkan seorang kepala sekolah yang mempunyai  kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman,  training dan pengetahuan profesional, serta kompetensi manajemen dan  pengawasan.
  Kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu  bertanggung jawab dalam membuat suatu situasi berguru mengajar yang  kondusif, sehingga guru-guru sanggup melaksanakan pembelajaran dengan baik  dan penerima didik sanggup berguru dengan tenang. Disamping itu kepala  sekolah dituntut untuk sanggup bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal  ini guru.
  Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi pada kiprah  pengadaan sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam  melaksanakan tindakan, sanggup mengakibatkan guru sering melalaikan kiprah  sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal ini sanggup menumbuhkan  sikap yang negatif dari seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah,  sehingga pada akhirnya berimlikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa  di sekolah. keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
  Kepala sekolah yaitu pengelola pendidikan di sekolah secara  keseluruhan, dan kepala sekolah yaitu pemimpin formal pendidikan di  sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, kepala sekolah  bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru  biar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan  atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru  yang juga merupakan kawan kerja kepala sekolah dalam aneka macam bidang  kegiatan pendidikan sanggup berupaya menampilkan sikap positif terhadap  pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya
  Berdasarkan uraian diatas menunjukkkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah  dan sikap guru terhadap pekerjaan merupakan faktor yang cukup  menentukan tingkat kompetensi profesional guru. Sehinga sanggup diduga  bahwa masih rendahnya kompetensi profesional guru dalam hal ini guru  matematika Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kabupaten Pandeglang, disebabkan oleh  kompetensi profesional guru itu sendiri yang rendah, kepemimpinan kepala  sekolah yang kurang efektif dan sikap guru yang negatif terhadap  pekerjaannya. Atas dasar pemikiran tersebut, peneliti merasa tertarik  untuk mengadakan penelitian wacana “Hubungan Kepemimpinan Kepala  Sekolah dan Sikap Guru terhadap Pekerjaan dengan Kompetensi Profesional  Guru Matematika Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kabupaten Pandeglang”.
 Masalah yang muncul berkenaan dengan relasi kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, diidentifikasikan sebagai berikut:
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah mempunyai relasi dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah sikap guru terhadap pekerjaan mempunyai relasi dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan bekerjasama dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah kompetensi profesional guru sanggup ditingkatkan melalui kepemimpinan kepala sekolah.
- Apakah kompetensi profesional guru sanggup ditingkatkan melalui sikap guru terhadap pekerjaan guru.
- Apakah para guru telah mempunyai tingkat kompetensi profesional yang tinggi.
- Apakah kepala sekolah telah menerapkan kepemimpinan yang efektif dan relevan dengan kondisi sekolah.
- Apakah para guru telah mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya.
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah yang semakin positif akan diiringi dengan semakin positifnya kompetensi profesional guru.
- Apakah sikap guru terhadap pekerjaan yang positif akan diiringi dengan semakin positifnya
- Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan tidak relevan.
- Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya.
- Bagaimana teladan relasi fungsional antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
Pembatasan masalah dilakukan biar penelitian lebih terarah, terfokus, dan tidak menyimpang dari target pokok penelitian. Oleh lantaran itu, penulis memfokuskan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari :
- Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru.
- Hubungan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
- Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah mempunyai kegunaan untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut :
- Apakah terdapat relasi antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah terdapat relasi antara sikap terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah terdapat relasi antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
      Kegunaan dari penelitian yaitu untuk meningkatkan kompetensi  profesional guru dengan melihatnya dari aspek kepemimpinan kepala  sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan. Untuk maksud tersebut, dicari  relasi antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi  profesional guru dan relasi antara sikap guru terhadap pekerjaan  dengan kompetensi profesional guru. Setelah itu dikaji bagaimana  relasi antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap  pekerjaan secara bahu-membahu dengan kompetensi profesional guru. Dengan  mengetahui relasi tersebut, hasil penelitian diharapkan mempunyai kegunaan untuk  meningkatkan kompetensi profesional guru matematika khususnya di  Kabupaten Pandeglang.
  BAB II
  PEMBAHASAN
      Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh aneka macam  kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan,  namun hampir semua pihak setuju bahwa nasib suatu komunitas atau suatu  bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan.  Shane (1984: 39), contohnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang sanggup  memperlihatkan bantuan pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama  juga bisa kita baca dalam klarifikasi Umum Undang-Undang Republik  Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 wacana sistem pendidikan Nasional (UU No.  20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan  dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan perjuangan biar insan sanggup  berbagi potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara  lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
  Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul  amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibuat oleh  kesadaran bahwa setiap anak insan akan menjalani sisa hidupnya di masa  depan bahu-membahu dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal  ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut insan  untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap  perbautan yang dilakukannya kini ini. Sementara itu pihak lain,  insan ditutut untuk bisa mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan  memutuskan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak niscaya biar  generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang  semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001:  198-199).
  Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan  seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti  apapun dari masa depan, lantaran sesungguhnya masa depan itulah  mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya  menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198).
  Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan  harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid yaitu pendidikan yang  steril dari aneka macam permasalahan. Namun hal ini yaitu suatu  kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada  dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan. Oleh lantaran  itu, persoalannya bukanlah perjuangan menghindari permasalahah, tetapi  justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan  mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari  solusinya. ini berusaha mengidentifikasi dan memahami  permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia.  Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua  kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu  pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam  makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum  menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih  dahulu disajikan uraian singkat wacana fungsi pendidikan. Uraian yang  disebut terakhir ini dianggap penting, lantaran permasalahan pendidikan  pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
  Fungsi Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan  nasional berfungsi berbagi kemampuan dan membentuk tabiat serta  peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan  bangsa. Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi  yang harus diaktualisasikan olen pendidikan, yaitu: (1) fungsi  berbagi kemampuan penerima didik, (2) fungsi membentuk tabiat bangsa  yang bermartabat, (3) fungsi berbagi peradaban bangsa yang  bermartabat, dan (4) fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa. Noeng  Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan  mengemban tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan  kreativitas penerima didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan  nilai-nilai kepada penerima didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi  meningkatkan kemampuan kerja produktif penerima didik.
  Kalau dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan  pasal 3 UU No. 20/2003 di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng  Muhadjir secara substantive sama dengan fungsi keempat berdasarkan UU No.  20/2003.
  Sedangkan fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada  dasarnya sama dengan fungsi pertama berdasarkan UU No. 20/2003. Sementara  itu, Vebrianto, menyerupai dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan  empat fungsi pendidikan. Keempat fungsi dimaksud adalah: (1) transmisi  kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) menentukan dan  menyiapkan kiprah sosial bagi penerima didik; (3) menjamin intergrasi  nasional; dan (4) mengadakan inovasi-inovasi sosial. Terlepas dari  adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan menyerupai  tersebut di atas, namun satu hal yang niscaya ialah bahwa fungsi utama  pendidikan yaitu membantu insan untuk meningkatkan taraf hidup dan  martabat kemanusiaannya. 1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
  Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia cukup umur ini sesungguhnya  sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya  dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi  eksternal pendidikan mencakup dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya,  dan bahkan juga dimensi global. Dari aneka macam permasalahan pada dimensi  eksternal pendidikan di Indonesia cukup umur ini, makalah ini hanya akan  menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan  permasalahan perubahan sosial.
  Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, lantaran ia  merupakan ekspresi dominan kala ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap  sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah  perubahan social yaitu masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia  selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya  perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang  harus dijawab oleh dunia pendidikan, kalau pendidikan ingin berhasil  mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa  depan.
 1.1. Permasalahan globalisasi
        Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke  dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi  ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia  atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan,  globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke  dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum  merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun tanda-tanda  kearah itu sudah mulai Nampak. Sejumlah Sekolah Menengah kejuruan dan Sekolah Menengan Atas di beberapa kota di  Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management  Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen  sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang  sudah mendapatkan sertifikat ISO. Oleh lantaran itu, cukup umur ini globalisasi  sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan  globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output  pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi cukup umur ini telah  terjadi pergeseran paradigma wacana keunggulan suatu Negara, dari  keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan  kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada  kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada  pemilikan sumber daya insan (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo,  2001: 122). Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut,  pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat  tinggi, lantaran harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal  ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan  semangat cosmopolitantisme dimana bawah umur bangsa boleh jadi akan  menentukan sekolah-sekolah di luar negeri sebagai daerah pendidikan mereka,  terutama kalau kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif  under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai  terlihat pada tingkat perguruan tinggi tinggi dan bukan tidak mungkin akan merambah  pada tingkat sekolah menengah.
  Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya  tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi  ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu  tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan wacana sekolah  berstandar internasional. Pada jajaran Sekolah Menengah kejuruan regulasi sekolah berstandar  internasional tersebut sudah usang disosialisasikan. Bila regulasi  berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi  output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh susukan ke bursa  tenaga kerja global, maka hal ini niscaya akan menjadi permasalah serius  bagi pendidikan nasional. Globalisasi memang membuka peluang bagi  pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan  tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan  pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus  mau mendapatkan dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai potongan dari  permasalahan pendidikan masa kini.
         Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada  yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang kekal yaitu perubahan  itu sendiri. Itu artinya, perubahan social merupakan insiden yang  tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat  dan ada pula yang berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan,  sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu melaksanakan inovasi-inovasi  social, yang maksudnya tidak lain yaitu mendorong perubahan social.  Fungsi pendidikan sebagai distributor perubahan sosial tersebut, cukup umur ini  ternyata justru melahirkan paradoks. Kenyataan memperlihatkan bahwa,  sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi  yang demikian pesat cukup umur ini, perubahan social berjalan jauh lebih  cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan.  Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi  lebih menonjol, tetapi tidak bisa mengantisipasi perubahan sosial  secara akurat (Karim, 1991: 28).
  Dalam kaitan dengan paradoks dalam relasi timbal balik antar  pendidikan dan perubahan sosial menyerupai dikemukakan di atas, patut  kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa  Negara-negara yang tidak bisa mengikuti revolusi industri mutakhir akan  ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk  mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain,  ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama  artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan  sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan  praksis pendidikan nasional. 
  2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
     Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal  pendidikan di Indonesia masa kini yaitu sangat kompleks. Daoed Joefoef  (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan  mencakup permasalahan-permasalahan yang bekerjasama dengan taktik  pembelajaran, kiprah guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan  tersebut bekerjsama masih ada jumlah permasalahan lain, menyerupai  permasalahan yang bekerjasama dengan sistem kelembagaan, sarana dan  prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan penerima didik. Dari  aneka macam permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya  akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol,  yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan  taktik pembelajaran. 
  2.1. Permasalahan Sistem Kelembagaan
        Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan  uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar  pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara  pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari  pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau  ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, menyerupai yang terlihat dalam  konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
  Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri  ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja lantaran hal itu  belum bisa ditemukan solusinya sampai sekarang, melainkan juga lantaran  ia, berdasarkan Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya bisa melahirkan sosok  insan yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok  insan yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai  urusan pribadi. Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok  insan yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya  dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan  hambatan untuk sanggup melahirkan sosok insan Indonesia “seutuhnya”. Oleh  lantaran itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya  modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar  ruang lingkup pembahasan makalah ini. 
  2.2. Permasalahan Profesionalisme Guru
       Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses  pembelajaran yaitu pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi  telah menyediakan aneka macam ragam alat bantu untuk meningkatkan  efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya  sanggup tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi  keberhasilan pendidikan. Menurut Suyanto (2007: 1), “guru mempunyai  peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap  gulita abjad menjadi seorang yang pandai dan lancar baca tulis  alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi  tokoh pujian komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan:  “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia niscaya mempunyai  profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
  Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional  harus mempunyai kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan  ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus mempunyai landasan pengetahuan yang  kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) mempunyai  sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kolaborasi dan kompetisi yang  sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f)  meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) mempunyai sistem seleksi  profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) mempunyai organisasi  profesi. Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang  dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa tiba dari mana saja  tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu  artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai perjuangan  sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto  (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan memperlihatkan adanya guru terlebih  terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan  mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi  profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak  menyampaikan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah  satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi  pendidikan nasional masa kini. 
  2.3. Permasalahan Strategi Pembelajaran
         Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi cukup umur ini  mempunyai imbas yang sangat signifikan terhadap teladan pembelajaran  yang bisa memberdayakan para penerima didik. Tuntutan global telah  mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional  ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma  pembelajaran sebagai berpusat pada guru, memakai media tunggal,  berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa proteksi  gosip dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Paulo Freire  (2002: 51-52) menyebut taktik pembelajaran tradisional ini sebagai  taktik pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept).
  Di pihak lain taktik pembelajaran gres digambarkan oleh Suyanto  sebagai berikut: berpusat pada murid, memakai banyak media,  berlangsung dalam bentuk kolaborasi atau secara kolaboratif, interaksi  guru-murid berupa pertukaran gosip dan menekankan pada pemikiran  kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan gosip yang  kaya. Model pembelajaran gres ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61)  sebagai taktik pembelajaran “hadap masalah” (problem posing). Meskipun  dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, cukup umur ini terdapat  tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke  arah model baru, namun kenyataannya memperlihatkan praktek pembelajaran  lebih banyak menerapkan taktik pembelajaran tradisional dari  pembelajaran gres (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat  dengan rendahnya professionalisme guru.
  BAB.III
  PENUTUP
       Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat  kompleks. ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat  menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori,  yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal  di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai  lingkungan pendidikan.
  Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system  kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan taktik  pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di  atas sanggup disimpulkan bahwa aneka macam permasalahan pendidikan yang  komplek itu, baik eksternal maupun internal yaitu saling terkait. Hal  ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap  permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara  parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun,  permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap,  harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, kalau kita gagal  menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional  akan bisa bersaing secara terhormat di era globalisasi cukup umur ini.
 DAFTAR PUSTAKA
- Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
- Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
- Joesoef, Daoed, 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
- Karis, M. Rusli. 1991, “Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
- Maarif, Ahmad Syafii, 1987. “Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam”, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
- Maarif. Ahmad Syafii, 1996. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih.
- Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
- Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
- Soedjatmoko, 1991. “Nasionalisme sebagai Prospek Belajar”, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
- Suyanto, 2007, “Tantangan Profesionalisme Guru di Era Global”, Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.